HangoutKanal

Kisah Persahabatan Harimau dan Manusia di Pasaman Barat

Akrab dengan semua hewan barangkali adalah sesuatu yang sudah lama kamu idam-idamkan, termasuk akrab dengan hewan liar. Namun, hal ini tentu tidak mudah dilakukan karena insting hewan liar bisa saja malah berbalik mencelakakan kita.

Tapi, kalau sudah akrab sejak hewan itu berada di lingkungan sekitar, bukan tidak mungkin hubungan persahabatan akan terjalin. Seperti yang dialami warga Pasaman Barat, Sumatera Barat.

Mungkin anda suka

Berjarak sekitar 250 kilometer dari Kota Padang, nagari persiapan Situak Ujung Gading, Kecamatan Lembah Melintang Kabupaten Pasaman Barat yang berada di arah utara merupakan salah satu wilayah perkebunan sawit di Provinsi Sumatera Barat.

Pekan lalu nagari ini menjadi perbincangan publik karena beredarnya video seekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) menghadang pekerja yang tengah mengoperasikan eskavator saat membuka jalan baru di lahan perkebunan sawit di wilayah itu.

Hal itu membuat pekerja memutuskan menghentikan aktivitas dan memilih kembali ke lokasi peristirahatan. Setelah kejadian penghadangan tersebut Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat segera menurunkan tim ke lokasi.

Tim BKSDA Sumbar kemudian memasang kamera jebak untuk memonitor keberadaan satwa dan melakukan penghalauan ke kawasan hutan lindung.

Penghalauan dilakukan siang dan malam dengan bunyi-bunyian di lokasi perkebunan kelapa sawit itu.

Sejarah

Berdasarkan cerita warga setempat ternyata ada sejarah panjang antara harimau dengan penduduk di nagari itu sejak 1950.

Salah seorang warga Situak, Marjohan Lubis (63) menceritakan Situak sempat ditinggalkan oleh penduduk akibat konflik dengan harimau pada tahun 1950.

“Kampung kami ini kosong akibat harimau cindaku legenda di Kerinci, Jambi. Namun hutan Situak memang banyak dihuni harimau sampai sekarang dan satwa itu tidak mengganggu,” katanya mengutip Antara, Rabu (26/01).

Ia menceritakan konflik itu terjadi setelah salah seorang warga membunuh si raja hutan yang hidup di sekitar daerah mereka dan kulitnya digunakan untuk bahan beduk di masjid.

Tidak lama berselang, belasan harimau mengamuk dan masuk ke permukiman dan sempat menyerang warga. Bahkan harimau menyerang warga sekitar sampai meninggal dunia.

“Harimau hanya membunuh dan tidak memakan jasad warga itu. Dari data saya peroleh, ada tiga warga yang meninggal,” katanya.

Akibat kejadian itu, warga tidak berani keluar rumah pada malam hari dan saat pergi ke sungai untuk mengambil wudhu, mereka harus secara bersama-sama.

Kondisi kampung pun kemudian semakin mencekam, sehingga warga eksodus atau pindah secara besar-besaran ke Ujung Gading.

Akhirnya kampung hanya dihuni tiga kepala keluarga dan mereka tidak berani keluar rumah melakukan aktivitas.

Kondisi itu berlangsung selama tiga tahun setelah orang tua kampung melakukan berbagai usaha, sehingga harimau kembali ke hutan dan sekitar 1954 kondisi sudah membaik.

Setelah itu, masyarakat kembali ke rumah mereka dan sebagian memilih menetap di sejumlah daerah di Ujung Gading sampai sekarang.

“Mereka sudah berkembang di Ujung Gading dan termasuk di Situak menjadi kampung yang berkembang,” katanya.

Selain itu Kampung Situak juga pernah dihuni harimau kampung yang memiliki tiga kaki, setelah satu kaki hilang setelah mengalami kecelakaan.

Keberadaan harimau Stingkih itu melindungi warga sekitar apabila diserang satwa liar dan Stingkih memberitahukan kepada warga dengan mengeluarkan suara pada malam hari, melihatkan jejak kaki dan lainnya sebelum kejadian warga diserang satwa liar.

“Ini untuk memberikan peringatan ke warga agar tidak ke kebun, karena ada satwa liar lainnya berupa harimau yang hidup di hutan, beruang madu dan lainnya,” kata Marjohan Lubis.

Keberadan Stingkih itu membantu warga di daerah itu, sehingga warga merasa nyaman dan aman saat di kebun untuk melakukan aktivitas.

Namun sekitar 20 tahun silam atau pada 2002, harimau Stingkih tidak pernah lagi ditemukan warga atau datang ke kampung.

“Sebagian warga menyimpulkan bahwa harimau Stingkih itu sudah mati akibat usia,” katanya.

Warga lainnya, Ramlam Martondang (64) menambahkan harimau Stingkih juga pemberi tanda-tanda apabila warga melakukan kesalahan berupa asusila di kampung itu.

Stingkih bakal mendatangi rumah dari orang tua kampung dan mengaruk pintu masuk atau mengeluarkan suaranya pada malam hari.

“Dengan adanya pertanda, orang tua kampung yang juga ayah saya langsung ngomong bakal menyelesaikan masalah yang di kampung,” katanya.

Keesokan harinya, orang tuanya langsung melakukan pertemuan dengan warga dalam menyikapi permasalahan itu.

Setelah permasalahan selesai, maka Stingkih tidak muncul lagi sampai ada permasalahan yang lain.

“Harimau tidak pernah melihatkan belangnya dan hanya melihatkan tanda telapak kaki, suara dan lainnya,” katanya.

Pertanda

Sementara Sekretaris Wali Nagari Persiapan Situak Ujung Gading, Ahmad Kamil menambahkan Nagari Persiapan Situak Ujung Gadiang dihuni 500 kepala keluarga dengan jumlah jiwa 1.300 orang yang berasal dari marga Lubis, Hasibuan, Batubara, Nasution dan Matondang.

“Marga ini yang paling banyak atau asli di nagari itu dan marga Tanjung baru datang dengan jumlah tidak begitu banyak,” katanya.

Mata pencarian warga terutama berkebun berupa perkebunan kelapa sawit, karet, kopi, aren, jagung dan lainnya. Sebagian warga juga ada sebagai petani sawah ladang, aparatur sipil negara dan lainnya.

Dari data diperoleh baru kali ini harimau sumatera yang menampakkan diri kepada operator alat berat.

“Ini menandakan mereka melakukan kesalahan yang telah merusak lokasi tempat tidur dari harimau tersebut yang berada di daerah aliran sungai. Saya bakal melakukan koordinasi dengan camat terkait upaya yang bakal dilakukan agar tidak terjadi konflik serupa,” katanya.

Nagari Persiapan Situak Ujung Gadiang, Kecamatan Lembah Malintang, Kabupaten Pasaman Barat, berdekatan dengan bentang alam Danau Laut Tinggal yang merupakan lokasi habitat satwa itu.

Daerah itu juga memiliki perkebunan kelapa sawit dengan jumlah ribuan hektare yang bisa menjadi tempat persinggahan satwa

Tak jarang, harimau tersebut ditemukan warga berupa jejak kaki, cakaran, suara dan lainnya saat mereka hendak pergi ke kebun.

Kondisi itu sudah menjadi kebiasaan dari warga, karena tinggal di dekat kawasan hutan dan perkebunan kelapa sawit.

“Warga sering menemukan jejak keberadaan satwa itu di kebun, apalagi saat musim durian karena warga mencari durian sampai larut malam bahkan dini hari,” katanya.

Selama ini, harimau tidak pernah menyerang warga sekitar, karena warga tidak pernah mengganggu mereka dan warga sudah hidup berdampingan dengan harimau.

Tingkatkan patroli

Kepala Resor Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Pasaman, Rusdiyan P Ritonga mengatakan harimau sudah biasa bertemu dengan manusia, akibat manusia sering melakukan aktivitas ke hutan dan berlalu lalang di daerah itu.

Ke depan, ia akan meningkatkan patroli di daerah tersebut dan akan mendidik masyarakat cara hidup berdampingan dengan satwa, karena masyarakat sudah terbiasa hidup berdampingan dengan harimau sejak dulu.

“Aktivitas masyarakat cukup banyak di sekitar hutan dan bahkan mereka ketemu dengan harimau,” katanya.

Sebelumnya, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat telah melakukan penanganan konflik manusia dengan satwa liar jenis harimau selama enam hari mulai pada 18-24 Januari 2022.

Petugas tidak menemukan lagi tanda-tanda keberadaan satwa harimau sumatera (panthera tigris sumatera) di dua lokasi konflik di Pasaman Barat setelah enam hari melakukan penanganan konflik manusia dengan satwa.

Masuknya harimau ke perkebunan sawit karena pakan yang mudah didapat berupa babi hutan berkurang setelah ada kematian secara massal yang diduga akibat virus babi Afrika.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Ibnu Naufal

Menulis untuk masa depan untuk aku, kamu dan kita.
Back to top button