Kanal

Ketum Persis Tegaskan Puasa Arafah Berpatokan pada Kalender Lokal, Bukan Saudi


Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis) Ustaz Jeje Zaenudin, mengemukakan pandangan kritis terhadap praktik umum yang mengikuti penanggalan Arab Saudi untuk pelaksanaan puasa Arafah. Menurutnya, terdapat alasan fundamental yang mendukung pentingnya mengacu pada kalender lokal masing-masing negara.

Dalam sebuah keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (14/6/2024), ia menekankan bahwa konsep asli dari hari Arafah adalah berdasarkan tanggal sembilan Dzulhijjah, tanpa terikat pada aktivitas atau lokasi tertentu di Arafah. 

“Hari Arafah itu pada dasarnya adalah tanggal, bukan tergantung pada tempat atau kegiatan wukuf di Arafah,” ujar Ustaz Jeje.

Lebih lanjut, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Seni Budaya dan Peradaban Islam tersebut menjelaskan bahwa perintah untuk berpuasa pada hari Arafah, yang tertuang dalam syariat Islam, tidak secara spesifik mengharuskan adanya keterkaitan dengan kegiatan wukuf yang dilakukan oleh jemaah haji di Arafah, Arab Saudi. 

“Ini penting untuk dipahami karena seringkali terjadi kekeliruan persepsi di kalangan umat,” tambahnya.

Dia juga mengingatkan bahwa puasa Arafah telah disyariatkan sejak tahun kedua Hijriah, sementara ibadah haji disyariatkan beberapa tahun setelahnya. 

Hal ini menunjukkan bahwa puasa Arafah telah ada sebelum praktek wukuf di Arafah menjadi bagian dari ibadah haji.

Salah satu masalah yang muncul jika umat Islam di luar Saudi mengikuti penanggalan Saudi adalah terjadinya kebingungan dalam penentuan tanggal Idul Adha. 

“Kalau kita ikuti terus penanggalan Saudi, apa kita harus menyesuaikan juga hari raya Idul Adha dengan Saudi? Ini akan menimbulkan kekacauan kalender pada bulan Dzulhijjah,” jelasnya.

Dia mengajak untuk melihat fakta bahwa dunia Islam terbagi dalam dua zona mathla’ (tempat terbitnya hilal) yang sering tidak sinkron. Dengan perbedaan geografis yang signifikan, praktik ibadah yang mengikuti satu titik pengamatan menjadi tidak praktis dan tidak relevan.

Untuk mendukung argumennya, Ustaz Jeje menyoroti bahwa selama berabad-abad, umat Islam telah melaksanakan puasa Ramadhan dan Arafah berdasarkan penanggalan lokal masing-masing negara. “Ini menunjukkan bahwa masing-masing negara memiliki kewenangan untuk menetapkan penanggalan berdasarkan rukyat lokal mereka,” pungkasnya.

Kesimpulan dari diskusi tersebut adalah bahwa umat Islam di setiap negara hendaknya mematuhi kalender lokal dalam menentukan hari puasa Arafah sebagai bentuk penghormatan terhadap kemerdekaan dan keunikan praktik keagamaan di negara masing-masing. Wallahu’alam.

Back to top button