News

Kesaksian Jurnalis Penyintas Gempa Suriah: Rasanya Seperti Skenario Kiamat

Ini adalah mimpi terburuk bagi setiap orang tua, ketika anak sakit, lalu Anda membawanya ke rumah sakit dan dia harus dirawat.

Anda menarik napas lega dan melangkah keluar sebentar.

Saat ini, hidup terasa bagaikan neraka bagi Ismael Alrej, seorang jurnalis yang berbasis di Provinsi Idlib, Suriah bagian utara.

Pada Senin (6/2/2023) pukul 04.18 waktu setempat, gempa besar berkekuatan magnitudo 7,8 melanda. Segala sesuatu di sekelilingnya bergetar hebat selama dua menit.

“Kemudian gempa terasa semakin kuat,” kata Ismael kepada jurnalis BBC Lina Shaikhouni melalui sambungan telepon yang terputus-putus.

“Listrik padam dan pintu masuk rumah sakit yang terbuat dari kaca, mulai pecah.”

Dia melihat dua bangunan tempat tinggal runtuh, yang berjarak sekitar 150 meter dari tempat dia berdiri. Ketika itu, dia merasa benar-benar bingung dalam kegelapan yang tiba-tiba.

“Itu seperti skenario kiamat,” katanya. “Saya mulai membayangkan bagaimana saya harus menyelamatkan putra saya dari puing-puing.”

Semenit kemudian, dia melihat putranya Mustafa berlari ke arahnya, sambil berteriak dan menangis.

Mustafa telah merobek infusnya sendiri, dan darah mengalir di lengannya.

Hingga satu jam, tidak ada yang bisa menjangkau bangunan yang runtuh. Mereka juga tidak bisa memanggil unit pertahanan sipil karena listrik dan jaringan internet mati.

Al-Dana merupakan kota yang dikuasai oposisi dan dekat dengan perbatasan Turki.

Unit pertahanan sipil adalah satu-satunya unit tanggap darurat di tengah tidak berjalannya layanan pemerintah, namun skala kehancuran akibat gempa ini membuat mereka tidak mungkin menjangkau seluruh orang yang terdampak.

Beberapa jam kemudian, Ismael pergi untuk memastikan situasi di seluruh Provinsi Idlib.

“Kerusakannya tidak tergambarkan,” kata dia.

“Daerah yang paling terdampak adalah yang sebelumnya dibombardir oleh pemerintah Suriah atau pasukan Rusia.”

Pemberontakan Suriah pada 2011 berubah menjadi perang saudara yang pahit di mana rezim Suriah pimpinan Presiden Bashar al-Assad, yang didukung oleh Rusia, menggempur wilayah yang dikuasai pemberontak.

Situasi itu berujung buntu. Wilayah barat laut Suriah kini terpecah menjadi beberapa zona yang dikendalikan oleh pasukan oposisi Suriah atau pemerintah yang berbasis di Damaskus.

Ismael melihat puluhan bangunan tempat tinggal hancur di Kota Atareb, yang berlokasi di utara Aleppo.

“Ada banyak bangunan dan lingkungan yang tidak dapat dijangkau oleh tim penyelamat karena kurangnya alat berat,” kata dia.

“Kami sangat membutuhkan bantuan dari organisasi internasional.”

Jurnalis Suriah Kiamat

Sumber daya yang berharga

Dokter Osama Salloum bekerja untuk Yayasan Masyarakat Medis Amerika Suriah (SAMS) yang mendukung sejumlah rumah sakit di wilayah barat laut yang dikuasai oposisi.

“Saya berada di rumah sakit SAMS di Atareb beberapa jam setelah gempa,” katanya.

“Ketika saya meninggalkan rumah sakit ada sekitar 53 kematian. Saya tidak bisa menghitung jumlah yang terluka.”

Dia mengatakan lebih dari 120 orang kini telah meninggal di rumah sakit itu saja.

Salloum mengatakan rumah sakit hanya punya sedikit sumber daya untuk menghadapi bencana semacam itu.

“Sebagian besar orang yang diselamatkan dari puing-puing mengalami luka dalam yang membutuhkan perawatan khusus dan peralatan canggih,” katanya, seraya menambahkan bahwa rumah sakit Atareb hanya memiliki satu mesin pemindai CT yang sudah tua.

Sebagian besar bantuan masuk melalui Turki dan harus melalui pemeriksaan perbatasan yang ketat.

Turki sendiri juga menghadapi krisis kemanusiaan yang besar akibat gempa ini, sehingga tidak jelas pasokan apa yang akan mencapai daerah-daerah yang dikuasai oleh oposisi di Suriah.

“Jika kami kehabisan persediaan medis kami saat ini, kami akan menderita,” kata Dr Salloum.

Lumpuh karena syok

Gempa juga melanda daerah-daerah yang berada di bawah kendali pemerintah di wilayah utara Suriah.

Aya, yang hanya bersedia membagikan nama depannya, sedang mengunjungi keluarganya di Latakia ketika gempa mengguncang.

Chef berusia 26 tahun itu sedang tidur bersama ibu dan tiga saudara kandungnya saat listrik padam.

“Saya bangun dari tempat tidur tetapi tidak yakin apa yang membuat saya terbangun,” kata Aya.

“Saya tidak mengerti apa yang terjadi sampai saya mengetahui anggota keluarga saya yang lain juga terbangun.”

Rumah keluarganya berada di jalan utama dan memiliki jendela kaca.

“Kami tidak bisa bergerak karena saking kuat gempa itu,” katanya. “Kami tetap berpegangan di tempat.”

Ibu Aya mengidap penyakit Parkinson. Gempa itu membuatnya ketakutan dan panik.

“Saya kaget dan tidak bisa bergerak,” kata Aya. “Saya terus melihat bagaimana dinding berguncang dan bergerak bolak-balik.”

“Saya tidak bisa menjelaskan kepada Anda, betapa gilanya situasi saat itu.”

Haneen, seorang arsitek berusia 26 tahun, juga tinggal di Latakia. Dia bercerita bahwa pemuda di sekitar tempat tinggalnya mendirikan tenda untuk tempat orang-orang berlindung dari hujan.

Tenda biasanya digunakan untuk menampung pelayat selama pemakaman. Bagi Haneen, itu membuatnya merasa suram.

Ibunya berada di desa asalnya dan selamat, tetapi Haneen mengaku trauma.

“Saya tidak tahu apakah saya membantu saudara perempuan saya atau saya sendiri harus meninggalkan rumah lebih dulu, saya tidak bisa bertanya padanya,” kata dia.

Mereka berlindung di depan toko roti lokal sebelum kembali ke rumah.

Segalanya menjadi lebih sulit bagi Aya karena dia tidak mendapatkan taksi atau tempat berlindung di tengah malam saat badai melanda untuk saudara perempuan dan ibunya.

Aya dan keluarganya akhirnya berhasil sampai ke Damaskus, tapi dia tidak yakin bisa kembali ke rumah mereka di Latakia.

“Kami pernah menyaksikan perang dan dipaksa keluar dari rumah kami pada 2012,” kata dia.

“Yang saya rasakan di tengah gempa sangat berbeda dengan apa yang saya rasakan selama perang.

“Saya merasa pada saat itu, segala sesuatu di sekitar saya bisa runtuh,” ujarnya.

“Saya bisa kehilangan ibu atau saudara perempuan saya. Itu adalah perasaan yang sangat berat dan sulit.”

Bahkan mencapai Damaskus yang aman pun tidak sepenuhnya membantu.

Aya merasa pusing selama berjam-jam, seolah gempa masih berlangsung.

“Itu seperti luka yang terbuka kembali. Luka besar yang perlahan sembuh tetapi terbuka kembali,” katanya sambil merenungkan lebih dari satu dekade perang saudara yang telah dilewatinya.

“Luka itu dibuka kembali untuk semua orang di Suriah tanpa kecuali.”

Sementara bagi Dr Salloum, gempa membawanya kembali ke hari-hari terburuk perang, ketika dia tinggal di Aleppo timur yang dikuasai oleh oposisi ketika dibombardir.

“Saya merasa kematian sudah dekat,” katanya.

“Saya terus mendengar bangunan dan batu jatuh.”

Dia menggambarkan kekacauan pada detik-detik awal gempa, mendengar orang-orang panik dan berteriak minta tolong.

“Saya tidak mengerti apa yang sedang terjadi,” katanya.

“Ini hari yang berat dan tidak ada akhir yang terlihat.” [BBC News]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button