Kanal

Kerja Paksa, Tanam Paksa, Kini Ekspor Paksa

Di masa penjajahan, rakyat Indonesia telah dipaksa untuk melaksanakan banyak program yang merugikan, bahkan menimbulkan banyak korban jiwa. Seperti kerja paksa dan tanam paksa. Kini di era modern muncul ekspor paksa yang dilakukan negara-negara lain seperti mengulang zaman penjajahan.

Indonesia kalah gugatan larangan ekspor bijih nikel dalam final panel report dari Organisasi Kesehatan Dunia (WTO) yang keluar per 17 Oktober 2022. Kebijakan Indonesia dianggap telah melanggar Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) XX (d) GATT 1994. Kebijakan larangan ekspor dan pemurnian mineral nikel di Indonesia dituduh melanggar ketentuan WTO.

Mungkin anda suka

Peraturan perundang-undangan yang dinilai melanggar ketentuan WTO, yakni UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 tahun 2019 perubahan kedua atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Juga Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Terakhir, Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Dalam hasil putusan final tersebut disebutkan bahwa kebijakan Ekspor dan Kewajiban Pengolahan dan Pemurnian Mineral Nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994. Panel juga menolak pembelaan yang diajukan Pemerintah Indonesia terkait keterbatasan jumlah Cadangan Nikel Nasional dan untuk melaksanakan Good Mining Practice (aspek lingkungan) sebagai dasar pembelaan.

Indonesia resmi mengajukan banding atas putusan WTO yang menyatakan kebijakan larangan ekspor dan hilirisasi nikel melanggar peraturan perdagangan internasional.

“Indonesia telah memberitahu Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) tentang keputusannya untuk mengajukan banding atas laporan panel dalam kasus yang dibawa oleh Uni Eropa dalam ‘Indonesia – Tindakan Terkait Bahan Baku’ (DS592),” tulis situs resmi WTO.

“Masih ada peluang untuk banding dan tidak perlu mengubah peraturan atau bahkan mencabut kebijakan yang tidak sesuai sebelum keputusan sengketa diadopsi DSB,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasarif.

Mirip masa penjajahan

Keputusan WTO tentang ekspor paksa ini tentu mengingatkan pengalaman pahit di masa penjajahan dahulu. Dengan perpanjangan tangan VOC, Belanda yang menjajah Indonesia selama 350 tahun melakukan beberapa program yang memaksa rakyat. Seperti program kerja paksa atau kerja rodi dan program tanam paksa. Demikian pula penjajah Jepang dengan program kerja paksa romusha.

Tujuannya jelas, memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi penjajah. Program ini tidak hanya merugikan Indonesia karena sumber daya alamnya dikeruk habis-habisan tetapi juga menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Karena program ini yang sifatnya memaksa, rakyat mau tidak mau harus melaksanakannya di bawah ancaman senjata dan penyiksaan.

Kerja paksa

Lihat saja program kerja paksa. Kebijakan kerja paksa atau rodi diterapkan pada masa penjajahan Belanda di Indonesia dan dicetuskan Herman Willem Daendels. Dalam kerja rodi ini pemerintah kolonial menggunakan tenaga rakyat secara bebas, bahkan tak dibayar. Dalam peraturan kerja rodi sejak 1808 hingga 1811 tersebut, Daendels kerap memerintahkan warga pribumi untuk menjadi tentara sekutu.

Selain itu, ia memaksa rakyat untuk membangun berbagai infrastruktur seperti pembangunan pabrik senjata di Surabaya dan Semarang, benteng-benteng pertahanan, pangkalan armada di Anyer dan Ujung Kulon, serta pembuatan jalan raya sepanjang 1.100 kilometer yang terbentang dari Anyer sampai Panarukan.

Dampak dari kerja rodi ini sungguh menyengsarakan rakyat karena memakan korban hingga mencapai 12.000 jiwa.

Kerja paksa juga berlanjut di era penjajahan Jepang dengan kebijakannya yang disebut romusha. Jepang menjajah Indonesia selama 3,5 tahun sejak 1942 hingga 1945. Pada mulanya, pelaksanaan romusha didukung rakyat karena masih termakan propaganda Jepang untuk membangun keluarga besar Asia.

Tenaga-tenaga romusha ini kebanyakan diambil dari desa-desa, umumnya orang-orang yang tidak bersekolah atau paling tinggi tamat Sekolah Dasar.

Semula program romusha bersifat sukarela dan sementara. Namun, setelah kebutuhan mendesak, pengerahan tenaga kerja berubah menjadi paksaan. Ribuan tenaga kerja romusha dikirim ke luar Jawa, bahkan ke luar negeri, seperti Burma, Malaysia, Thailand, dan Indo-Cina. Dalam literatur lain menyebutkan jumlah romusha di Indonesia mencapai 4 juta sampai 10 juta.

Romusha bertujuan memperbaiki perekonomian dan membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Tenaga kerja romusha ini diperlakukan dengan sangat buruk, sehingga banyak di antara mereka yang meninggal dunia.

Tanam paksa

Tanam Paksa dikenal dengan istilah cultuurstelsel berarti Sistem Kultivasi atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Sistem Budi Daya yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa.

Peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada 1830 ini mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20 persen) untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya teh, kopi, dan kakao.

Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20 persen) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.

Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.

Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada target penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah.

Petani yang pada zaman VOC wajib menjual komoditas tertentu pada VOC, harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan pemerintah.

Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia Belanda pada 1835 hingga 1940.

Tanam Paksa ini telah mengeruk keuntungan dan kekayaan dari tanah Hindia. Dari tahun 1831 hingga 1877, perbendaharaan Kerajaan Belanda telah mencapai 832 juta gulden, utang-utang lama VOC dapat dilunasi, kubu-kubu dan benteng pertahanan dapat dibangun.

Dulu VOC kini WTO

Kerja paksa dan tanam paksa merupakan sejarah kelam bangsa Indonesia. Kini dengan wujud yang berbeda, juga ada paksaan untuk mengekspor produk bijih nikel. Kalau saat penjajahan yang memaksa itu adalah VOC kini adalah lembaga Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Ekspor paksa itu muncul selepas Uni Eropa menggugat Indonesia di WTO. Pemerintah memang sedang mengejar target hilirisasi sumber daya alam (SDA). Setelah melarang ekspor nikel ore atau bijih nikel, pemerintah mengemukakan bakal melarang ekspor mineral mentah lainnya. Seperti ekspor bauksit hingga tembaga.

Indonesia memang tak mau didikte WTO dan mengutamakan kepentingan nasionalnya. “Masa-masa kolonial telah meninggalkan trauma panjang bangsa kita. Kita dipaksa kerja paksa, kita dipaksa tanam paksa. Saat ini kita tidak mau dipaksa-paksa, termasuk kita tidak mau dipaksa untuk ekspor paksa,” kata Presiden Joko Widodo, pekan lalu.

Bagaimana kelanjutan dari paksaan ekspor ini? Kita tunggu saja. Semua berharap Indonesia bisa menentukan nasibnya sendiri dan tidak terjebak dengan aksi ekspor paksa pihak asing terhadap kedaulatan ekonomi nasional.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button