News

Kepala Polisi Nakamura dan Tradisi Mengundurkan Diri di Jepang

Di Jepang, mundur dari sebuah jabatan menjadi hal yang lumrah bahkan dianggap sebagai langkah terakhir menjaga ‘kehormatan’ sebagai pemimpin. Hal yang jarang dilakukan pemimpin di Indonesia.

Pejabat Jepang yang baru-baru ini menyatakan mundur adalah Kepala Kepolisian Nasional Itaru Nakamura. Ia mengumumkan pengunduran dirinya usai penyelidikan menemukan kelalaian dalam pengamanan mendiang mantan Perdana Menteri Shinzo Abe.

Abe meninggal dunia setelah ditembak dari jarak dekat saat berpidato kampanye partainya di Kota Nara pada awal Juli lalu.

“Kami memutuskan untuk merombak personel kami dan memulai lembaran baru kewajiban pengamanan kami, dan maka dari itu saya mengajukan pengunduran diri saya ke Komisi Keamanan Publik Nasional hari ini,” kata Nakamura kepada wartawan, Kamis (25/8/2022), seperti dikutip dari AFP.

Selain itu, Nakamura mengaku ada kekurangan dari rencana pengamanan Abe hingga membuat salah satu PM Jepang paling populer itu menjadi target penembakan.

“Ada kekurangan dalam rencana pengamanan dan penilaian risiko yang menjadi dasarnya, pun arahan dari komandan lapangan tidak cukup,” ujar Nakamura.

“Akar dari masalah ini adalah keterbatasan sistem saat ini, yang telah diterapkan selama bertahun-tahun, di mana kepolisian lokal bertanggung jawab sendiri untuk memberikan pengamanan,” lanjut Kapolri-nya Jepang itu.

Jika Nakamura mundur karena merasa bertanggung jawab atas kelalaian institusi yang ia pimpin, tak sedikit orang-orang penting di Jepang yang mundur dalam sejarah karena dianggap gagal memenuhi janji hingga terbelit skandal. Budaya yang biasanya disertai dengan gerakan membungkuk sebagai permintaan maaf yang mendalam ini memang seakan menjadi ciri khas negeri Matahari Terbit tersebut.

Sebelum Nakamura, tak terhitung pejabat, politisi, hingga pemimpin perusahaan yang memutuskan mundur. Jika ditelusuri dari sejarah, budaya mundur dari jabatan ini tentu mengarah pada budaya malu yang memang telah tertanam di tengah masyarakat Jepang. Dan jika lebih dalam ditelusuri, budaya malu ini tentu berkaitan erat dengan tradisi harakiri, menusuk perut sendiri dengan belati.

Singkatnya, di Jepang lebih baik mati dibanding harus menanggung malu sepanjang hidupnya. Terlalu sadis mungkin jika harus menempuh ‘jalan kematian’ dengan ritual harakiri. Sehingga mundur dari jabatan dianggap lebih ‘berperikemanusiaan’ untuk tetap menjaga kehormatan.

Back to top button