News

Kemenangan Trump Usai Divonis Bersalah Bisa Membahayakan Dunia


Mantan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump diputus bersalah atas 34 tuduhan kejahatan dalam persidangan pidananya di Mahkamah Agung Negara Bagian New York pada Kamis (30/5/2024). Presiden AS berikutnya bisa jadi adalah seorang penjahat yang mendapat hukuman.

Hukuman terhadap Trump atas 34 tuduhan kejahatan tidak secara mendasar mengubah peluang siapa yang akan memenangkan pemilu AS tahun 2024. Artinya pertaruhan pemilihan presiden AS antara Donald Trump dan Joe Biden semakin tinggi.

Mengutip Channel News Asia (CNA), peringkat dukungan terhadap Presiden AS Joe Biden telah anjlok hingga di bawah 38 persen, menempatkannya pada kondisi yang lebih buruk pada masa jabatannya dibandingkan tiga petahana yang semuanya kalah dalam pemilu ulang (Trump sebesar 42,6 persen, George HW Bush sebesar 40 persen dan Jimmy Carter sebesar 40,7 persen).

Sebanyak 73 persen warga Amerika saat ini percaya bahwa negaranya sedang menuju ke arah yang salah. Pemilu tahun ini hampir pasti akan sama ketatnya dengan pemilu tahun 2016 dan 2020, yang menghasilkan jumlah suara yang relatif sangat kecil di beberapa negara bagian saja.

Tentu saja, beberapa pemilih independen dan pendukung Partai Republik mungkin memutuskan bahwa Amerika Serikat tidak dapat memilih seorang penjahat yang dihukum sebagai presiden, tidak peduli siapa lawannya dan sekarang akan memilih Biden. Sementara Partai Demokrat yang ragu-ragu dalam memilih Biden karena tidak setuju dengan pendekatan pemerintahannya terhadap Israel kini mungkin akan tetap berada di kubu Demokrat.

Namun, perolehan suara tersebut bisa saja diimbangi oleh para pendukungnya yang mungkin bosan dengan sosok Trump, namun tidak bosan dengan pesan intinya “Membuat Amerika Hebat Lagi”. Semuanya akan terlihat ketika mereka selesai menuju tempat pemungutan suara pada bulan November.

Ada banyak hal lain yang bisa berdampak pada hasil pemilu selain putusan bersalah Trump ini yakni Debat Presiden. Misalnya apakah bisa dilihat salah satu kandidat tampak tidak kompeten atau tidak berdaya; memburuknya situasi di Gaza atau meluasnya konflik; krisis ekonomi di Amerika; atau darurat kesehatan dari salah satu orang tertua yang pernah mencalonkan diri.

Kita tahu bahwa mantan presiden AS akan secara agresif memanfaatkan hukuman tersebut untuk mencapai tujuan pribadi dan politiknya. Kemenangan Trump pasca-vonis bersalah akan meningkatkan fokusnya untuk mengejar konstitusi, penegakan hukum, dan sistem peradilan AS, yang semuanya sejauh ini menghambatnya.

Hal ini dapat menempatkan sistem pemerintahan AS di bawah tekanan yang lebih besar dibandingkan masa-masa sebelumnya sejak berakhirnya Perang Saudara pada tahun 1865. Meskipun upaya-upaya seperti menghilangkan “deep state” jaksa independen AS dan Biro Investigasi Federal bersifat domestik, negara-negara lain di dunia juga akan merasakan dampaknya.

Jika Trump mulai menjabat, kebijakan luar negerinya yang “America First” berarti mengancam China dengan tarif yang besar, dan tarif yang lebih tinggi di seluruh dunia. Pemerintahan Trump akan menarik diri dari kerangka kerja yang meningkatkan keterlibatan AS di kawasan ini, seperti Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik, yang akan menjadi tuan rumah pertemuan tingkat menteri berikutnya dan Forum Investor Ekonomi Bersih.

AS Menanggung Krisis Dunia Lebih Banyak 

Terlepas dari Biden atau Trump 2.0, dunia bergulat dengan lebih banyak krisis yang tidak bisa mereka tangani. Seperti krisis iklim, invasi Rusia ke Ukraina, perang Israel-Hamas, meningkatnya ketegangan AS-Tiongkok, dan meningkatnya agresivitas Tiongkok di Laut Cina Selatan.

Masa jabatan Trump yang kedua kalinya dengan menerapkan retribusi di dalam negeri berisiko menyebabkan krisis ini meluas, atau lebih buruk lagi, meningkat menjadi konflik global yang mengancam kepentingan Amerika meskipun ada upaya Trump untuk mengisolasi negara tersebut.

“Kebijakan Asia tidak akan berubah di bawah pemerintahan Trump kecuali, mungkin, terhadap Taiwan di mana komitmen AS terhadap pertahanannya bisa melemah,” Bilahari Kausikan, mantan Sekretaris Tetap Kementerian Luar Negeri Singapura, mengutip CNA.

Jika hal itu terjadi, dan mengubah pendekatan lintas selat CNA, lupakan guncangan yang akan dialami Asia di bawah kepemimpinan Trump yang kedua, karena dampaknya bakal seperti tsunami. 

Back to top button