Kanal

Kemenangan Erdogan di Pilpres Turki: It’s Economy, Stupid!

Kemenangan Erdogan juga memancing sebagian warga dunia maya mempertanyakan adagium khas Pemilu,” Its economy, Stupid!” Frasa yang dipopulerkan James Carville, ahli strategi kampanye Bill Clinton saat mempecundangi George Bush pada Pilpres AS 1992 itu, memang percaya keyakinan terbalik Voltaire bahwa bila lapar, rakyat akan bangun dan menggigit. Bagi kalangan warganet tersebut, hasil Pilpres Turki membuktikan betapa tidak rasionalnya politik, karena didominasi cinta dan benci. Pasalnya, selama sekian tahun ini ekonomi Turki boleh dibilang terpuruk.  

Oleh   : Darmawan Sepriyossa*

Berlawanan dengan hasil sekian banyak lembaga survey, Recep Tayyip Erdogan kembali memenangkan pemilihan presiden Turki 2023 yang harus berlangsung dua putaran. Kemenangan itu memberi kewenangan bagi Erdogan untuk memerintah Turki hingga 2028. Dari perhitungan akhir yang pada Ahad (28/5) mencapai 98,8 persen suara, Erdogan meraih 52,14 persen suara. Sementara pesaingnya, Kemal Kilicdaroglu dari kubu Kemalis yang sekuler, meraup suara 47,86 persen.

“… telah ditentukan bahwa Recep Tayyip Erdogan terpilih sebagai presiden,” kata Ketua Dewan Pemilihan Tertinggi Turki, Ahmet Yener, yang disiarkan kantor berita negara Anadolu, Senin (29/5). Kontan para pemimpin dunia, seperti Presiden AS, Joe Biden; Perdana Menteri Inggris, Rishi Sunak; Presiden Prancis, Emmanuel Macron; Kanselir Jerman, Olaf Scholz; Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, hingga Presiden Rusia, Vladimir Putin, segera  menyampaikan ucapan selamat.

“Kami mengandalkan penguatan lebih lanjut dari kemitraan strategis kami, serta penguatan kerja sama untuk keamanan dan stabilitas Eropa,”tulis Zelenskyy dalam sebuah cuitan di Twitter.

Terpilihnya Erdogan untuk keempat kalinya ini tergolong dramatis. Ia yang petahana justru menjadi under-dog sekian banyak hasil riset lembaga survey di sana, yang selalu memenangkan Kilicdaroglu. Mirip-mirip di negeri Konoha, di mana sebagian warga dunia mayanya telah mencibir lembaga survey sebagai lembaga ‘sure pay’.

Kemenangan Erdogan juga memancing sebagian warga dunia maya mempertanyakan adagium khas Pemilu,” Its economy, Stupid!” Frasa yang dipopulerkan James Carville, ahli strategi kampanye Bill Clinton saat mempecundangi George Bush pada Pilpres AS 1992 itu, memang percaya keyakinan terbalik Voltaire bahwa bila lapar, rakyat akan bangun dan menggigit. Bagi kalangan warganet tersebut, hasil Pilpres Turki membuktikan betapa tidak rasionalnya politik, karena didominasi cinta dan benci. Pasalnya, selama sekian tahun ini ekonomi Turki boleh dibilang terpuruk.

Data resmi memang menunjukkan Turki tengah diombang-ambing inflasi yang mencapai 50,5 persen pada Maret lalu. Level tertingginya malah pada angka 85,6 persen pada Oktober 2022. “Bagaimana dengan kinerja ekonomi yang dalam sekian tahun ini? Di saat competetiveness index, HDI, HCI, CPI, PISA, semua anjlok, GDP per kapita hampir stagnant, kinerja penyerapan tenaga kerja menurun, ICOR yang melonjak tinggi, kesenjangan yang terus meningkat dll, dll, (tapi) tingkat kepuasan (kepada pemerintah) masih 82 persen?  Bukan ”Its economy, Stupid! Tapi “Its love, Stupid!” tulis seorang warganet di satu WAG Indonesia yang berisikan banyak guru besar dan cendikia. Tampaknya sang warganet lupa, di negeri Konoha yang juga tengah tidak baik-baik saja, kepuasan publik terhadap pemerintah menurut lembaga survey toh bisa berada di angka 80-an juga.

Yang juga alpa melintas di benaknya barangkali pula ingatan warga Turki terhadap Erdogan. Mereka tahu negaranya tengah “tidak baik-baik saja”. Tapi juga tak lupa dengan apa yang telah diberikan “Sang Elang Pejuang” itu kepada Turki dan rakyatnya. Yang diwarisi Erdogan dari para Kemalis yang memerintah sejak 1924 sampai 2002 adalah Turki yang miskin. Hanya sedikit lebih baik dibanding saat negara itu masih berjuluk “The Sickman of Europe” pada abad 19 dan 20.

Erdoganlah yang mengubah Turki menjadi negara ekonomi maju sejak mulai menjadi perdana menteri pada 2003. Hanya perlu satu dekade baginya untuk berhasil mengangkat pendapatan per kapita Turki dari sekitar 4.000 dolar AS menjadi sekitar 12.000 dolar AS. Dengan keberhasilan itu Turki berubah status dari negara miskin menjadi negara maju. Kinerja ekonomi Erdogan itu membuatnya layak menjadi pemimpin pemerintahan terbaik di sisi peningkatan pendapatan per kapita selama abad 20 dan paruh awal abad 21.

Sejak itu ekonomi Turki terus bertumbuh. Pada Desember 2021, Bank Dunia mencatat bahwa Produk Domestik Bruto Per Kapita (PCI) Turki berada pada angka  13.341,60 dolar AS atau sekitar Rp 200 juta pada kurs 14.975. Angka itu masih 106 persen dari rata-rata PCI dunia.  Dua tahun belakangan, Turki diterpa badai perekonomian yang membuat rumah tangganya gonjang-ganjing. Namun karena sudah berada di level negara  ekonomi maju, Turki tetap berada di jajaran top high-middle income country. Itu yang tak mudah dilupakan warga pemilih Turki.

Baru setelah itu tampaknya unsur “love” kemudian berperan. Ingatkah, bahwa selama puluhan tahun, sejak berkuasanya Mustafa Kemal, memakai jilbab merupa-kan hal terlarang di Turki? Opresi bagi warga Turki yang mayoritas Muslim itu kian mencekik saat rejim militer hasil kudeta memberlakukan larangan jilbab buat pegawai pemerintah pada 16 Juli 1982.

Di masa pemerintahan Erdogan, pada 2013, aturan yang membelenggu kaum Muslimah Turki itu dicabut.

Pilpres kemarin memang sejatinya perang terbuka antara kalangan sekuler Turki dengan umat Muslim. Potret itu terlihat jelas dari bagaimana kedua kubu mengakhiri kampanye mereka sebelum pemilihan. Kemal Kilicdaroglu mengakhiri kampanye dengan mendatangi Mausoleum Kemal Attaturk, “Bapak Turki” yang konon mati karena sipilis. Erdogan mengakhiri kampanye dengan salat maghrib berjamaah di Hagia Sophia yang kini jadi masjid.

Berbeda dengan yang terjadi di banyak negara, di mana kalangan Muslim menghendaki penerapan syariah di berbagai sisi kehidupan kemasyarakatan, Muslim Turki tampaknya tak banyak minta ini-itu. Terbiasa berada dalam kehidupan sekuler, mereka hanya meminta demokratisasi, dalam arti kebebasan untuk hidup sesuai aturan yang diimani masing-masing. Di Turki, justru kaum sekuler yang cenderung anti-demokrasi, dengan banyak melarang hal-hal yang sejatinya merupakan hak asasi pribadi.

Erdogan sendiri tak pernah sekali pun bicara untuk mengubah 180 derajat wajah Turki. Konon, Erdogan yang begitu kuat itu bahkan pernah menolak saran sahabatnya untuk menjadi sultan dan mengubah Turki Kembali ke alam Utsmani.

Erdogan tampaknya percaya demokrasi, yang menurut Alain Badiou,”the art of attacking the impossible.” Kalau ia terasa tamak kuasa, mungkin hanya karena jiwanya penuh kepribadian seorang benevolent authoritarian, didorong desakan untuk memperbaiki keadaan. Bagaimana pun, benar juga kata Karl Paul Reinhold Niebuhr, seorang professor teologi AS, “Kapasitas manusia untuk berbuat adil menyebabkan demokrasi mungkin; kapasitas manusia untuk sewenang-wenang menyebabkan demokrasi perlu.”

Negeri di Semenanjung Anatoli itu tetap negeri sekuler. Mungkin itu yang membuatnya relatif dicintai, baik kaum Muslim ‘garis lurus’, maupun Muslim yang telah menjelang 100 tahun ini hidup dalam alam sekuler. “Saya sangat menghormati Erdogan,” tulis Shaimaa Elshorkobaly, mahasiswa doktoral berkebangsaan Inggris, di Twitter, segera setelah Erdogan terpilih kembali.

“Saya mengagumi kepemimpinan pragmatisnya, yang berakar pada Islam rasional….Dia di sini untuk mengajarkan pragmatisme Islam,”tulis dia, dalam diskusi daring di Twitter yang rata-rata menyambut baik kemenangan Erdogan. [ ]

*Wartawan muda

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button