Hangout

Kasus Penculikan Anak Marak, Ikuti Tips Pencegahan Ini

Kasus yang dialami bocah perempuan bernama Malika mencerminkan makin rentannya anak-anak menjadi korban penculikan. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebutkan kasus penculikan anak di Indonesia meningkat hingga 50 persen.

Sepanjang pandemi COVID-19 atau sejak 2021 hingga Desember 2022, telah terjadi peningkatan kasus penculikan anak 50 persen. “Di 2021 kami menerima laporan hanya 11 kasus penculikan anak untuk tujuan perdagangan manusia, kejahatan seksual, dan eksploitasi ekonomi. Tetapi, sampai akhir Desember 2022, kami menerima laporan 21 kasus. Itu berarti ada peningkatan 50 persen soal kasus penculikan anak,” ungkap Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas PA, kepada Inilah.com di RS Polri Kramat Jati, Kamis (5/1/2023).

Mungkin anda suka

Terkait peningkatan kasus penculikan anak pada Desember 2022 sebanyak 21 kasus. Arist menyampaikan, baru 8 kasus yang telah terungkap. Ia merinci, empat kasus bertujuan eksploitasi ekonomi, dua kasus bertujuan adopsi ilegal, dan dua lagi bertujuan eksploitasi seksual. “Jadi ada delapan yang terungkap ya. Ini bukan data nasional. Sekali lagi saya sampaikan, hanya kasus yang terlapor ke Komnas PA,” terangnya.

Penculikan anak terakhir yang menimpa anak perempuan bernama Malika, 6 tahun, di Jakarta Pusat menyedot perhatian publik. Bocah perempuan itu dibawa kabur oleh pemulung bernama Iwan Suwarno (42) dari rumah korban di kawasan Gunung Sahari, Jakpus. Kini, bocah tersebut berhasil ditemukan setelah selama hampir 1 bulan dan pelaku penculikan sudah ditangkap.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengimbau orang tua untuk lebih memperhatikan anaknya dan lebih waspada untuk mencegah penculikan. “Warga harus lebih peka dan sadar bahwa anak-anak bisa terancam oleh penculik atau orang lain dengan niat jahat,” kata Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian PPPA Nahar, seperti dikutip dari keterangannya di Jakarta, Rabu (4/1/2023).

Ia menegaskan upaya pencegahan harus dioptimalkan. “Belajar dari kasus ini, kami berharap ini tidak terulang lagi di masa mendatang. Apalagi aspek pencegahan harus diutamakan,” ujarnya.

Kementerian PPPA juga mendesak semua pihak untuk bekerja sama mendorong perlindungan anak di Indonesia. “Semua pihak, baik itu orang tua, masyarakat, pemerintah, maupun aparat (penegak hukum) harus bersama-sama memastikan bahwa langkah-langkah perlindungan anak dapat dilaksanakan dengan baik untuk mengurangi ancaman yang dapat merugikan (anak-anak kita),” kata Nahar.

Jenis-jenis penculikan

Kasus penculikan anak tidak hanya banyak terjadi di Indonesia. Setiap 40 detik, seorang anak hilang atau diculik di Amerika Serikat. Sekitar 840.000 anak dilaporkan hilang setiap tahun dan FBI memperkirakan antara 85 dan 90 persen di antaranya adalah anak-anak.

Sementara sebagian besar laporan tentang anak hilang atau diculik diselesaikan dalam beberapa jam, banyak yang melibatkan situasi di mana seorang anak hilang secara permanen atau untuk jangka waktu yang lama.

Menurut childsafety.losangelescriminallawyer.pro, ada beberapa jenis seputar anak hilang dan diculik. Pertama adalah penculikan keluarga. Anak-anak di bawah usia 6 tahun paling sering menjadi sasaran penculikan keluarga dan ini sering terjadi di tengah perceraian yang sengit atau perebutan hak asuh. Penculikan keluarga menimbulkan masalah unik untuk penegakan hukum, karena anak mungkin tidak mau meninggalkan penculiknya dan anggota keluarga lainnya mungkin terlibat.

Jenis lainnya adalah penculikan non-keluarga yang dilakukan oleh kenalan dan orang asing. Penculikan oleh orang yang dikenal merupakan 27 persen dari semua penculikan anak dan dilakukan oleh pelaku remaja dalam jumlah yang tidak proporsional. Penculikan jenis ini juga memiliki jumlah korban perempuan dan remaja tertinggi serta sering dikaitkan dengan kejahatan lain seperti penyerangan seksual dan fisik.

Ada pula kasus anak-anak yang diculik atau melarikan diri kemudian menjadi tunawisma. Ini adalah masalah yang serius dan meluas. Anak-anak yang melarikan diri dari rumah menghadapi risiko lebih besar mengalami kecemasan, depresi, bunuh diri, kesehatan yang buruk dan harga diri yang rendah dan lebih mungkin dipaksa melakukan prostitusi, penjualan narkoba dan kegiatan ilegal lainnya.

Dalam banyak kasus, anak yang hilang atau diculik mungkin memiliki cacat fisik atau mental yang dapat membuat lebih sulit untuk menemukan dan mengembalikan anak tersebut. Ketika seorang anak cacat perkembangan, dia mungkin mengalami kesulitan berkomunikasi dengan orang lain tentang kebutuhan, identitas, atau alamat rumah mereka. Ini dapat menempatkan anak pada tingkat bahaya yang lebih besar.

Bagaimana pencegahannya?

Banyak kasus dapat diselesaikan dengan lebih mudah jika orang tua dapat memberikan informasi penting tentang anak mereka, seperti: tinggi badan, berat badan, warna mata, dan foto terbaru yang jelas. Karena, mengutip Kidshealth.org, sebaiknya pastikan dokumen hak asuh sudah beres. Ambil foto seperti ID anak-anak Anda setiap 6 bulan dan sidik jari mereka. Selalu perbarui catatan medis dan gigi anak Anda.

Jadikan keamanan online sebagai prioritas. Internet adalah alat yang hebat, tetapi juga merupakan tempat bagi pemangsa untuk menguntit anak-anak. Waspadai aktivitas internet anak-anak dan ‘teman’ ruang obrolan, dan ingatkan mereka untuk tidak pernah memberikan informasi pribadi. Hindari memposting informasi identitas atau foto anak-anak Anda secara online.

Tetapkan batasan tentang tempat yang dikunjungi anak-anak. Awasi mereka di tempat-tempat seperti mal, bioskop, taman, kamar mandi umum, atau saat penggalangan dana dari pintu ke pintu. Jangan pernah meninggalkan anak sendirian di dalam mobil atau stroller, meski hanya semenit.

Pilih pengasuh, babysitter, penyedia penitipan anak, dan pengasuh, dengan hati-hati dan periksa referensi mereka. Jika telah mengatur seseorang untuk menjemput anak Anda dari sekolah atau tempat penitipan anak, diskusikan pengaturan sebelumnya dengan anak Anda dan dengan sekolah atau pusat penitipan anak.

“Hindari mendandani anak Anda dengan pakaian yang bertuliskan nama mereka mengingat anak-anak cenderung mempercayai orang dewasa yang mengetahui nama mereka,” ungkap Kidshealth.

Sementara itu, Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti memberikan sejumlah tips untuk melindungi buah hati dari upaya penculikan. “Mengedukasi anak merupakan salah satu cara menghindari anak-anak kita menjadi korban penculikan,” kata Retno.

Tips pertama adalah ajari anak merespons situasi yang membayakan. Misalnya harus berteriak minta tolong ketika ada orang yang ia tidak kenal memaksanya ikut pergi. Kedua, ajari anak untuk waspada terhadap orang yang baru dikenal. Ajari pula anak untuk menolak pemberian makanan atau sesuatu lain dari orang asing ketika tidak ada orang tua di sampingnya.

“Ketiga, beri pengertian dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami anak tentang bahaya ikut bersama orang yang tidak dikenal,” ucap dia. Tips keempat mencegah penculikan anak, ujar Retno, tekankan ke anak bahwa ia harus selalu berada di samping orang tua jika bepergian di tempat ramai. Ajari juga apa yang harus dilakukan bila anak tersesat atau terpisah.

Mengajari anak bela diri menjadi tips kelima yang dibagikan oleh Retno. Jika ada orang asing yang memaksanya untuk ikut maka anak diharapkan sudah tahu apa yang harus dilakukan. “Hal paling penting adalah mengajarkan anak mana area tubuhnya yang tidak boleh disentuh orang lain,” katanya.

Adapun tips keenam, ajarkan anak agar bergaul dengan rekan dan tidak menyendiri serta menunggu dijemput saat pulang sekolah. Tips ketujuh, yaitu membiasakan anak bercerita tentang apa pun yang mereka alami. “Itu sebabnya orang tua harus selalu memiliki waktu dan perhatian,” tuturnya. Ia mengimbau agar orang tua tidak meninggalkan anak sendiri ketika mereka bepergian.

Sementara tips kesembilan adalah melatih kemandirian anak di sekolah dengan secara bertahap pergi dan berangkat sendiri. Ajarkan pula untuk berkomunikasi pada guru apabila ada yang berperilaku aneh di sekolah. Adapun tips terakhir menghindari penculikan anak, yaitu hindari mengekspose anak di media sosial.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button