Hangout

Kasus Lesti Kejora, Ini Ciri-ciri KDRT dan Dampaknya bagi Korban

Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami Lesti Kejora membetot perhatian publik. KDRT sering terjadi di sekitar dan bisa dialami siapa saja. Kasus ini sangat merugikan kaum perempuan tidak hanya menyebabkan perceraian tetapi juga dampak fisik dan psikis yang berat.

Publik pecinta dangdut dihebohkan dengan kasus dugaan KDRT yang dilakukan oleh Rizky Billar terhadap istrinya Lesti Kejora. Polisi sudah menerima laporan dari korban yakni Lesti Kejora serta meminta keterangan sejumlah saksi.

Dalam keterangannya, polisi membeberkan detik-detik Lesti Kejora diduga mengalami KDRT. Peristiwa itu bermula ketika Lesti menduga Rizky selingkuh, namun sang suami tidak terima. Lesti pun meminta untuk diantar pulang ke kediaman orang tuanya. Tak suka dengan hal tersebut, Rizky mendorong Lesti.

“Terlapor emosi dan berusaha mendorong korban dan membanting korban ke kasur,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Kombes Pol Endra Zulpan, Kamis (29/9/2022). Setelah itu, lanjut Kombes Pol Endra Zulpan, Rizky Billar berulang kali mencekik leher istrinya tersebut. “Dan mencekik leher korban sehingga korban jatuh ke lantai dan hal tersebut dilakukan berulang-ulang,” kata dia.

Kejadian ini terjadi pada Rabu, 28 September 2022 dini hari sekitar pukul 01.51 WIB di kediaman mereka di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Pagi harinya, kepada polisi dalam laporan yang dibuat, Lesti mengaku kembali mengalami kekerasan dari Rizky. Sekitar pukul 09.47 WIB, Rizky menarik tangan Lesti menuju ke kamar mandi.

“Menarik tangan korban ke arah kamar mandi dan membanting korban ke lantai dan berulang kembali sehingga tangan kanan, dan kiri leher dan tubuhnya merasa sakit,” kata dia. Atas apa yang dialaminya itu, lanjut Zulpan, pada Rabu malam sekitar pukul 22.27 WIB, Lesti pun mendatangi Markas Polres Metro Jaksel.

Ancaman Serius

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan ancaman serius bagi banyak perempuan. Peristiwa KDRT banyak terjadi di sekitar kita. Sayangnya banyak para korban tidak mau melaporkan apa yang dialaminya kepada polisi. Banyak korban yang kemudian memilih memaafkan pasangan dan berdamai demi mempertahankan rumah tangga. Atau tak jarang juga yang mengambil jalan perceraian sebagai solusi dari KDRT ini.

Angka KDRT di Indonesia cukup tinggi. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode 1 Januari 2022 hingga 21 Februari 2022 tercatat sebanyak 1.411 kasus. Adapun sepanjang tahun 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban 10.368 orang.

Sementara menurut Komnas Perempuan, dalam 5 tahun (2016-2020) terdapat 36.367 Kasus KDRT dan 10.669 Kasus Ranah Personal. Dari jenis-jenis KDRT, kekerasan terhadap istri selalu menempati urutan pertama dari keseluruhan kasus KDRT/RP dan selalu berada di atas angka 70 persen. Sedangkan yang paling minim dilaporkan adalah kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT).

KDRT dapat berwujud dalam banyak bentuk, termasuk pelecehan emosional, seksual dan fisik, serta ancaman pelecehan. Pelecehan oleh pasangan bisa terjadi pada siapa saja, tetapi kekerasan dalam rumah tangga paling sering ditujukan kepada perempuan.

Tidak mudah untuk mengidentifikasi kekerasan dalam rumah tangga pada awalnya. Ada yang terlihat sudah kasar sejak awal hubungan, namun yang lebih sering pelecehan dimulai secara halus dan semakin memburuk seiring waktu.

Mengutip Mayoclinic, ada beberapa tanda yang bisa Anda perhatikan ketika menjalin hubungan yang berpotensi mengarah kepada kekerasan. Misalnya, menyebut, menghina, atau merendahkan pasangan. Ada juga yang mencegah pasangannya pergi bekerja atau sekolah atau bertemu dengan anggota keluarga dan teman.

Pelaku KDRT mencoba mengontrol bagaimana pasangan membelanjakan uang, ke mana hendak pergi, obat apa yang diminum, atau apa yang dipakainya.

Biasanya tanda lainnya adalah bersikap cemburu atau posesif atau terus-menerus menuduh pasangannya tidak setia. Juga termasuk mengancam dengan kekerasan atau senjata, memukul, menendang, mendorong, menampar, mencekik, atau menyakiti, anak-anak, atau hewan peliharaan.

Tanda lainnya adalah memaksa untuk berhubungan seks atau melakukan tindakan seksual yang bertentangan dengan keinginan pasangan. Biasanya ia juga menyalahkan pasanganya atas perilaku kekerasannya atau memberi tahu pasangannya bahwa Anda pantas mendapatkannya.

Yang sering menjadi masalah adalah korban kekerasan sulit untuk meninggalkan hubungannya begitu saja. Susah untuk keluar dari toxic relationship atau hubungan yang memang sudah menggunakan cara-cara kekerasan. Sudah berantem, terus maaf-maafan, terus lupa, kemudian terjadi hubungan baik lagi. Namun nanti muncul masalah lagi, berantem lagi, maaf-maafan lagi. Jadi akan terus seperti itu menjadi sebuah siklus kekerasan.

Orang yang melakukan kekerasan, mengutip video Satu Persen, melakukan apa yang diistilahkan sebagai DARVO yakni deny, attack, reverse victim, dan offender. Jadi kalau pelaku kekerasan terus disalahkan, dia membantah, kemudian menyerang balik dan akhirnya korban biasanya memilih berbicara atau melaporkannya. Ini karena korban merasa sudah telah dan mungkin sudah lama. Pelaku biasanya juga akan menyerang balik korbannya, entah menyebutnya fitnah, penipu, dan segala macam alasan.

Apa Efeknya bagi Korban?

Penghinaan, ancaman, pelecehan emosional, dan pemaksaan seksual semuanya merupakan kekerasan dalam rumah tangga. Beberapa pelaku mungkin menggunakan anak-anak, hewan peliharaan, atau anggota keluarga lainnya sebagai pengaruh emosional untuk membuat korbannya melakukan apa yang mereka inginkan.

KDRT adalah penyebab paling umum cedera bagi perempuan. Bahkan cedera yang dialami perempuan dari KDRT ini lebih banyak daripada kecelakaan mobil. Butuh waktu sebelum korban KDRT mengenali situasi mereka.

Mengutip Psychologytoday, pelecehan sering meninggalkan bekas fisik. Mulai dari yang bersifat jangka pendek, seperti memar, nyeri, sesak napas, gemetar dan patah tulang, atau jangka panjang, seperti radang sendi, hipertensi, dan penyakit kardiovaskular.

Korban pelecehan juga dapat menderita efek emosional dan psikologis jangka pendek dan jangka panjang, termasuk perasaan bingung atau putus asa, penurunan harga diri, tidak berdaya, depresi, kecemasan, serangan panik, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD).

Parahnya lagi, KDRT yang dialami korban dapat terus berlangsung yang dilakukan oleh mantan suami maupun keluarga mantan suami meski perkawinan telah putus melalui perceraian. Sehingga dampak terhadap si korban pun akan terus berlanjut.

Kasus KDRT yang dialami Lesti Kejora hanya puncak dari gunung es. Masih banyak korban KDRT yang enggan melaporkan apa yang dialaminya. Karena itu, mengingat sangat tingginya angka KDRT serta efek yang berat secara fisik dan psikis bagi korbannya, upaya untuk memeranginya juga perlu upaya khusus. Dari mulai penumbuhan pemahaman dan kesadaran terhadap KDRT, pencegahan, penangangan hingga pemulihan terhadap korban.

Saat ini memang sudah ada Undang-undang (UU) Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.

Namun, melihat masih tingginya kasus ini, pelaksanaan UU ini masih menemui sejumlah hambatan untuk memastikan korban mendapatkan keadilan dan pemulihan. Masyarakat juga tak perlu ragu untuk ikut menghentikan tindakan KDRT dan tidak mengganggapnya sebagai masalah keluarga yang tidak bisa dicampuri oleh orang lain.

Back to top button