Kanal

Kasus Kanjuruhan, Kita Harus Belajar dari Negara Lain

Peristiwa di Stadion Kanjuruhan, Malang yang sedikitnya menewaskan 130 penggemar sepak bola dan lebih dari 300 lainnya terluka menjadi salah satu tragedi olahraga terburuk dalam sejarah. Bagaimana sebenarnya negara lain mengelola sebuah pertandingan sehingga aman dan menarik?

Musibah tersebut terjadi pada Sabtu (1/10/2022) malam di stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur seusai pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya. Pada laga tersebut Arema kalah 2-3 oleh Persebaya.

Kecewa dengan kekalahan tersebut, suporter Arema melemparkan botol dan benda lain ke arah pemain dan ofisial sebelum menyerbu lapangan. Rekaman video menunjukkan pihak berwenang menembakkan gas air mata, dan dipersenjatai dengan tongkat dan perisai saat mereka mengejar Aremania dalam upaya memulihkan ketertiban.

Stadion pada pertandingan itu penuh melebihi kapasitas. Sebanyak 42.000 tiket telah habis terjual untuk stadion yang menampung maksimal 38.000 penonton. Selain itu, stadion Kanjuruhan hanya memiliki satu pintu keluar (yang juga merupakan pintu masuk).

Dalam lingkungan olahraga yang kompetitif, orang biasanya memiliki emosi tinggi. Jadi tidak sulit untuk melihat bagaimana kerumunan hiruk pikuk yang bergegas melalui satu pintu keluar dapat menyebabkan kematian dan cedera. Sementara di tempat yang begitu padat, keputusan polisi untuk menggunakan gas air mata malah meningkatkan situasi yang sudah membingungkan dan kacau.

Belajar dari Negara Lain

Profesor di Universitas Newcastle Alison Hutton mengungkapkan seperti kebanyakan tragedi yang melibatkan banyak massa ini, peristiwa di Malang tampaknya memiliki benang merah dengan peristiwa di dunia yang berhubungan dengan massa yang banyak.

“Belajar dari strategi sebelumnya, seperti bencana di Hillsborough 1989 dan bencana Parade Cinta 2010 di Jerman, di mana kombinasi tindakan polisi, komunikasi yang buruk, dan akses dan jalan keluar yang buruk bagi massa telah berakhir dengan tragedi,” ujarnya, mengutip The Conversation.

Ia mengungkapkan, sebenarnya strategi Kanjuruhan bisa dihindari. Ia menyarankan beberapa strategi yang dapat digunakan untuk memastikan bahwa peristiwa itu tidak terjadi lagi. Misalnya, penelitian menunjukkan bahwa menyalakan lampu stadion untuk memberi tahu penonton bahwa pertunjukan telah selesai dapat membantu proses keluar penonton dari stadion secara teratur.

Penonton juga lebih memilih meninggalkan tempat dengan cara yang sama seperti saat mereka masuk, jadi semua pintu keluar harus terbuka, dapat diakses, dan memiliki penerangan yang baik.

Di luar itu, penonton sepak bola Indonesia terkenal dengan kegairahannya. Jadi risiko kerumunan yang tidak terkendali harus dikelola secara pre-emptive. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan memisahkan penonton ke dalam zona yang berbeda, seperti teknik yang sudah digunakan dalam acara Piala Dunia. Hal ini dapat mengurangi ketegangan di stadion dengan mengurangi kemungkinan para penggemar dari tim yang berbeda bertemu satu sama lain.

Polisi juga dapat membentuk penghalang atau barikade damai di sekitar lingkaran lapangan menjelang akhir pertandingan, untuk memberi sinyal kepada kerumunan bahwa mereka ada di sana untuk mengelola situasi. “Yang penting, petugas tidak perlu dipersenjatai. Di Inggris, ‘pemolisian lunak’ digunakan untuk manajemen kerumunan dan sukses besar dengan cara ini,” tambahnya.

Ia juga menyarankan petugas mengenakan seragam lebih ramah misalnya dengan topi bisbol dan hoodies sebagai ganti perlengkapan antihuru-hara (seperti yang terjadi di Malang) telah terbukti melunakkan respon massa. Dengan seragam yang lebih ramah ini memungkinkan polisi untuk menerobos dan membubarkan bentrokan kecil sebelum menjadi besar.

Penggunaan Gas Air Mata

Penggunaan gas air mata dalam kasus di Kanjuruhan ini memperburuk situasi. Presiden Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) Gianni Infantino menyebut peristiwa itu sebagai ‘hari gelap bagi semua yang terlibat dalam sepak bola dan tragedi di luar pemahaman’. FIFA sudah menetapkan dalam peraturan keselamatannya tidak ada senjata api atau ‘gas pengendali massa’ yang boleh dibawa atau digunakan oleh petugas atau polisi.

Penggunaan gas air mata mengiritasi mata dan merangsang reseptor rasa sakit, yang dapat menyebabkan kepanikan. Di Malang, penggunaan gas air mata dalam situasi yang sudah meningkat secara emosional menciptakan kepanikan lebih lanjut dan menyebabkan penonton berjejalan menuju pintu keluar.

Juga, sementara kebanyakan orang yang disemprot dengan gas air mata bisa kembali pulih, ada risiko konsekuensi kesehatan jangka panjang bagi mereka yang terpapar dosis besar dan orang-orang dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya.

Psikologi Massa

Pada tahun 1995, peneliti dan mantan polisi Inggris Alexander Berlonghi berpendapat tentang pentingnya memahami kerumunan massa untuk memastikan ‘tindakan yang kompeten dan efektif’ ketika mengelolanya. Dia mengatakan tanpa memahami nuansa dan psikologi perilaku massa, kesalahan fatal dapat terjadi dalam perencanaan dan pengendalian penonton sepak bola.

Lebih dari dua dekade kemudian, kita masih sering melihat kesalahan yang sama terjadi, dan menyebabkan hilangnya nyawa. Ke depan, harus fokus pada pengembangan strategi pengurangan dampak buruk pencegahan, dan memastikan polisi cukup terlatih untuk menangani peristiwa semacam itu. Ada juga kebutuhan mendesak untuk meninjau budaya sepak bola secara keseluruhan di Indonesia.

Presiden Joko Widodo juga mengatakan pihak berwenang harus mengevaluasi keamanan dalam menangani pertandingan secara menyeluruh. Ia berharap peristiwa di Stadion Kanjuruhan ini menjadi ‘tragedi sepak bola terakhir di negara ini’.

Kekerasan memang masih sering terjadi pada pertandingan sepak bola di Tanah Air. Entah itu pada skala kampung, daerah hingga Liga 1 sebagai kompetisi tertinggi di Indonesia. Mulai dari kekerasan antarpemain, penonton bentrok dengan penonton lain yang dikenali sebagai penggemar dari tim lain.

Invasi Penonton ke Lapangan

Sebenarnya aksi kekerasan para suporter sepak bola terjadi di mana-mana. Bahkan di Eropa terkenal dengan hooliganisme yang mengalami hari-hari kelamnya, seperti tahun 1970-an dan 1980-an ketika perilaku premanisme dan bahkan kerusuhan terjadi. Hal itu masih terus menjadi ancaman hingga hari ini. Contoh kecilnya adalah ketika para penggemar melontarkan cercaan rasis kepada pemain tim lawan. Yang jelas segala bentuk kekerasan tidak dapat dimaafkan karena mereka berisiko membuat orang lain melakukan hal yang sama.

Hooliganisme tidak hanya mengancam keselamatan para pemain, ofisial, pelatih, dan penonton, tetapi juga akan membuat para penggemar baru tak mau atau takut untuk meramaikan sepak bola. Dalam menghadapi situasi ini, pihak berwenang perlu mengingat peristiwa di Inggris.

Salah satu yang menjadi perhatian adalah bagaimana tegasnya petugas menangani invasi penonton ke lapangan. Kita lihat pada akhir musim lalu di Inggris, ada serangkaian invasi atau masuknya penonton ke lapangan, dengan pemain lawan dan pelatih dalam beberapa kasus. Seorang penggemar Nottingham Forest berlari ke lapangan dan menanduk asisten manajer Sheffield United Billy Sharp.

Fans Manchester City juga menyerang kiper Aston Villa Robin Olsen saat merayakan kemenangan Liga Premier Inggris mereka. Bos Crystal Palace Patrick Vieira sempat terlibat pertengkaran dengan seorang penggemar Everton yang menyerbu lapangan.

Invasi ke lapangan adalah pelanggaran pidana di Inggris. Bahkan jika penggemar memasuki lapangan dengan tidak bermaksud untuk menyakiti, mereka dapat menginspirasi penggemar gaduh lainnya untuk bergabung. Situasi damai dapat meningkat menjadi konflik.

Selain gangguan dan potensi kekerasan, invasi lapangan menimbulkan kerusakan reputasi yang sangat besar. Inggris terpaksa memainkan pertandingan Liga Bangsa-Bangsa melawan Italia secara tertutup, sebagai bagian dari hukuman UEFA untuk masalah penonton di final Euro 2020 di Wembley. Bagi Inggris memainkan pertandingan di kandang sendiri tanpa kehadiran penggemar adalah ‘memalukan’, kata manajer sepak bola Inggris Gareth Southgate, mengutip CNA.

Otoritas sepak bola dunia telah bereaksi keras soal masuknya penonton ke lapangan meskipun masih harus dilihat apakah aturan itu sudah efektif. Di bawah aturan baru, setiap penggemar yang memasuki lapangan akan langsung dilarang masuk ke semua stadion di negara itu.

Ada juga sanksi tentang stadion yang ditutup di masa depan dan bahkan poin timnya bisa dikurangi. Langkah-langkah ini memberi sinyal kepada penggemar bahwa invasi lapangan tidak dapat diterima dan tidak dapat menjadi bagian reguler dari pengalaman pertandingan.

Yang jelas peristiwa di Kanjuruhan ini tidak hanya menjadi keprihatinan dan kesedihan bangsa tetapi juga harus menjadi momentum untuk melakukan pembenahan terhadap pengelolaan stadion. Apalagi Indonesia tengah bersiap-siap menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun depan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button