Kanal

Kapolri dalam Kasus Brigadir Yoshua: To Be, or Not To Be, That is The Question

Negara ini punya banyak kasus rekayasa yang berujung pada peradilan dan vonis yang sesat, meskipun yang menjadi ikonnya tetaplah Sengkon dan Karta. Sebagaimana kita ketahui, Sengkon dan Karta adalah petani Bojongsari, Bekasi, yang pada 1977 dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan atas suami-isteri Sulaiman. Pengadilan Negeri Bekasi, dengan bekal Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang didapat dari penyiksaan dan rekayasa, kemudian memvonis Sengkon 12 tahun penjara, dan Karta tujuh tahun. Belakangan, perampok dan pelaku pembunuhan itu terbukti orang lain.

Sengkon dan Karta menjadi ikon tak hanya karena nelangsa parah yang mereka derita. Kasus ini pun memungkinkan terjadinya ‘penemuan kembali’ lembaga Peninjauan Kembali (PK alias herziening) oleh pengacara Albert Hasibuan.

Bukan soal Sengkon-Karta yang ingin saya ulas, tentu. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa peradilan sesat hanya dimungkinkan bila adanya proses rekayasa dalam penyelidikan-penyidikan, yang berujung pada terbangunnya BAP yang sesat pula. Sementara BAP, bagaimana pun adalah raw material bagi dokumen hukum selanjutnya yang berproses pada sidang peradilan.

Urusan adanya ‘rekayasa’ ini tidak bisa dinafikan telah menjadi kecurigaan publik seiring perkembangan kasus terbunuhnya Brigadir Yoshua yang melibatkan nama Irjen Polisi Ferdy Sambo. Lihatlah media sosial, dan kita akan menyaksikan betapa di era medsos ini—meski dengan sekian ancaman hukum yang mengerikan—orang begitu woles bin lepas mengutarakan pikiran mereka, bahkan yang paling liar sekali pun!

Sukar untuk membantah bahwa medsos dan peluang untuk mengeluarkan apa pun yang ada di benak untuk dipirsa khalayak, saat ini telah membuat aparat terus dibayang-bayangi pseudo-deadline yang kejamnya tak sebanding dengan wajah angker atasan sebagaimanapun ia gusar. Karena tenggat itu kini tak lagi menjadi kuasa atasan seorang penyidik polisi, melainkan seolah pada publik.

Sedemikian skeptisnya publik, sampai manakala Polri melimpahkan urusan penyelidikan kasus tersebut kepada Polda Metro Jaya, seorang ahli hukum pidana asal Solo, Muhammad Taufiq, dikabarkan Solopos, menilai Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran, layak juga dicopot dari posisinya saat ini. Itu, kata Taufiq, perlu untuk terbangunnya apa yang ia sebut netralitas penanganan perkara.

Sebenarnya, kasus ini tidak seharusnya menjadi liar dan penuh syak, andai saja polisi sejak awal benar-benar komit pada jargon dan tujuan PRESISI yang mereka jadikan acuan. Konsep PRESISI, yakni Prediktif, Responsibilitas, Transparansi dan Berkeadilan, seyogyanya bisa membimbing dan menuntun aparat Polri untuk menjadi postur polisi yang baik.

Apalagi, sejak kasus tersebut mengemuka, selama dalam sekitar dua pekan, tidak kurang dari tiga kali Presiden Jokowi mewanti-wanti Polri untuk tidak main-main dengan kasus ini. Sudah tiga kali Jokowi berkomentar soal kasus yang menghebohkan publik itu.

Pertama, saat berada di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Subang, Jawa Barat, Selasa (12/7) lalu. Saat itu Jokowi minta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar mengusut tuntas kasus tersebut. “Proses hukum harus dilakukan,” kata Presiden Jokowi.

Kedua, pada waktu Presiden bertemu para pimpinan redaksi media nasional di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (13/7). Pernyataan yang diulang dalam tenggang waktu sehari itu seharusnya dimaknai Polri sebagai tekanan dan penegasan.

Yang ketiga, Presiden berbicara mengenai insiden kematian Brigadir J saat kunjungan kerja di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (21/7). “Saya kan sudah sampaikan, usut tuntas! Buka apa adanya! Jangan ada yang ditutup-tutupi, transparan! Sudah!” kata Jokowi. Menurut Presiden, kepercayaan publik terhadap Polri sebagai institusi penegakan hukum, harus dijaga.

Wajar bila pengamat kepolisian di Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai bahwa saat ini pertaruhannya sudah pada jabatan kapolri yang tengah diemban Jenderal Listyo Sigit Prabowo. “Kalau ini tidak bisa tuntas, setuntas-tuntasnya, tidak menutup kemungkinan (Kapolri dinonaktifkan). Karena Polri ini adalah lembaga negara yang sangat dibutuhkan rakyat,” kata Bambang, saat dihubungi Inilah.com.

Artinya, bagi Kapolri, sejatinya situasi saat ini sudah laiknya pernyataan Pangeran Hamlet dalam drama “Hamlet’’-nya William Shakespeare, saat sang protagonis berada di simpang jalan yang mempertaruhkan eksistensinya,”To be, or not to be, that is the question.”

Tanpa berpretensi menggurui—karena akan terasa seperti laiknya pepatah Sunda bilang,”Mapatahan ngojay ka meri” alias mengajari itik berenang–, Kapolri sudah saatnya memerintahkan jajarannya untuk transparan, hingga kesan bahwa polisi masih bermain-main dan menimbuni kebenaran di kasus ini, untuk alasan apa pun, barangkali akan lenyap seiring perjalanan proses penyelidikan-penyidikan.

Di sisi lain, tampaknya Polri juga perlu memikirkan lebih serius mengapa aparatnya terkesan tidak sensitif atas keadilan yang didamba publik. Sementara menurut Prof. Philippe Nonet, pakar hukum kelahiran Belgia dari University of California at Berkeley, ketiadaan sensitivitas aparat penegak hukum akan keadilan untuk semua lapisan masyarakat akan menghasilkan disparitas putusan. Sensitivitas keadilan ini, menurut Nonet, erat berkaitan dengan integritas aparat penegak hukum untuk menghadirkan keadilan.

Alhasil, sebagaimana rumus korupsi “CDMA” yang diajukan Prof Robert Klitgaard, pakar di The RAND Graduate School, Santa Monica, AS, yakni C (Corruption) = D (Discretion) + M (Monopoly) – A (Accountability), itu pula yang menyebabkan potensi korupsi (dalam segala bentuknya) di institusi pun masih tergolong besar.

Saat ini sukar untuk menafikan adanya kesan bahwa Polisi masih bermain-main dalam kasus ini. Pasalnya, kekecewaan publik yang mengesankan hal itu bukan lagi tidak ada, melainkan justru begitu kuat. Tidak hanya di media sosial, tapi juga di media massa. Itu dimulai dari pertanyaan-pertanyaan mendasar yang terus bergaung sejak awal, misalnya: mengapa polisi sampai perlu menunggu tiga hari sebelum membuka ke publik adanya kasus tersebut? Mengapa ponsel Brigadir Yoshua Hutabarat, yang tentunya sangat penting dalam kaitan kematiannya, bisa hilang? Belum lagi keraguan akan rusaknya CCTV di rumah Irjen Ferdy Sambo di satu sisi, dan digantinya perangkat CCTV di pos penjagaan dekat rumah.

“Pada barang-barang bukti tersebut, (dari) CCTV akan dapat diketahui keberadaan person-person yang ada di TKP yang berpotensi tahu atau terlibat dalam kasus penembakan atas Brigpol Yoshua,”ujar Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso. Demikian pula dari ponsel mendiang. Bagi Sugeng, urusan hilangnya sejumlah barang bukti dalam kasus tersebut seharusnya diselidiki polisi sebagai perkara tersendiri.

“Tindakan merusak barang bukti ini harus diselidiki sebagai perkara berdiri sendiri. Terhadap siapa pun yang melakukannya, tidak terkecuali termasuk pada pihak-pihak yang diduga membuat skenario bohong, kalau ada, dalam kasus ini. Hal inilah yang disebut sebagai obstruction of justice,”ujar Sugeng. Persoalannya, untuk hal itu ada pasal yang eksplisit mengurusnya, Pasal 233 KUHP, yang memiliki ancaman pidana penjara paling lama empat tahun.

Temuan mutakhir tentang (kesan) ‘main-main”-nya polisi adalah terbongkarnya waktu tes PCR yang dilakukan Irjen Ferdy Sambo. Alih-alih dilakukan tanggal 8 Juli—yang kemudian menjadi alibi Sang Irjen dalam kasus itu—menurut penelusuran IDN Times tes itu dilakukan pada 7 Juli 2022, sekitar pukul 21.00 WIB.

“Tidak ada data tes PCR pada tanggal 8 Juli 2022,”jawab sumber IDN Times di SmartcoLab, lembaga yang kerap didatangi Irjen Ferdy manakala memerlukan tes terkait COVID-19. IDN Times juga menulis, sumbernya itu juga memastikan bahwa Irjen Ferdy adalah pelanggan SmartcoLab. “Rutin ke sana,” ujar dia. IDN Times juga mendapatkan konfirmasi dari CEO SmartcoLab, Sari Pramono, yang membenarkan bahwa Irjen Ferdy pelanggan mereka. “Iya, bukan hanya beliau saja sih, tapi betul beliau suka cek di tempat kami,”jawab Sari lewat pesan singkat kepada IDN Times, Jumat (22/7), sebagaimana ditulis situs berita tersebut.

Bagi saya, inilah kontribusi jurnalistik pada pencarian kebenaran. Dalam tugas pers sebagai the clearing house of information, tempat masyarakat menyandarkan diri untuk mempercayai benar-tidaknya sebuah kabar yang mengemuka, pers harus dedel duel mencoba menggali dan mencari kebenaran lewat prosedur jurnalistik yang dimilikinya. Ia harus senantiasa skeptis—dan skeptisisme itulah justru menjadi nyawanya. Sebagaimana menurut pemenang tiga kali Penghargaan Pulitzer, Thomas Friedman, bahwa skeptisisme adalah roh jurnalisme. “Skeptis, selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan yang diterima, mewaspadai segalanya agar tidak ditipu, adalah inti jurmalisme,” kata penulis berbagai buku best-seller, terutama “From Beirut to Yerussalem” itu. Pers, kata penulis “The Professional Journalist”, John Hohenberg, tidak hidup untuk mengembangkan cheerleader complex, yakni sikap berhura-hura mengikuti arus (berita) yang ada, dan segera puas dengan hanya kulit dan permukaan sebuah peristiwa.

Bukan malah seperti yang dianjurkan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Yadi H Hendriana, yang meminta media hanya mengutip keterangan resmi pihak kepolisian dalam kasus ini. “Adalah tugas pers untuk memberitakan hal ini, tetapi jangan sampai muncul pemberitaan yang sifatnya menghakimi. Pers harus tetap menjunjung asas praduga tak bersalah,” kata Yadi. Sampai di sini, Yadi jelas benar.

Hanya, ia ketelingslut manakala meminta media hanya mengutip keterangan resmi pihak kepolisian dan tidak mengorek informasi lebih lanjut mengenai kasus ini dari pihak-pihak yang tidak terlibat langsung. Ganjil memang, manakala sebagai petinggi Dewan Pers ia justru mengajak media massa kembali ke era 1950-an di Amerika, saat pers negeri itu dihantui teror McCarthy-isme.

Untunglah hal itu segera diketahui dan direspons petinggi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ilham Bintang. “Nggak usah tanya Dewan Pers. Saya mengatakan, Anda boleh abaikan imbauan kepada wartawan untuk hanya mengutip keterangan resmi,” kata Ilham. Menurut Ilham, pernyataan pihak Dewan Pers itu tidak diatur dalam Kode Etik Jurnalistik. ”Wartawan bebas mendapat berita dari sumber mana saja, yang penting menerapkan secara ketat disiplin verifikasinya,”kata dia, seraya menolak anggapan bahwa Dewan Pers memiliki otoritas berkaitan tugas-tugas jurnalistik.

Saat ini sejatinya banyak hal yang membuat kita sudah bisa berharap kesejatian kasus ini akan terungkap dengan adil. Tidak saja karena public pun telah membuka mata dan telinga lebar-lebar, seraya bersiap untuk kritis manakala terjadi (lagi) keganjilan. Tindakan Kapolri untuk segera menonaktifkan Irjen Ferdy–plus belakangan—dua perwira polisi lainnya, yakni Karo Paminal Polri, Brigjen Pol Hendra Kurniawan, dan Kapolres Jakarta Selatan, Budhi Herdi, patut diapresiasi dan menimbulkan harapan baru.

“Kasus ini semakin terang. Satu persatu tokoh baru yang diduga ikut membiaskan kasus ini telah dicopot Kapolri,”tulis Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Kepolisian (Lemkapi), Edi Hasibuan, dalam sebuah pernyataan pers. “Kita melihat Kapolri tidak diam dan terus mencermati serta mendengar keluhan dan masukan masyarakat. Rakyat tentu terus mendukung Kapolri membenahi Polri yang semakin baik,” tulis dia.

Saya teringat penutup tulisan yang sering muncul di tulisan-tulisan di zaman old, yang untuk saat ini terasa norak. Tetapi, sesekali norak tak apa, asalkan kita senantiasa gembira. Penutup itu hanya satu kata saja: “semoga!” [dsy]

Darmawan Sepriyossa

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button