Market

Kamrussamad Ingatkan Sri Mulyani, Jangan Remehkan Resesi Ekonomi

Anggota Komisi XI DPR, Kamrussamad mengingatkan Menteri Keuangan Sri Mulyani jangan jemawa, meremehkan ancaman resesi ekonomi yang kini sudah terjadi di sejumlah negara.

“Meski struktur dan fundamental ekonomi Indonesia dikatakan jauh lebih baik dibandingkan dengan apa yang terjadi di Sri Lanka, namun bukan berarti (Indonesia) bebas ancaman resesi,” tegas politisi Gerindra, Jakarta, Jumat (15/7/2022).

Dia membeberkan, resesi ekonomi Sri Lanka dipicu banyak hal. Salah satunya krisis utang. Di mana, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), mencapai 117 persen.

“Sementara rasio utang Indonesia saat ini 38 persen terhadap PDB. Meski demikian, di tengah pelemahan nilai tukar rupiah, rasio ini masih bisa meningkat,” terang Kamrussamad usai menghadiri Arena FEKDI G20 Nusa Dua, Bali.

Namun, Kamrussamad kembali mengingatkan adanya proyeksi perekonomian IMF yang menyebut adanya kontraksi ekonomi hebat di di tahun ini. Demikian pula hasil survei Bloomberg yang memasukan Indonesia di peringkat 15 negara di dunia yang terancam resesi.

“Survei Bloomberg, menempatkan Indonesia sebagai negara yang terancam resesi. Bersama Sri Lanka, New Zealand, Korea Selatan, Jepang, China, Hongkong, Australia, Taiwan, Pakistan, Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina, dan India,” terangnya.

Dia bilang, indikator ekonomi Indonesia saat ini, memang lebih baik. Namun, trajectory-nya mirip dengan lintasan negara-negara yang mengalami resesi. “Pertumbuhan ekonomi yang positif bukan jaminan. Tahun 1996 pertumbuhan ekonomi sangat tinggi, di atas 8 persen. Namun pertengahan 1997 malah terjadi krisis,” ungkapnya.

Saat ini, kata dia, cadangan devisa Indonesia berkurang sekitar US$12 miliar dibandingkan September 2021. Dalam 4 bulan terakhir ini, terus berkurang. “Ini semakin mengkhawatirkan, ketika terjadi capital outflow besar-besaran sebagai dampak kenaikan suku bunga The Fed,” tuturnya.

Satu hal yang tak boleh dilupakan, trend harga komoditas unggulan Indonesia, bakal memasuki titik jenuh. “Kini mulai menurun. Situasi Ini memperbesar dan mempercepat krisis valuta,” pungkasnya.

Back to top button