Market

Kalah di Indonesia, Jepang Incar Kereta Cepat Singapura dan Malaysia


Kalah tender dengan China dalam proyek kereta cepat di Indonesia dan Thailand, perusahaan Jepang Hitachi tengah mengincar pasar kereta api di Singapura, Malaysia dan India. Hitachi akan mengintensifkan upayanya untuk memperluas kehadirannya di pasar kereta api Asia, bersaing langsung dengan China.

Giuseppe Marino, kepala bisnis sistem perkeretaapian Hitachi dan CEO Hitachi Rail pada 19 Juni menegaskan ambisi perusahaanya untuk memperluas kehadiran di tiga negara itu. Langkah tersebut menyusul akuisisi baru-baru ini – yang diselesaikan pada 31 Mei – atas bisnis sinyal kereta api Thales Group. Hal ini merupakan manuver strategis yang bertujuan untuk meningkatkan jejak global dan daya saingnya.

Akuisisi baru ini mengikuti pembelian AnsaldoBreda dan STS dari Finmeccanica Italia sebelumnya oleh Hitachi dan mengkonsolidasikan kemampuan mereka dalam sarana perkeretaapian, persinyalan, sistem tiket, dan layanan digital.

Hitachi yang merupakan produsen kereta peluru Shinkansen Jepang selain mempertahankan kehadirannya yang kuat di Jepang, Inggris, dan Italia, akuisisi bisnis sinyal Thales memperluas jangkauannya ke pasar-pasar baru, termasuk Perancis, Jerman, Kanada, dan seluruh Asia, termasuk Singapura dan Malaysia.

“Kami dapat menawarkan sistem yang sangat terintegrasi dan terhubung,” kata Marino, menekankan daya tarik solusi ‘key-ready’ yang komprehensif bagi pelanggan yang lebih menyukai proses pengadaan yang disederhanakan.

Strategi ekspansi Hitachi di Asia Tenggara menempatkannya dalam persaingan langsung dengan raksasa milik negara China, CRRC Corporation Limited, yang terlibat dalam proyek kereta api berkecepatan tinggi di wilayah tersebut. CRRC telah mempelopori inisiatif kereta api berkecepatan tinggi di Indonesia dan Thailand dan menyatakan minatnya untuk menghubungkan Kuala Lumpur ke Singapura melalui kereta api berkecepatan tinggi. Ini adalah proyek di mana perusahaan Jepang belum mengajukan proposal.

“Kami sedang mencari,” komentar Marino menanggapi rencana pengembangan kereta api berkecepatan tinggi Malaysia, yang menunjukkan sikap proaktif Hitachi dalam menjajaki peluang-peluang baru di tengah inisiatif Belt and Road yang ambisius dari China. China berupaya untuk memperluas pengaruhnya melalui proyek-proyek infrastruktur seperti East Coast Rail Link (ECRL).

Beijing mengumumkan pada tanggal 19 Juni kesiapannya untuk mempertimbangkan menghubungkan ECRL Malaysia senilai US$10 miliar dengan pembangunan kereta api yang didukung China di Laos dan Thailand. Langkah ini secara signifikan dapat memperluas pengaruh inisiatif Belt and Road China di seluruh Asia Tenggara. 

Perdana Menteri China Li Qiang, yang mengunjungi Malaysia selama tiga hari, mengatakan bahwa inisiatif ini akan memperkuat rute utama Kereta Api Pan-Asia yang diimpikan, mulai dari Kunming di China hingga Singapura.

Jepang Sempat Kecewa kepada Indonesia

Jepang sebenarnya pernah mengikuti tender pengembangan kereta cepat Jakarta-Bandung. Bahkan proyek ini sebenarnya merupakan inisiasi dari Jepang. Negara itu menawarkan proposal pembangunan ke pemerintah Jokowi melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) pada 2015 silam. 

JICA bahkan rela menggelontorkan modal sebesar 3,5 juta dollar AS sejak 2014 untuk mendanai studi kelayakan. Nilai investasi kereta cepat berdasarkan hitungan Jepang mencapai 6,2 miliar dollar AS, di mana 75 persennya dibiayai oleh Jepang berupa pinjaman bertenor 40 tahun dengan bunga 0,1 persen per tahun. 

Belakangan di tengah lobi Jepang, tiba-tiba saja China muncul dan melakukan studi kelayakan untuk proyek yang sama. Singkat cerita, Presiden Joko Widodo akhirnya memutuskan memilih China meski bunga pinjaman yang ditawarkan lebih tinggi daripada proposal Jepang. Pertimbangan utama pemerintah Indonesia yakni karena China berjanji bahwa pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung tidak akan menggunakan uang APBN alias dijalankan dengan skema murni business to business (B to B) antar-BUMN kedua negara. 

Jepang kecewa dan sempat membuat hubungan Indonesia-Jepang merenggang. Belakangan proyek ini menimbulkan kontroversi karena nilai investasinya bengkak dari estimasi sebelumnya yakni Rp86,5 triliun menjadi Rp114 triliun. Pemerintah Indonesia juga terpaksa menutup kekurangan melalui dana APBN agar tidak mangkrak.

Back to top button