Kanal

SBY, Destarastra dan Proteksi Orang Tua

“Setiap orang tua, barangkali sejatinya memiliki wajah seorang Destarastra. Juga mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setidaknya pada pekan-pekan lalu. Tidak identik, tentu, sebagaimana kita meyakini hukum pertama Charles Darwin  bahwa betapa uniknya setiap manusia. Tetapi adakah metafora lain yang lebih tepat untuk melukiskan kegalauan—juga kemarahan tersembunyi presiden keenam itu—dalam konferensi persnya yang tersebar luas?”

Oleh     :  Darmawan Sepriyossa

Mungkin anda suka

Setiap orang tua, barangkali sejatinya memiliki wajah seorang Destarastra. Juga mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Itu sangat terlihat, setidaknya pada pekan-pekan lalu.

Tidak identik, tentu, sebagaimana kita meyakini hukum pertama Charles Darwin  tentang betapa uniknya setiap manusia. Tetapi adakah metafora lain yang lebih tepat untuk melukiskan kegalauan—juga kemarahan tersembunyi presiden keenam itu—dalam konferensi persnya yang tersebar luas?

Seperti Destarastra–raja Hastinapura yang naik tahta karena anak-anak Pandu masih kanak-kanak, padahal sejatinya dialah pangeran sulung yang paling berhak, bukan Pandu—Pak SBY adalah seorang ayah yang tampaknya sangat peduli dengan nasib anak-anaknya. Tapi, seperti juga Destarastra, kepedulian itu terlihat pula menyimpan kecemasan yang besar akan masa depan anak-anaknya. Sayangnya, Pak SBY kurang bisa menyimpan dan membungkusnya lebih rapi. Alhasil, publik seringkali menemukan gambaran lain, yang tak jarang datang dari para pembencinya.

Misalnya, baru bulan lalu saat seri buku AHY, “Tetralogi Transformasi AHY” diluncurkan, kita tahu pertama kalinya bahwa sebenarnya bukan Pak SBY yang meminta putra sulungnya itu meninggalkan karier cemerlang di TNI. AHY sendiri yang menghitung-hitung, dilandasi keinginan besarnya mengabdi bangsa via jalur politik.

Kemunculan Pak SBY kemarin, segera setelah gegernya dunia politik Indonesia dengan masuknya Muhaimin bergabung dengan Koalisi Perubahan, menurut saya sebenarnya lebih banyak merugikan. Buat AHY, Partai Demokrat, dan mungkin citra Presiden Keenam itu sendiri. Munculnya Pak SBY dengan konferensi pers yang juga cukup menggegerkan itu, hanya menambah kesan betapa protektifnya beliau terhadap AHY. Sementara, sebulan lalu kita tahu usia AHY sudah 45 tahun.  Wajar bila kulit muka Majalah TEMPO edisi pekan ini tergolong ‘tega’. Dalam cover itu digambarkan Pak SBY menggandeng AHY, pandangan keduanya melihat ke dalam rumah, ke dapur yang terhalang jendela kaca. Di dalam, tampak Surya Paloh, Anies dan Muhaimin memperhatikan dua anak-beranak itu dengan tak kurang cemas.

Tentu saja belum tentu di realitas kehidupan SBY berlaku seprotektif itu terhadap anak-anaknya, terutama AHY. Tetapi pandangan publik—yang setidaknya digambarkan kulit muka majalah TEMPO pekan ini—tersebut wajar mengemuka seiring masuknya Pak SBY ke dalam persoalan ini.

Benar beliau adalah ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat yang punya kewenangan. Tetapi karena AHY, ketua umum PD, adalah putranya, barangkali membiarkan AHY menyelesaikan urusan keluar persoalan itu, akan lebih bijak. Sementara pidatonya sebagai ketua Majelis Tinggi kepada seluruh kader, tampaknya akan lebih baik bila hanya disebar terbatas di antara internal PD, bukan kepada publik seperti yang dilakukan Jumat, 1 September lalu.

Kemarahan Pak SBY—yang dengan baik dan bijak terbungkus sifat dan karakter beliau–, sejatinya mungkin sama dengan kemarahan Destarastra saat menerima kedatangan para Pandawa, beberapa hari setelah berakhirnya Bharatayudha di Kurusetra. Gemas akan sikap licik Bima yang menewaskan sulung para Kurawa, Duryudana, dengan menghajar hancur paha kirinya dengan gada, dalam komik “Pandawa Seda” karya RA Kosasih yang saya baca saat SD di akhir dekade 1970-an, Destarastra berusaha menghancurkan Bima dengan kesaktiannya—dalam versi wayang Jawa– ajian Lebur Sakethi. Penggunaan diksi “khianat”, “melebihi batas etika dan kepatutan politik”, adalah ibarat keluarnya Lebur Sakethi bagi orang sesantun Pak SBY.      

Boleh jadi, selama ini Pak SBY luput mengulang nasihat Machiavelli kepada sang putra, yang kita tahu tidak dibesarkan dalam riuh-rendah dan degilnya politik, melainkan semangat jiwa korsa dan kepatuhan militer itu. Bukan seperti apa yang selama ini diyakini publik awam sebagai nasihat busuk dan jahat kepada penguasa. Melainkan nasihatnya pada para politisi untuk senantiasa sadar bahwa sejarah kekuasaan selalu bersifat serba mungkin, penuh risiko, dan genting. Dalam keadaan demikian, yang diperlukan adalah politik yang tepat, laku dengan sikap tertentu, terutama yang berani dan cerdik. Berani pun masih kurang, karena yang terutama lebih penting adalah cerdik. Saya tak bisa memastikan apakah Pak SBY telah berkali-kali menggarisbawahi kata ‘’cerdik” itu.

Politik, kata Claude Lefort, juga adalah sebuah “tempat kosong”–un lieu vide, karena tak ada yang telah niscaya mengisinya. Otomatis, ia tempat yang (senantiasa) diperebutkan.

Terlebih di Indonesia, yang setelah ‘Reformasi’ ini membuat politik dan demokrasi seperti kata pejuang kemerdekaan dan mantan Presiden Republik Czech, Vaclav Havel, “permainan para konsumen”, dan “sebuah medan perang para lobbyist”. Seperti yang Havel rasakan, kita di sini juga telah lama kehilangan politik sebagai “tanggung jawab yang lebih tinggi.” Atau seperti Reinhold Niebuhr, theolog yang banyak menulis urusan politik dan demokrasi itu,”Tugas sedih politik adalah menegakkan keadilan di dunia yang berdosa. “The sad duty of politics is to establish justice in a sinful world.”

Mungkin di sini malah lebih tragis, karena urusan politik seringkali hanya dianggap rentang waktu lima tahunan, tanpa ada yang serius memikirkan bagaimana wajah bangsa di 200 tahun usianya nanti.

Barangkali saja hal-hal seperti itu yang membuat Pak SBY makin dekat kepada personifikasi Destarastra: seorang tua dari masa yang lebih silam, yang di era anak-anaknya merasa dunia telah banyak kehilangan sikap, laku, dan pelbagai pikiran tentang kemuliaan. Karena itu pula, beliau wajar melupakan pernyataan—hanya—seorang seniman seperti Pablo Picasso. “All children are born artists. The problem is to remain an artist as we grow up”. Semua anak dilahirkan sebagai seorang seniman (jenius). Masalahnya adalah bagaimana mempertahankan kejeniusan mereka seiring dewasa.”

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button