Monday, 01 July 2024

Jelang Jokowi Lengser, Kemiskinan Ekstrem Diprediksi Tambah 7 Juta Orang

Jelang Jokowi Lengser, Kemiskinan Ekstrem Diprediksi Tambah 7 Juta Orang


Pengusaha sekaligus YouTuber, Bossman Mardigu menyampaikan analisa yang bikin miris bahwa jumlah warga miskin ekstrem di Indonesia bakal bertambah 7 juta jiwa di ujung masa jabatan Presiden Jokowi.

“Pagi-pagi dapat WA dari sahabat yang mengajar dari kampus kenamaan di wilayah Timur Amerika yang bikin senewen juga membacanya. Kalimat kemiskinan ekstrem akan meningkat tajam di Indonesia. Seakan pemerintah sekarang enggak bisa kerja,” sebut Mardiqu dikutip dari akun YouTubenya, Rabu (6/6/2024).

Menurut Mardiqu, analisa tersebut karena ada perbedaan dari cara penghitungan kemiskinan esktrem Indonesia dengan Bank Dunia. Berdasarkan perhitungan Purchase Power Parity (PPP) atau paritas daya beli.Dalam perhitungan ini patokannya adalah hukum satu harga. Artinya harga barang satu dengan negara lain adalah sama. 

Dalam perhitungan Bank Dunia pada 2011 adalah US$1,9 per hari per orang. Dengan asumsi kurs Rp15.000/US$, hampir Rp30.000. Artinya warga yang pendapatannya di bawah itu per orang per hari, masuk miskin ekstrem. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), jumlah warga miskin ekstrem mencapai 5,8 juta orang.

Pada 2017, Bank Dunia menaikkan standar PPP dari US$1,9 menjadi US$2,15 per orang per hari, atau setara Rp35 ribu. Namun angka ini tidak dijadikan patokan bagi pemerintah Indonesia.

Untuk mengatai kemiskinan ekstrem, menurut Mardigu, caranya mudah. Pemerintah harus inovasi sehingga bisa mendongkrak pendapatan masyarakat. “Naik Rp5 ribu saja, 5,8 juta  orang yang miskin ekstrem itu, bakal naik kelas. Ini yang kita tunggu saja. Kan pemerintah mau nol-kan kemiskinan ekstrem pada 2024,” ungkapnya.  

Sementara ekonom senior, Chatib Basri menyampaikan Bank Dunia menyebut 120 juta rakyat Indonesia sedang menuju kelas menengah atau disebutnya aspiring middle class alias middle class wanna be.

Saat ini, mereka mengalami tekanan yang luar biasa. Mulai dari pelemahan daya beli hingga iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang menambah berat beban mereka. Jangan sampai mereka gagal masuk kelas menengah karena berbagai hal.

“Saya menyebut kelas menengah itu sebagai professional complainers atau certified complainers, pengeluh bersertifikat. Mereka suka ngeluh di medsos. Ini bagus, sebagai pressure terhadap provision public goods. Ini menjadi fenomena untuk government,” katanya.