Kanal

Jangan Menambah Mudharat pada Lingkungan dan Korupsi


Di mana ada tambang, di situ ada penderitaan warga. Di mana ada tambang, di situ ada kerusakan lingkungan, tidak akan bisa berdampingan. Itulah idiom yang sering muncul ketika mendengar dampak dari pertambangan, meskipun biasanya pihak otoritas dan pelaku pertambangan selalu membantahnya.

Mungkin anda suka

Jejak kerusakan lingkungan, penyakit yang diderita warga serta konflik sosial di wilayah lingkar pertambangan bisa dilihat di berbagai wilayah Indonesia, dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua. 

Lihat saja polusi udara yang tercemar debu tambang menyebabkan masyarakat menderita sesak nafas hingga muntah darah di Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara. Bukan hanya merusak kesehatan, pertambangan juga merusak hutan dan mencemari laut tempat warga mencari makan. 

“Debu itu seperti kristal, pecahan kaca halus yang jika masuk pernafasan akan mengiris-iris orang dalam jika terus dihirup,” kata Muh Ruh, Warga Maba Pura, Halmahera Timur, Maluku Utara, dalam sebuah laporan media berbasis di Inggris, BBC, baru-baru ini. Warga juga kini harus membeli air untuk minum karena sumber air tercemar, padahal sudah ratusan tahun warga mendapatkan air gratis dari alam

Sementara di Pulau Kodingareng, Makasar, Sulawesi Selatan, penambangan pasir merusak terumbu karang tempat warga mengambil ikan. Nelayan yang biasanya bisa mendapat ikan tenggiri 10 ekor sehari kini satu pun sulit. Ikan menghilang karena terumbu karangnya rusak oleh penambangan pasir.

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan, kapal penambang pasir berukuran 230 meter membawa puluhan ribu kubik pasir laut dalam sehari untuk proyek reklamasi Makassar New Port (MNP) yang diklaim akan menjadi pelabuhan termegah di wilayah Indonesia timur.

Sedangkan orang Bajau di Pulau Labengki Sulawesi Utara merasakan dampak buruk dari beroperasinya tambang nikel di Kabupaten Konawe Utara. Pulau Labengki lokasinya berseberangan dengan kawasan pertambangan nikel itu. Limbah tambang telah membuat air laut di sekitar pulau itu keruh, visibility atau jarak pandang di dalam laut menjadi buruk. Apalagi saat hujan, limbah terbawa arus menambah kekeruhan air. Akibatnya kawasan wisata yang sering didatangi turis untuk menyelam atau diving di laut itu terganggu.

pencemaran laut
Pencemaran air laut dari limbah smelter nikel. (Foto: DokJatam).

Kawasan yang berdekatan dengan tambang-tambang itu mengalami dampak lebih parah. Untuk bisa menambang nikel, perusahaan harus membersihkan kawasan besar dengan menebang semua pohon di sana. Selanjutnya lubang besar akan digali atau disebut open pit. Karena tiada lagi akar-akar pohon di kawasan itu, tanah menjadi tidak stabil dan mudah longsor manakala hujan deras. 

Sebuah sekolah di Desa Boenaga sempat diterjang banjir lumpur. Data menunjukkan terjadi setidaknya 21 banjir dan longsor di Sulawesi Tenggara sepanjang 2022. Padahal, antara 2005 dan 2008, sebelum izin sejumlah tambang diberikan, hanya terjadi dua hingga tiga insiden serupa per tahun, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Sulawesi Tenggara memiliki Izin Usaha Pertambangan nikel terbanyak di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2022, terdapat sedikitnya 50 perusahaan tambang nikel di Konawe Utara.

Ini baru sebagian kecil saja kabar buruk dampak penambangan terhadap lingkungan dan masyarakat jika tidak dikelola dengan baik. Keluhan dan protes keras banyak muncul di daerah tentang pengeloaan pertambangan yang tidak mengindahkan lingkungan. Sepanjang 2020 saja, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat terjadi 45 konflik tambang yang mengakibatkan 69 orang dikriminalisasi dan lebih dari 700.000 hektare lahan rusak. 

Selain itu terdapat ribuan lubang bekas tambang tanpa rehabilitasi ditinggalkan begitu saja setelah selesai dikeruk. Di sektor penambangan batu bara di Kalimantan Timur saja terdapat lebih dari 1.735 lubang bekas tambang batubara. Lubang itu lebih menyerupai danau. Ini belum dihitung lokasi lain termasuk penambangan pasir yang ada di hampir setiap daerah.

Tambang Jadi Biang Korupsi

Tak hanya urusan dampak lingkungan dan pemicu konflik, bisnis tambang juga menjadi ajang korupsi. Sudah banyak kasus penyalahgunaan muncul di sektor ini. Yang terbaru adalah megakorupsi di PT Timah yang menyeret puluhan tersangka termasuk mantan Dirjen Minerba, mantan direksi dan suami artis sohor Sandra Dewi, Harvey Moeis. Potensi kerugian negara dalam kasus ini tak tanggung-tanggung mencapai Rp271 triliun.

tersangka korupsi timah
Eks Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono jadi tersangka dugaan korupsi PT Timah (Persero/TINS) Tbk. (Foto: Antara)

Ada juga korupsi di pertambangan nikel di Konawe Utara yang merugikan negara Rp5,7 triliun yang menyeret banyak orang termasuk mantan Dirjen Minerba. Sementara di tambang bauksit, korupsi terkait kasus pemberian Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2018-2019 mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp32 miliar.

Begitu besar potensi korupsi di sektor ini sampai-sampai mantan Menko Polhukam Prof Mahmud MD pernah mengungkap kekayaan negara tersedot secara ilegal dari korupsi bidang pertambangan yang jumlahnya fantastis. “Saya pernah mengatakan bahwa seandainya korupsi di sektor pertambangan saja bisa dihapus, diberantas, maka setiap orang rakyat Indonesia itu bisa mendapat Rp20 juta setiap bulan gratis. Bukan pinjaman, tapi diberikan,” ujar Prof Mahfud, tahun lalu.

Era Tambang Dimiliki Ormas

Bayangan tentang dampak negatif dari usaha pertambangan ini kembali muncul dalam ingatan publik seiring dengan hadirnya keputusan pemerintah yang memberikan ruang bagi organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Hal tersebut sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Kekhawatiran ini beralasan mengingat belajar dari pengalaman, pengelolaan tambang bukanlah hal yang mudah dan banyak risiko. Mulai dari risiko teknis dan mekanisme lelang WIUPK, teknis pertambangan, pengelolaan lingkungan, konflik horizontal, konflik kepentingan, korupsi hingga masalah dalam penanganan pasca-tambang. Banyak kasus, terjadi praktik pertambangan yang tidak mengindahkan good mining practice

Memang jika aturan itu dijalankan, tentu saja Ormas tersebut sebagai pemegang WIUPK akan menunjuk kontraktor atau pengelola kawasan tambang miliknya. Hanya saja tetap saja butuh kemampuan teknis terutama untuk melakukan pengawasan sampai pengendalian yang tepat termasuk ketaatan dalam keseluruhan proses bisnis sehingga terhindar dari korupsi dan penyalahgunaan. 

proses tambang
Alat berat sedang mengeruk tanah dalam proses tambang (Photo: Getty Images)

Patut diingat bahwa pemegang konsesi juga bisa kena getahnya dan dituduh terlibat jika ada korupsi atau kesalahan dalam pengelolaan tambangnya. Kalau kemucian terjadi persoalan gara-gara aturan konsesi baru ini, tentu akan menambah persoalan baru di tengah karut marut tata kelola pertambangan di Tanah Air. Alih-alih mendapat untung bagi perekonomian nasional dan daerah, pemerintah dan masyarakat malah harus menanggung risiko lebih besar dari pengelolaan tambang yang salah. 

Yang jelas, sumber daya alam tak bisa dijadikan bagian dari alat kepentingan politik. Jangan sampai, Ormas Keagamaan dijadikan kendaraan tumpangan oleh sekelompok orang atau perusahaan perusahaan besar yang memiliki agenda dan kepentingannya sendiri. Kekayaan alam tak bisa dijadikan lahan untuk mencari keuntungan pribadi para pengurus Ormas. Patut diingat, bukankah agama mengajarkan bahwa jika suatu urusan tidak diserahkan pada ahlinya maka tunggu saja kehancurannya? 

 

 

Back to top button