Kanal

Jangan Lagi Gugat Kartini [Sebuah Tulisan dari Dekade Lalu]

Verba volant scripta manent, kata-kata menguap, tulisan tak akan lenyap. Itu yang diyakini dan dijalani Kartini, sehingga kita bisa mengenangnya hingga hari ini.

Lalu di tahun-tahun terakhir kita begitu sering mendengar banyaknya orang yang mempertanyakan Kartini. Mempertanyakan apa kehebatan wanita itu hingga ia dianggap pelopor emansipasi wanita di Indonesia? Mengapa harus Kartini? demikian mereka bertanya lantang. Bukankah ada Rohana Kudus, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Laksamana Malahayati, Siti Aisyah We Tenriolle, atau Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat, atau lainnya?

Sebenarnya gugatan itu tidaklah baru. Pada 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia Prof Dr Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah itu. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Dalam buku “Satu Abad Kartini (1879-1979)”, Harsja menuliskan gugatan itu. “Kita mengambil-alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda”, tulis Harsja, yang mendapatkan doktornya di Harvard University. “Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Dengan halus Harsja menggugat, mengapa harus Kartini yang dijadikan simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita hebat dalam sejarah Indonesia, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Dalam penilaian Harsja, keduanya tak hanya dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan, melainkan juga memajukan pendidikan di masing-masing daerah mereka pada zamannya.

Manakala Harsja lebih banyak menggugat soal promosi Belanda untuk Kartini, gugatan di tahun-tahun kekinian lebih bernuansa mempertanyakan keislaman sang puteri Jepara itu.

Marilah kita coba mengurai. Bahwa penelusuran Harsja membuktikan Kartini memang dipilih orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia itu benar, tidak lantas menutup peran nyata Kartini.

Mengapa orang Belanda–dalam hal ini J.H. Abendanon,Estella Zeehandelaar, juga C.Th. van Deventer–menampilkan Kartini? Menurut saya karena kaum Olanda yang menganggap pribumi sebagai udik itu terkejut. Bagaimana mungkin seorang Jawa di pedalaman, apalagi seorang perempuan muda–Kartini meninggal saat usia 24 tahun– bisa menulis sesuatu melampaui tembok kukuh Kaputren yang menelikungnya?

Kita tahu, bagaimana orang Belanda tidak terhenyak, manakala lewat surat-suratnya Kartini membuktikan telah menjalani begitu banyak petualangan spiritual. Dalam pergulatan batinnya Dia pernah menjadi seorang budhis, seorang theosofis, perempuan kejawen, seraya terus menjaga dirinya untuk tetap menjadi Muslimah.

Seraya menolak anggapan terlalu signifikannya peran para meneer dan mevrouw dalam penialaian Harsja, saya percaya, Kartini sendirilah yang membuat dirinya besar.

Gampangnya mari kita ambil contoh remeh. Silakan promosikan sebuah buku, apa pun itu. Anda akan tahu, betapa pun masifnya promosi, sebuah buku ditentukan oleh isi, bukan hal-hal aksesoris semisal dukungan dan endorsement. Dalam kasus Kartini, saya meyakini ia besar karena kebesaran dirinya sendiri.

Untuk gugatan kedua yang kini mengemuka, tentang kurang islami-nya Kartini, saya hanya sekadar ingin berbagi. Dalam penelusuran saya, Kartini adalah seorang pencari. Dan dengan langkah sebagaimana Ibrahim AS ini, masihkah kita layak mempertanyakan keIslaman sang Puteri?

Dia memang sempat gamang dan galau—meski tidak dalam pengertian alay masa kini– tentu. Dalam suratnya kepada Stela Zeehandelaar, 6 November 1899, Kartini menulis;

Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?

Namun Kartini pun kemudian bertemu Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang — lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat, yang berceramah. Dan ia tertegun. Ceramah Kyai Sholeh Darat tentang tafsir Al-Fatihah membuatnya terpukau .

Setelah pengajian, Dia mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. “Kyai, perkenankan saya bertanya, bagaimana hukumnya seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” tanya dia. Kyai Sholeh tertegun. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kartini menjawab, Selama hidupku, baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubari.”

Sejak itu, konon, Kyai Sholeh melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa.

Sayang, umur manusia sepenuhnya milik Sang Maha. Kyai Soleh keburu meninggal. Kemudian Kartini pada usia 24 tahun, seiring melahirkan anak yang meneruskan jejak. Ia hanya sempat membaca 13 juz terjemahan Kyai Sholeh, yang diterimanya sebagai hadiah perkawinan. Dia selalu menyebut terjemahan 13 juz itu kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia.

Tiga belas juz yang mengubahnya total. Bacalah suratnya kepada Ny Van Kol, 21 Juli 1902: Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.

Mungkin yang paling menggetarkan adalah keinginan sederhananya, melalui surat kepada Ny Abendanon, 1 Agustus 1903. Kartini menulis, Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.

Jadi bagi saya, Kartini besar karena ia menulis. Dan karena itu, kita hari ini bisa tahu dan menghormatinya.[DSY]

DARMAWAN SEPRIYOSSA

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button