News

INILAHREWIND: Kebebasan Berpendapat, di Antara Jaminan Konstitusi dan Realitas

Kebebasan untuk berpendapat atau berekspresi di Indonesia sejatinya dilindungi oleh konstitusi. Sebagai salah satu bagian Hak Asasi Manusia (HAM), terdapat sejumlah peraturan perundang-undang yang mengatur perlindungan bagi setiap orang mengutarakan pendapatnya.

Menurut Amnesty Indonesia, kebebasan berpendapat atau berekspresi hak setiap orang untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk dan cara apa pun. Ini termasuk ekspresi lisan, tercetak maupun melalui materi audiovisual, serta ekspresi budaya, artistik maupun politik.

Hak itu juga berhubungan dengan kebebasan berserikat, yaitu hak membentuk dan bergabung dengan kelompok, perkumpulan, serikat pekerja, atau partai politik. Termasuk kebebasan berkumpul secara damai, seperti ikut demonstrasi damai atau pertemuan publik.

Kebebasan berekspresi juga mendukung hak asasi manusia lainnya seperti hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.

Kembali ke soal jaminan konstitusi atas kebebasan berpendapat, hal itu diatur dalam sejumlah regulasi. Sebut saja Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan tentang setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Selain itu Pasal 28 F UUD 1945 menyebut setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi lingkungan sosialnya. Serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran tersedia.

Kemudian, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang juga menjamin dan melindungi orang-orang untuk melontarkan pendapatnya.

Proses Hukum

Namun, bila menengok kondisi yang mengemuka belakangan di Indonesia, terlebih sepanjang tahun 2022, keberanian menyampaikan pendapat khususnya di kalangan aktivis maupun warga biasa kian sering berujung penangkapan dan proses hukum.

Salah satu kasus menonjol yaitu, penangkapan yang sempat dilakukan polisi terhadap sedikitnya 64 warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabuapaten Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (8/2/2022). Penangkapan terkait penolakan warga terhadap rencana pembangunan Bendungan Bener dan tambang batu andesit.

Kasus lain yang sempat membetot perhatian publik yaitu status tersangka yang disandang dua aktivis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti menyangkut kasus dugaan pencemaran nama baik Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Mereka ditetapkan tersangka oleh penyidik Polda Metro Jaya pada 17 Maret 2022, setelah dilaporkan oleh Luhut atas tuduhan pencemaran nama baik dalam video yang diunggah di kanal YouTube milik Haris Azhar. Video itu berisi soal dugaan keterlibatan Luhut Binsar Pandjaitan dalam bisnis tambang di Papua.

Haris dan Fatia dijerat dengan Pasal 27 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kondisi itu bukan tak disadari oleh organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang advokasi menyangkut HAM.

Amnesty Indonesia melalui catatan akhir tahun 2022 menyebut, pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE kerap digunakan untuk menjerat, mengadili, dan menghukum beragam orang yang melaporkan kasus korupsi. Tak terkecuali, konsumen yang membuat ulasan kritis.

Lembaga yang digawangi Usman Hamid itu mendata, selama tahun 2022 ini, UU ITE digunakan pada setidaknya 37 kasus pelanggaran atas kebebasan berekspresi dengan 46 korban. Sebelas kasus di antaranya merupakan hasil patroli polisi virtual.

Upaya Memperjuangkan HAM

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur turut mengakui, kebebasan masyarakat untuk berekspresi atau berpendapat menyusut. Kondisi ini, kata dia, kian parah dan mendapat legitimasi seiring pengesahan RKUHP yang memuat pasal-pasal anti-demokrasi. Oleh karena itu, penangkapan terhadap mereka yang vokal pun tak terelakkan.

Padahal, kata pria berkacamata ini menuturkan, tak jarang suara vokal yang terlontar dari aktivis maupun warga itu terkait upaya memperjuangkan HAM.

“Kita masih ingat bagaimana perjuangan warga Pakel di Banyuwangi, warga Wadas di Jawa Tengah. Kemudian warga Sahinge di manado, warga Mukomuko di bengkulu dan lain-lain,” kata Isnur kepada Inilah.com, Jumat (30/12/2022).

Menurut dia, polisi banyak menangkapi warga dan aktivis. Tak hanya itu, Isnur juga menyoroti ratusan orang meninggal dalam Tragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.

“Adanya tragedi-tragedi bagaimana 135 orang meninggal dalam peristiwa Kanjuruhan dan itu juga bagian ekspresi mereka terhadap klubnya. (Ekspresi) itu dibungkam dengan gas air mata dan banyak meninggal,” terang Isnur.

Isnur pun tak dapat menyembunyikan penyesalannya lantaran aparat yang melakukan tindakan semacam itu seolah dilindungi dari proses hukum. Sebab, hal itu bisa diartikan negara melindungi penjahat hak asasi manusia. [Aria Triyudha | Harris Muda]

Back to top button