News

Indonesia Masuk Tiga Besar Survei Global Boikot Produk Terafiliasi Israel


Satu dari tiga orang mengatakan mereka memboikot produk-produk dengan merek yang terafiliasi Israel. Hal itu diketahui berdasarkan survei terbaru Trust Barometer.

Merujuk survei tersebut, warga dari negara-negara Teluk dan negara dengan mayoritas penduduk Muslim mendominasi gerakan boikot. Survei dilakukan terhadap 15.000 orang di 15 negara, termasuk AS, Inggris Raya, Prancis, dan Arab Saudi.

Survei tidak menyebut keberpihakan responden atas perang di Gaza, namun lima negara teratas yang warganya memboikot produk terafiliasi Israel, tiga di antaranya adalah negara berpenduduk Muslim, yakni Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Indonesia. India masuk di urutan keempat, dan Jerman kelima.

Gerakan Boycott, Divestment and Sanctions (BDS) kini mendapatkan momentumnya di seluruh dunia dengan tujuan menekan Israel atas tindakan pelanggaran hukum internasional oleh mereka terhadap warga Palestina di Gaza. Namun, gerakan BDS juga mendapatkan perlawanan keras di AS dan negara-negara Barat yang mana populasinya menaruh simpati terhadap Israel.

Berdasarkan survei, Arab Saudi di urutan teratas dengan angka 71 persen respondennya mengatakan, bahwa mereka memboikot produk terafiliasi Israel. Mayoritas populasi di Saudi tercatat memiliki sikap pro-Palestina.

Sebelumnya pun, polling yang digelar oleh Washington Institute pada Desember 2023 menemukan bahwa 96 persen warga Saudi meyakini negara-negara Arab harus memutus hubungan diplomatik dengan Israel sebagai respons atas perang di Gaza. Padahal, sebelum perang di Gaza terjadi, AS secara aktif menjadi mediator normalisasi hubungan diplomatik Arab Saudi dan Israel.

Di Uni Emirat Arab, sebanyak 57 persen dari total responden memboikot produk terafiliasi Israel. Sementara di Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia, survei menyatakan, satu dari dua warganya memboikot merek-merek terafiliasi Israel.

Jumlah responden di negara Arab dan Muslim yang memboikot produk terafiliasi Israel setelah perang di Gaza meletus, lebih tinggi dari angka rata-rata gerakan boikot di seluruh dunia sebesar 37 persen. Aksi boikot ini paling dirasakan oleh perusahaan-perusahaan dari negara Barat.

Pada Maret lalu, raksasa retail Alshaya Group, yang memiliki hak membuka gerai-gerai Starbucks di Timur Tengah, memutuskan memecat hingga 2.000 staf mereka di kawasan itu dan di Afrika Utara atau empat persen dari total jumlah pekerja mereka. Pemecatan itu sebagai dampak aksi boikot.

post-cover
Pengunjuk rasa Pro-Palestina menggelar aksi di depan gerai sebuah restoran cepat saji AS yang dianggap memiliki afiliasi dengan Israel. (Foto: Associated Press)

CEO McDonald’s Chris Kempczinski pada awal tahun ini juga mengungkapkan bahwa omzet penjualan mereka melemah di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Malaysia dan Indonesia, dan juga di Timur Tengah.

Pada Oktober 2023, langkah McDonald’s yang mengumumkan pemberian makanan gratis untuk tentara IDF sempat memicu amarah aktivis pro-Palestina.

Di Pakistan, McDonald’s sampai harus menurunkan harga jual produk mereka dan membuat pernyataan bahwa jaringan restoran mereka di Pakistan tidak berhubungan langsung dengan waralaba McDonald’s di Israel.

“Dampak perang (Gaza) terhadap waralaba yang terus berlanjut mengecewakan dan tanpa dasar,” kata Kempczinski dalam sebuah rapat perusahaaan dengan analis, pada pekan lalu.

Konsumen di kawasan Teluk, telah lama menjadi andalan bagi perusahaan-perusahaan dari negara Barat karena populasi muda mereka relatif memiliki daya beli yang tinggi. Ekonomi mereka yang utamanya dari hasil produksi minyak tak terpengaruh oleh perang seperti negara-negara Arab lain sejak gerakan Arab Spring.

Middle East Eye melaporkan, bagaimana konsumen di Oman, partner kunci negara Barat, ikut memboikot produk-produk dari negara Barat yang terafiliasi AS dan sekutu pendukung Israel. Mereka mengganti minuman seperti Mountain Dew ke Kinsa, merk minuman ringan asal Saudi. Di Pakistan, merek lokal mulai memproduksi barang-barang buatan dalam negeri untuk menggantikan minuman ringan dan kosmetik dari Barat.

Survei Trust Barometer juga menunjukkan peningkatan angka nasionalisme konsumen di negara-negara Teluk. Responden di Saudi dan Uni Emirat Arab contohnya, mengatakan, bahwa mereka kini lebih memilih untuk membeli produk lokal daripada merek Barat. 
 

Back to top button