News

Hentikan Standar Ganda Penanganan Perkara Kekerasan Seksual

Minggu, 10 Jul 2022 – 12:05 WIB

Sexual Assault - inilah.com

Penanganan perkara seksual di Indonesia belum dilakukan secara serius. Aparat menggunakan standar ganda. Foto: Ilustrasi

Euforia publik atas pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), pada April 2022 yang lalu, gagal ditangkap oleh penegak hukum. Pengesahan perundang-undangan yang awalnya dinamakan Penghapusan Kekerasan Seksual tidak dijadikan momentum bagi aparat untuk menangani kasus-kasus kekerasan dengan berpihak pada korban.

Dua kasus yang tersorot dalam beberapa hari terakhir menunjukkan gelagat betapa rikuhnya hukum kita menjerat predator seksual. Pemerintah harus mengancam menutup Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, agar pelaku Moch Suchi Azal Tsani alias Mas Bechi, menyerahkan diri. Dalam perkara serupa di Malang, terdakwa Julianto Eka tidak ditahan, malahan Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) yang didirikannya jauh dari isu penutupan.

“Konsistensi di jajaran kepolisian lintas daerah dalam penegakan hukum memang dibutuhkan agar tidak menimbulkan kecurigaan tentang standar ganda,” kata Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, kepada Inilah.com, belum lama ini.

Andy mengakui kedua kasus tersebut terjadi sebelum UU TPKS disahkan. Bechi dijadikan tersangka pencabulan dan pemerkosaan santri pada 2019 sebelum dinyatakan buron. Sedangkan Julianto Eka jadi tersangka pelecehan dan pemerkosaan siswi serta pengajar SPI tahun 2021, dan sejak penyidikan hingga persidangan tidak ditahan.

“Pada kasus kekerasan di Jombang dan Batu, ini saat yang tepat untuk mengimplementasikan UU TPKS. Fokus pada pendampingan dan pemulihan korban dengan hukum acara yang lebih menguatkan upaya pengungkapan kasus,” ujar Andy.

Berkaca pada dua kasus tersebut, Andy meminta pemerintah melalui Kemenag dan Kemendikbud meningkatkan peran pengawasan dan partisipasi aktif dari masyarakat untuk mendorong akuntabilitas sistem pendidikan berbasis asrama. Kali ini, pemerintah harus mampu menjamin siswa-siswi yang menjadi tulang punggung bangsa ini pada masa depan bebas dari ancaman predator seks di lingkungan sekolah yang bisa mengubur masa depan mereka.

“Kami terus memantau, berkoordinir dengan institusi-institusi yang relevan untuk mendorong proses hukum berjalan, dan mengembangkan mekanisme rujukan agar kebutuhan pendampingan korban terpenuhi,” terang Andy.

Secara terpisah, Komisioner KPAI Jasra Putra, turut mengakui lemahnya penegakan hukum terhadap predator seks. Bahkan gelagatnya belum menunjukkan konsistensi aparatur negara mempersempit potensi kejahatan seksual dengan korban anak maupun perempuan pada lingkup pendidikan.

Dia meyakini selama ini aturan hukum sudah memadai dalam menangani perkara kekerasan seksual, termasuk dengan korban berstatus siswa maupun siswi. Tinggal bagaimana penegak hukum konsisten dalam implementasinya.

“Saya kira sejarah penegakan hukum kekerasan dan kejahatan seksual di negara kita terus progresif, baik di KUHP maupun di RKUHP yang terus berproses. Termasuk UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Pemberatan Hukuman untuk pelaku kejahatan seksual pada anak, dan terakhir UU TPKS,” tuturnya.

Putra meminta penegak hukum konsisten menggunakan paradigma pendekatan pada korban dalam perkara-perkara seperti ini. Sebab terbuka kemungkinan banyak korban yang belum terungkap karena memilih diam.

“Hari ini kita dipertontonkan pesakitan dari para korban kekerasan, kejahatan, dan pencabulan seksual. Bayangkan sejak mereka menolak perlakuan, percaya tidak percaya, mereka harus berani melawan ketakutan, ancaman, trauma, yang harus dialaminya sekian lama,” ucapnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button