Hangout

Harry de Fretes Bicara Dinamika Lenong, Perlahan Memudar dan Dipandang Sebelah Mata

Jumat, 14 Okt 2022 – 10:41 WIB

Harry de Fretes Lenong

Mungkin anda suka

Dokumentasi Inilah.com/Mia Umi Kartikawati

Hampir beberapa dekade terakhir perubahan dan arah perkembangan seni teatrikal mulai urung terhendus. Salah satu yang mengalami dinamika semacam itu tak lain yakni kesenian milik masyarakat Betawi berupa pertunjukan lenong. Harry de Fretes, salah seorang pelawak senior dan juga tokoh pentolan Lenong Rumpi yang eksis di masanya membenarkan pernyataan tersebut.

Harry yang sudah lebih dari seperempat abad berkutat di dalam kesenian itu menganggap lenong bukan lagi prioritas seni masyarakat.

“Emang pas saya perhatiakan selama 30 tahun ini, lenong emang kadang naik, kadang turun, ibaratnya sama kayak kehidupan. Nah sekarang ini di 2020-an, justru lagi keadaan turun sebenarnya. Di TV pun lagi gak ada lenong, pertunjukan di panggung pun nyaris tidak ada,” kata Harry saat berbincang dalam program Podslah di kanal YouTube Inilah.com, dikutip Jumat (14/10/2022).

Figur yang dikenal memerankan sosok Boim di Lenong Rumpi ini tak memungkiri, efek domino pandemi COVID-19 turut berimbas pada geliat pertunjukan.

Kendati begitu, hal lain yang juga tak kalah membuat seni lenong terkikis yakni minimnya perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap pertunjukan bersejarah sekelas lenong.

“Makin ke sini semakin sulit, medannya semakin berat. Terus terang aja banyak dari generasi sekarang yang tak tahu lenong kan?” sebut Harry.

Pemerintah menurut Harry agaknya punya peran serta membangkitkan tradisi yang sempat melejit di era 90-an itu. Namun, upaya itu urung terlaksana dan seolah hanya menjadi harapan semu bagi dirinya selaku praktisi seni.

“Ya kalau kita masyarakat sendiri yang menggerakan itu punya kemampuan terbatas baik soal fasilitasnya, soal dananya dan sebagainya,” sahutnya.

Sukarnya menurut Harry menggelar pertunjukan jika hanya mengandalkan kocek sendiri. Terlebih lenong bukan cuma ajang lempar tawa belaka.

Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang kromong dengan alat-alat musik, seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan kecrekan serta alat musik unsur Tionghoa, seperti tehyan, kongahyang, dan sukong.

“Jadi sebenarnya dukungan pemerintah itu bukannya tidak ada, itu disediakan. Tapi kok kayaknya, istilahnya belum jadi priority ya untuk didukung secara full gitu,” terangnya.

Mencermati dinamika yang hadir belakangan ini, Herry tampaknya belum bisa menjamin eksistensi lenong bertahan di tengah modernisasi seni.

Terlebih lagi, Herry mengatakan pemerintah saat ini cenderung abai dan enggan menaruh perhatian lebih untuk seni yang kini gaungnya mulai memudar.

“Lenong masih dianggap sebelah mata sih. Maksudnya ‘GPT’ ya, agak gapenting gitu ya, aduh lenong apa sih, ya kan. Nah ini akhirnya si lenong jadi disimpelin, bercanda cela-celaan, wah ini lenong nih padahal lenong it’s not like that only,” tegas Harry.

Harry tampaknya tak tinggal diam atas beragam fakta yang mungkin sulit diterima bagi praktisi seni seperti dirinya. Pria kelahiran 24 September 1967 itu, berniat mewujudkan keinginannya membangkitkan Lenong Rumpi agar kembali dikenal dengan konsep yang lebih kekinian.

Harry de Fretes mengungkapkan, memang banyak orang yang ingin ikut terlibat dalam rencana penampilan Lenong Rumpi versi kekinian tersebut, namun bukan perkara mudah untuk mencari pemain yang bisa berpadu dengan tokoh-tokoh lama Lenong Rumpi yang masih ada.

Nantinya, kisah cerita yang diangkat seputar isu-isu terbaru yang ada di masyarakat. Tentu ini bukan sebagai ajang mengkritik atau menggurui, tetapi sebagai bentuk kepedulian dengan dibalut gaya lenong.

Back to top button