News

Hantu AIDS, Poligami dan Para Apotaktikoi

Puluhan tahun sudah ketakutan itu seolah terbenam dalam di lokus otak kita, sebelum hari-hari terakhir ini sebuah suara dari Tanah Pasundan, mengingatkan bahwa bala belum sepenuhnya lepas dari kehidupan kita. Virus penghancur kekebalan tubuh manusia—HIV– dan AIDS sebagai penyakit turunannya, masih ada.

Namun, tampaknya bukan soal HIV AIDS itu benar yang membuat pernyataan Ketua Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung Sis Silvia Dewi itu bersipongang sekuat saat ini. Bagaimanapun, KPA dengan tegas menyatakan angka yang mereka lansir itu adalah angka akumulasi sejak 1991 hingga 2021, alias angka selama 30 tahun! Selain itu, meski belum menjadi penyakit yang bisa ditaklukan manusia, pengobatan AIDS saat ini telah mencapai fase di mana para penderitanya bisa hidup lama, tidak menularkan penyakitnya, sepanjang ia disiplin melakukan pengobatan.

Mungkin anda suka

Per Desember 2021, kata Sis Silvia, tercatat ada 12.358 pengidap HIV AIDS yang melakukan pelayanan kesehatan di Kota Bandung. Sejumlah 5.800 orang di antara mereka merupakan warga Kota Bandung. Dari total warga Bandung penderita HIV AIDS tersebut, 31 persen mereka adalah pekerja swasta, 15 persen wiraswasta, 11 persen dari ibu rumah tangga (IRT), dan enam persen mahasiswa. Dibandingkan dengan warga kota Bandung, yang mencatat 2,53 juta jiwa pada 2021 lalu, angka itu kecil saja, hanya 0,23 persen!

Okelah, kita bisa sepakat bahwa angka-angka penderita AIDS itu selalu mencerminkan fenomena gunung es, yang tampak ke permukaan hanya seuprit dari fakta sebenarnya. Rasa malu, ketakutan di-bully lingkungan, dan sebagainya bisa menjadi penyebab semua itu. Tetapi bagaimana pun, itulah angka yang sampai saat ini lebih bisa dipertanggungjawabkan.

Kita bisa curiga, jangan-jangan yang membuat urusan HIV AIDS yang dilansir KPA Bandung itu bergema, justru karena ia terkait urusan poligami yang senyampang urusan AIDS itu mengemuka, diendors Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum. Uu, dengan kepedulian seorang wakil gubenur untuk rakyatnya, mengatakan, dirinya mendengar bahwa banyak ibu-ibu di Bandung yang kena HIV/ AIDS, demikian pula anak-anak muda. Ia kemudian dengan segera mengaitkan urusan itu dengan perzinahan yang sangat dilarang agama. Dengan premis yang dibangunnya itu, Uu berkesimpulan bahwa menikah, dan–lebih afdhal lagi—berpoligami, menjadi  solusi untuk menekan angka penyebaran penyakit HIV/AIDS.

Pernyataan Uu itu segera mendapatkan tak hanya kritik, bahkan hujatan warga, terutama para netizen. Terlalu banyak, terlalu variative, bahkan untuk sekadar mengambilnya satu dua sebagai contoh di sini.

Yang dilupakan para penghujat itu, benar belum ada bukti apa pun bahwa poligami bisa menjadi solusi perkembangan HIV AIDS. Tetapi sekaligus pula, belum ada pula bukti bahwa poligami tidak pernah bisa menjadi solusi penghambat perkembangan AIDS. Karena memang belum pernah ada riset, percobaan, atau apa metode ilmiah yang digelar untuk membuktikan—katakanlah—hipotesis Wagub Uu itu.

Jadi, menurut saya, tak berhak pula kita mengambil kesimpulan tanpa dasar bahwa apa yang tersirat di benak Uu itu sepenuhnya salah, bukan?

Yang justru perlu kita takutkan, jangan-jangan, secara tidak sadar kita justru telah menjadi penolak teguh dari poligami. Sikap ini dalam kredo—pengakuan iman—seorang Muslim, bisa saja tergolong berbahaya. Apalagi bagi kalangan Muslim yang mempercayai bahwa ketidakpercayaan akan salah satu klausul syariah, akan mengganggu bangunan keimanan secara utuh. Paling tidak, ia dikuatirkan tidak menjadi seorang Muslim yang kaffah (utuh).

Khusus bagi seorang penganut Islam, menurut saya, dia akan susah menjadi seorang  Muslim alias seorang yang berserah diri, mempercayai keagungan Tuhan dalam minimal dicerminkan ke-99 pensifatan sebagaimana asma-Nya, manakala ada hal-hal dari syariah yang ditolaknya untuk dipercayai. Tidak pada tempatnya seorang Muslim menjadi seorang apotaktikoi, alias penampik, kecuali menampik ketidakesaan Tuhan. Menolak poligami, bagi kalangan Islam tertentu, tentu saja bisa dianggap sebagai perilaku  apotaktikoi.

Ada cerita tentang seorang apotaktikoi yang datang dari milenium lalu.  Tersebutlah seorang biawaran Mesir yang sangat alim, bernama Apa Sisoes. Di usianya yang telah tua, ia ingin sepenuhnya terhindar dari rayuan dosa. Lupa akan ketuaan dirinya, ia meminta agar dalam hidup ke depan tak lagi berkaitan dengan perempuan. Ia seorang penampik perempuan, yang baginya semata penggoda pendatang dosa.

Kepada muridnya ia berkata,”Di mana tak ada perempuan, ke tempat itulah bawa aku pergi.”Si Murid itu pun berkata kepadanya, “Tempat apa lagi yang tak ada perempuannya, kecuali gurun pasir?” Dan biarawan tua itu berkata yakin, “Bawa aku ke gurun pasir.”

Untuk urusan poligami, haruskah kita sekukuh biarawan tua itu untuk menampik? Bahkan bila urusan yang dihalalkan Tuhan itu terkait dengan konteksnya di masa lalu, bukankah hingga kini ayat Quran itu pun tak pernah di-mansukh? [dsy]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button