Market

Gunakan Pesawat Tempur Uzur, Ekonom: Rusia Ingin Reset Ekonomi

Ekonom mengungkapkan motif lain Rusia melakukan invasi ke Ukraina di luar politik, yaitu keinginan Moskow untuk mereset ekonomi global. Hal ini terindikasi dari peralatan perang yang digunakan sudah dalam kondisi ‘uzur’.

Kepala ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengaku tak dapat menyangkal adanya analisis bahwa Rusia ingin mereset ekonomi sebagai motif di balik invasinya ke Ukraina. “Sebab, Rusia mengerahkan peralatan perang yang sebenarnya sudah ‘uzur’. Pesawatnya tempurnya buatan tahun 1990-an bahkan 1980-an,” katanya kepada Inilah.com di Jakarta, Kamis (10/3/2022).

Sebagian besar dari pesawat-pesawat uzur tersebut, bahkan sudah Rusia jual ke negara-negara lain. Padahal, Rusia memiliki misil dan peralatan tempur yang lebih mutakhir dan bisa menyelesaikan operasi militernya dalam tiga hari saja.

“Inilah yang menimbulkan anggapan adanya motif untuk mereset ekonomi, selain sebagai strategi militer,” ujarnya.

Menurut David, reset dalam konteks Perang Rusia-Ukraina adalah mengubah tatanan ekonomi dan politik. Setelah runtuhnya tembok Berlin pada 9 November 1989, kekuatan ekonomi-politik cenderung Unipolar dari sebelumnya Bipolar karena adanya Blok Barat dan Blok Timur.

“Indonesia saat itu masuk Non-Blok. Dulu, Berlin berhadap-hadapan, Timur dan Barat. Sekarang, negara-negara Skandinavia, seperti Finlandia tidak masuk NATO,” ungkap dia.

Perang Mereset Perjanjian Dagang dan Investasi

Begitu juga dengan pecahnya perang Rusia-Ukraina yang mengubah tatanan politik dan ekonomi. Meski bersifat politis pada mulanya, konstelasi ekonomi juga otomatis berubah, terutama terkait perjanjian dagang dan investasi.

David mencontohkan perubhan politik AS yang mengubah perjanjian dagang dan investasi saat Paman Sam bergabung dengan Trans-Pacific Partnership (TPP). TPP merupakan perjanjian dagang antara 12 negara yang terdiri dari AS, Jepang, Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Chile, Malaysia, Meksiko, New Zealand, Singapura, Peru dan Vietnam.

“Tapi, zamannya Presiden Donald Trump, AS keluar dari perjanjian tersebut dan ini justru mendorong berkembangnya pakta (perjanjian internasional) ekonomi yang digagas oleh China,” papar dia.

Secara kemampuan militer antara Rusia dan Ukraina, menurut David, bagaikan bumi dan langit, keculi jika NATO menyuplai senjata. “Sejauh ini NATO tidak terang-terangan mendukung Ukraina karena ada ancaman juga dari Putin bagi yang ikut campur,” timpal David.

Sanksi Barat Kurang Bertaji

Perang yang berlangsung lama, di satu sisi menguntungkan negara-negara eksportir komoditas karena kenaikan harganya. Di lain sisi, Rusia mendapat sanksi oleh banyak negara Barat, terutama AS dan Uni Eropa.

Namun, sanksi atas Rusia juga memberikan dampak yang lebih kuat tekanannya terhadap Barat seiring lonjakan inflasi akibat kenaikan harga semua komoditas. “Jadi, dampak Rusia terhadap Barat bisa jadi lebih berat, terutama bagi AS dan Uni Eropa daripada dampak sanksi kepada Rusia sendiri,” ungkap David.

Apalagi, kata dia, negara-negara tersebut saat ini sedang mengalami defisit energi. Meskipun, secara pelan-pelan mereka sudah banyak beralih ke energi terbarukan. Soal energi, negara-negara Barat sadar betul, mereka sangat bergantung kepada Timur Tengah dan Rusia. “Eropa importir terbesar. Begitu juga dengan AS,” papar dia.

Oleh karena itu, David melihat sanksi Barat ke Rusia tidak terlalu mempan untuk memberikan dampak yang signifikan di negeri beruang merah itu. Rusia sudah mempersiapkan ekonominya secara struktural untuk menghadapi sanksi Barat. “Sebab, konflik tersebut sudah menjadi concern Rusia sejak lama,” ungkap David.

Salah satu penasehat Gedung Putih yang merupakan professor di Universitas Chicago sudah memperingatkan potensi terjadinya perang ini sejak 7 tahun lalu. Rusia merasa terancam jika Ukraina masuk NATO.

“Ini mirip dengan krisis rudal Kuba di mana saat itu misil Uni Soviet terpasang di Kuba pada era Presiden Kenedy tahun 1960-an. AS keberatan kalau kekuatan dari Timur menyimpan misil di backyard (halaman belakang)-nya AS di mana Kuba hanya berjarak 15 menit ke Florida AS,” papar David.

Begitu juga dengan Ukraina jika negara ini bergabung dengan NATO yang ditengarai bakal menjadi pangkalan militer AS. Profesor Chicago tersebut mengusulkan Ukraina menjadi negara buffer atau negara penyangga yang posisinya di tengah sehingga menjadi netral.

“Tapi, suara dia di Pentagon dan Washington DC adalah minoritas,” imbuhnya.

Back to top button