News

“Gods and Robots; …”: Akankah Homo Sapiens Musnah Oleh Robot Ciptaannya Sendiri?

Ramalan pahit bahwa manusia akan dikalahkan dan musnah oleh ciptaannya sendiri itu telah diprediksi jauh sejak masa lalu. Salah satunya dari cerita mitologi Yunani Kuno, yang beredar dari mulut ke mulut sejak sebelum Nabi Isa lahir. Cerita itu sampai ke era modern lewat ‘buku’ kumpulan puisi, “Argonautica”, yang ditulis Apollonius Rhodius. Apakah perkembangan terakhir IT dan AI meneguhkan “nubuat” tersebut?

Elon Musk bukanlah orang pertama yang menyuarakan kekuatiran bahwa habisnya eksistensi manusia bisa disebabkan oleh perkembangan hebat teknologi, antara lain melalui kecerdasan buatan (AI). Dari Hollywood, kita menjumpai berbagai film. Yang paling menonjol adalah “The Terminator”, dirilis pada 1984, dan yang paling akhir muncul pada 2019 lalu, “The Terminator: Dark Fate”. Ada pula film lama, “Jason and The Argonauts” (1963), yang meski filmnya telah saya miliki sejak era DVD awal 2000-an, belum juga saya putar. He he he…

Ramalan pahit bahwa manusia akan dikalahkan dan musnah oleh ciptaannya sendiri itu telah diprediksi jauh sejak masa lalu. Salah satunya dari cerita mitologi Yunani kuno, yang beredar dari mulut ke mulut sejak sebelum Nabi Isa AS lahir. Cerita itu sampai ke era modern lewat ‘buku’ kumpulan puisi, “Argonautica”, yang ditulis Apollonius Rhodius.

Dongeng itu telah beredar sejak abad ke-5 SM. Konon, ada dewa api, Hephaestus, yang karena mahir mengendalikan api, ia pun piawai dalam pengerjaan logam alias metalurgi. Hephaestus bisa mencairkan besi dan aneka logam, untuk mengubahnya menjadi berbagai variasi peralatan teknik.

Suatu saat Hephaestus diminta godfather para dewa, Zeus, untuk membuatkan hadiah bagi salah satu anaknya, Minos, raja Pulau Kreta. Patuh kepada bos para bos, Hephaestus menciptakan tiruan manusia dari perunggu, yang bisa bergerak menirukan gerak-gerik manusia, bernama Talos.

Makhluk Talos tak sekadar onggokan logam. Bisa jadi, Hephaestus telah memberinya sekian banyak mantera—kini kita menyebutnya kecerdasan buatan—yang membuatnya bisa bergerak, berbicara, berekspresi, dan tentu saja sesuai kebutuhan era itu, berkelahi. Talos kemudian diprogram untuk menjaga Pulau Kreta untuk waktu tak tertentu. Ia berkeliling Kreta tiga kali sehari untuk menjalankan patroli.

Tetapi rasa aman warga Kreta tak berlangsung lama. Benar bahwa tiap kali ada kapal musuh mendekat, Talos akan melemparinya dengan batu besar, atau membakarnya. Hanya, Talos tak punya sense yang cukup untuk membedakan mana musuh dan warga lokal Kreta. Tak jarang ia justru menghajar kapal dagang Kreta yang pulang dan berlabuh, atau membantai warga yang pulang malam. Talos pun kemudian justru jadi persoalan warga Kreta.

Itulah yang antara lain diangkat “Gods and Robots: Myth, Machines, and Ancient Dreams of Technology” yang ditulis sejarawan Universitas Stanford, Dr Adrienne Mayor. Buku yang beredar mulai 2018 itu terasa kembali segar manakala dunia IT ramai menjadi berita dengan penemuan AI tahap lanjut, ChatGPT misalnya.

Menurut Mayor, Talos adalah versi awal dari apa yang sekarang berkembang. Penulis buku penting, “The Amazons: Lives and Legends of Warrior Women Across the Ancient World”, 2014, itu menemukan bahwa bukan hanya budaya Yunani yang membayangkan prajurit mekanistik, pelayan, atau replika manusia—yang kemudian busa pula jadi jahat itu. Mitos yang sama juga hidup di Roma, India, dan China, yang intinya mengeksplorasi gagasan tentang kehidupan dan kecerdasan buatan (AI).

Buku ini mendapatkan banyak ulasan positif dari para kritikus dan pembaca. Kirkus Review menyebutnya “kumpulan cerita menakjubkan yang menghadirkan mitos kuno sebagai cerita proto-fiksi ilmiah”. The Bryn Mawr Classical Review memuji buku tersebut sebagai “bacaan ideal untuk non-ahli” dan “perjalanan menakjubkan melalui sastra dan seni kuno”. Sementara pengguna Goodreads memberinya nilai rata-rata 3,69 dari standar lima bintang.

Mungkin Mayor adalah seorang Mussolinian, dalam arti ia sepakat dengan Mussolini yang percaya bahwa sejarah “…bukan hanya cerita dan fakta masa lalu, melainkan urusan masa kini dan masa depan”. Alhasil, Mayor pun bicara soal fenomena saat ini.

Ia menulis bahwa pada tahun 2016, Ray Crowder, seorang insinyur di Raytheon, menciptakan tiga robot pembelajaran mini. Dia memberi robot-robot itu nama-nama klasik: Zeus, Athena,dan Hercules. Dengan sistem syaraf yang dimodelkan pada kecoak dan gurita, robot kecil bertenaga surya itu bisa memiliki tiga berkah: kemampuan bergerak, keinginan berada dalam kegelapan, dan kapasitas untuk mengisi ulang batereinya di bawah sinar matahari. Robot-robot itu pun dengan cepat belajar bepergian dan segera mengerti mereka harus menjelajah menuju cahaya yang menyiksa untuk mengisi ulang energi, atau mati.

Sadar bahwa robot pun pada akhirnya bisa berkembang dan boleh jadi akan jadi persoalan bagi manusia, Mayor mengingatkan ulang kita akan peringatan mendiang Hawking bahwa “AI could spell the end of the human race”. Mayor pun turut mengusulkan agar kita dapat mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan etika untuk robot. Salah satunya dengan menanamkan program Scheherazade, diambil dari wanita penutur cerita dalam “Cerita 1001 Malam”. Perkembangan saat ini, kata Mayor, penemu dan mentor robot AI sudah membangun logo (logika), etos (nilai moral), dan pathos (emosi) pada makhluk ciptaan manusia itu. “Kita sedang mendekati apa yang oleh sebagian orang disebut fajar baru Robo-Humanity,”tulis Mayor. Semoga saja. [dsy/berbagai sumber]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button