Market

Ganggu Hilirisasi Mineral dan Minyak Sawit, Uni Eropa Biang Kerok

Rabu, 11 Jan 2023 – 11:47 WIB

Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit di Jambi, Sabtu (7/1/2023).(Foto: Antara).

Uni Eropa (UE) benar-benar biang kerok. Tak hanya merecoki Indonesia soal hilirisasi mineral mentah yang digagas Presiden Jokowi. Minyak sawit Indonesia pun diganggu kampanye hitam dan diskriminasi.

Ketua bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Tofan Mahdi mengatakan, Uni Eropa tak henti-hentinya mengganggu industri sawit Indonesia. Perlu strategi khusus untuk menghadapinya.

Kali ini, mantan wartawan senior Jawa Pos itu, menyebut pentingnya penguatan komitmen atau kerja sama antara Indonesia dengan Malaysia. Di mana, posisi kedua negara sebagai produsen sawit terbesar di dunia, harus diberdayakan.

Dia mengatakan, saat ini, produksi minyak sawit Indonesia mencapai 50 juta ton, sementara Malaysia sebanyak 22 juta ton. Artinya, kedua negara ini adalah penguasa bagi pasar minyak nabati global.

“Karena itu, Indonesia dan Malaysia harus selalu kompak dalam menghadapi kampanye negatif atau diskriminasi dari UE terhadap minyak sawit dalam perdagangan minyak nabati global,” kata Tofan, Jakarta, dikutip Rabu (11/1/2023).

Komitmen atau kerja sama dengan Malaysia, seperti apa? Pria asal Pasuruan, Jawa Timur ini, menjelaskan, akar masalah yang memicu perilaku buruk Uni Eropa terhadap industri sawit Indonesia dan Malaysia, adalah persaingan bisnis.

“Saya kira ini mudah karena Indonesia, Malaysia dan negara-negara penghasil sawit yang tergabung dalam Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), sudah menjalin kerja sama. Apalagi ini menyangkut masalah bersama.” sambungnya.

Saat ini, lanjutnya, Indonesia dan Malaysia sebagai penghasil minyak nabati terbesar di dunia, dihadapkan dengan diskriminasi dan kampanye negatif dari negara-negara produsen minyak nabati non sawit. Berbagai diskriminasi dan kampanye negatif minyak sawit yang terjadi karena adanya persaingan dagang,” tegasnya.

“Diskriminasi dan kampanye negatif minyak sawit yang digencarkan tersebut seharusnya menjadi perhatian bersama Indonesia dan Malaysia mengingat hal tersebut dilakukan guna menurunkan daya saing minyak nabati di pasar global,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung mengatakan, petani kelapa sawit harus selalu dilibatkan dalam diplomasi dan negosiasi melawan diskriminasi perdagangan oleh negara-negara maju, khususnya Uni Eropa. “Karena, 42 persen, perkebunan sawit di Indonesia adalah milik petani. Petani adalah masa depan industri sawit Indonesia,” kata Gulat.

Di sektor hilirisasi mineral mentah yang diinisiasi Presiden Jokowi, Uni Eropa pun bersikap sama. Melawan. Misalnya, ketika Presiden Jokowi menerapkan larangan ekspor nikel mentah pada Januari 2021, Uni Eropa melakukan gugatan ke organisasi perdagangan dunia yakni World Trade Organization (WTO).

Padahal, pelarangan itu merupakan implementasi dari program hilirisasi mineral mentah. Karena dilarang ekspor, maka tumbuhlah industri pengolahan mineral mentah, atau smelter di Indonesia. Sehingga tercipta nilai tambah. Selain itu, munculnya industri nikel berarti penyerapan tenaga kerja.

Belakangan, WTO memutuskan untuk menangkan Uni Eropa. Padahal, AS, Inggris, Finlandia dan China pernah menjalankan larangan eskpor sebagai bentuk pelaksanaan hilirisasi. Ini diskriminatif.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button