News

Jalan Rusak Kepung Tempat Tinggal Kita, Multiplier Effect-nya Luar Biasa

Sesekali handuk kecilnya ia usapkan ke dahi. Terlihat peluh mengucur di leher dan lengannya. Wajahnya terlihat lelah seperti habis berolahraga. Lelaki itu adalah Solehuddin, pengemudi mobil bak terbuka yang hampir setiap hari melewati jalan Parung Panjang hingga ke Pasar Induk Poris di Kota Tangerang.

Pria berusia 47 tahun itu tengah menunggu ban kendaraannya ditambal. “Lagi nambal ban bocor sambil ngecek kolong mobil. Tadi kena gasruk di lobang. Mudah-mudahan tidak apa-apa,” katanya. Dia lalu bercerita jalur yang ia lewati hampir setiap hari itu mengalami rusak berat. Selain berlubang juga becek dan harus hati-hati memilih jalan agar kendaraannya tidak terantuk batu di jalanan.

Mungkin anda suka

Solehuddin mengaku terpaksa melewati jalanan rusak ini karena menghindari jalur memutar. Hanya saja risikonya, selain beberapa onderdil mobil cepat rusak, ia juga juga harus ekstra hati-hati berjibaku memilih jalan. “Enggak tahu sampai kapan bisa mulus jalan ini. Rata-rata jalan memang rusak di banyak daerah. Di Banten juga sama, saya juga sering mengangkut barang ke pelosok-pelosok,” kata pria asal Pandeglang itu.

Nasib Solehuddin menghadapi jalan rusak tidak sendirian. Hampir semua pengemudi pernah berhadapan dengan jalan rusak. Fenomena jalan rusak merata di berbagai daerah. Ini tidak hanya menyulitkan pengemudi tetapi juga mengganggu distribusi dan pasokan bahan pangan. Berpengaruh terhadap perekonomian lokal dan nasional dan tentu saja membebani inflasi. Sebuah kekhawatiran yang ditakuti para ekonom dan pemerintah.

Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan dan Penguatan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengungkapkan, ada sekitar 52 persen jaringan jalan rusak di Indonesia. Selain itu, Djoko juga menyebut masih ada sejumlah daerah yang belum memiliki anggaran yang cukup untuk pembenaran fasilitas jalan yang rusak. “Salah satu daerah dengan jalan rusak itu ada di Parung Panjang, jadi wajar kalau banyak masalah. Sementara daerah tersebut tidak punya banyak anggaran,” ujarnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, panjang jalan Indonesia pada 2021 mencapai 546.116 kilometer, di luar jalan tol. Dari jumlah itu, jalan kabupaten atau kota menduduki proporsi terbesar dengan panjang 444.548 kilometer atau 81,4 persen. Sementara jalan negara menyumbang 8,61 persen atau 47.017 kilometer dan 9,99 persen untuk jalan nasional atau sepanjang 54.551 kilometer. Jika dirinci menurut kondisi jalan, 42,6 persen atau 232.644 kilometer jalanan Indonesia berada dalam kondisi baik.

Selanjutnya, 139.174 kilometer (25,49 persen) dalam kondisi sedang, 87.454 kilometer (16,01 persen) dalam kondisi rusak, dan 86.844 kilometer (15,9 persen) dalam kondisi rusak berat. Khusus untuk jalan rusak berat, mayoritas berada pada jalan kabupaten atau kota, yakni sepanjang 79.256 kilometer.

Menurut pendoman BPS, kondisi jalan baik adalah jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan dengan kecepatan 60 kilometer per jam dan tanpa pemeliharaan pada pengerasan jalan selama 2 tahun. Sementara jalan sedang adalah jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan dengan kecepatan 40-60 kilometer per jam dan tanpa pemeliharaan pada pengerasan jalan selama 1 tahun.

Sedangkan jalan rusak adalah jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan dengan kecepatan 20-40 kilometer per jam dan perlu perbaikan pondasi jalan. Jalan rusak berat adalah jalan yang hanya dapat dilalui oleh kendaraan dengan kecepatan 0-20 kilometer per jam.

Kerusakan jalan terjadi hampir merata

Mana saja jalan yang mengalami kerusakan? Tidak sulit menemukan jalan rusak di sekitar kita. Kondisi jalan rusak seperti menjadi fenomena umum. Pada November 2022, BPS pernah merilis Statistik Transportasi Darat 2021. Di dalamnya terungkap data provinsi dengan jalan rusak terbanyak.

Untuk kategori jalan negara, urutan jalan rusak terbanyak di Papua yakni sepanjang 278 kilometer, Kalimantan Tengah 244 kilometer, Papua Barat 143 kilometer, Kalimantan Timur 77 kilometer, Maluku 55 kilometer, Jambi 44 kilometer, Kalimantan Barat 43 kilometer, Riau 42 kilometer, Sulawesi Selatan 32 kilometer, serta Maluku Utara 30 kilometer.

Sementara untuk jalan provinsi yang paling banyak mengalami kerusakan, yakni Riau sepanjang 633 kilometer, Nusa Tenggara Timur 667 kilometer, Papua Barat 623 kilometer, Sumatera Utara 583 kilometer, Sulawesi Tengah 442 Kkilometer, Maluku Utara 430 kilometer, Sulawesi Selatan 374 kilometer, Bengkulu 270 kilometer, Lampung 252 kilometer, dan Kalimantan Barat 252 kilometer.

Sementara untuk kategori jalan kabupaten, kerusakan terberat terjadi di Sumatera Utara sepanjang 9.187 kilometer, Nusa Tenggara Timur 6.306 kilometer, Papua 4.888 kilometer, Kalimantan Tengah 4.579 kilometer, Sumatera Barat 4.024 kilometer, Aceh 3.933 kilometer, Sulawesi Selatan 3.923 kilometer, Kalimantan Barat 3.412 kilometer, Riau 3.250 kilometer, serta Sulawesi Tengah 3.147 kilometer.

Jalan rusak tak hanya berdampak pada sulitnya supir seperti Solehuddin mengangkut barang atau kendaraannya yang harus sering ke bengkel untuk memperbaiki kerusakan. Tetapi juga memiliki multiplier effect yang sangat luas. Tak hanya bagi individu atau warga sekitarnya yang terdampak, tetapi juga secara nasional.

“Dampak ekonomi dari infrastruktur jalan yang rusak bukan persoalan yang sederhana,” kata Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios). Ada beberapa dampak yang perlu diperhatikan misalnya saja terjadinya kenaikan inefisiensi dalam berinvestasi. Terlihat dari angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyo (SBY), ICOR Indonesia itu di 4,2, sekarang di jaman Presiden Joko Widodo (Jokowi) 6,2.

Inefisiensi ini terjadi, karena ICOR juga menghitung berapa banyak investasi yang dikeluarkan suatu perusahaan ketika membangun pabrik, dan ketika jalannya rusak, baik karena pembangunan, pertanian, maka akan ada tambahan biaya yang dibebankan kepada investor.

Bhima melanjutkan, infrastruktur jalan yang rusak juga bisa mempengaruhi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) suatu daerah. “Maka bisa dicek apakah PMTB di daerah yang jalannya rusak, itu juga kecil, karena ada korelasi. Seseorang akan malas berinvestasi ketika infrastrukturnya tidak men-support,” ucapnya.

Ia juga mengingatkan, anggaran infrastruktur sangat penting. Jika hal itu tidak dilaksanakan, maka dikhawatirkan dapat menghambat munculnya kewirausahaan baru, lahirnya UMKM baru, atau pengusaha berorientasi ekspor.

Efek lainnya dari infrastruktur jalan yang rusak adalah waktu tempuh yang cukup jauh untuk pengiriman bahan baku, pengiriman bahan jadi. “Jadi (beban) itu semua akan diteruskan kepada pengusaha dan konsumen, yang berakibat konsumen harus membayar kerusakan jalan itu, tercermin dari harga barang yang menjadi lebih mahal,” kata Bhima.

Akumulasi dari infrastruktur jalan yang rusak juga akan mempersulit upaya pengendalian inflasi di masing masing daerah, karena masalah inflasi juga berkaitan dengan biaya distribusi. Maka daerah dengan inflasi yang tinggi juga bisa dilacak kondisi infrastrukturnya.

Perbaikan infrastruktur jalan dengan segera tentu bukan hanya harapan Solehuddin dan semua warga saja. Tetapi juga menjadi kebutuhan mendesak demi arus barang dan jasa dan pada akhirnya akan membantu pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dari tingkat daerah hingga nasional.

Back to top button