Hangout

Folklor Misteri Masjid Tertua di Samarinda

Masjid Shiratal Mustaqiem menjadi salah satu ikon Kota Samarinda. Masjid tertua di ibu kota Kalimantan Timur ini menyimpan kisah-kisah folklor yang menarik.

 

SAMARINDA adalah kota bersejarah di tepian Sungai Mahakam di Kalimantan Timur. Catatan sejarah menunjukan wilayah ini termasuk dalam peradaban awal di Nusantara, dengan simbol Kerajaan Kutai. Salah satu ikon di ibu kota Kalimantan Timur ini adalah Masjid Shiratal Mustaqiem.

Masjid yang terletak di Kampung Bugis, Kecamatan Samarinda Seberang ini tercatat sebagai masjid tertua di Kota Samarinda. Inilah.com khusus menyambangi masjid yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya ini.

Sejarah bangunan ini dimulai pada tahun 1880, ketika Said Abdurachman bin Assegaf dengan gelar Pangeran Bendahara, seorang pedagang Muslim dari Hadramaut, datang ke Kesultanan Kutai. Ia memilih kawasan Samarinda Seberang sebagai tempat tinggalnya dan ditanggapi oleh Sultan Kutai saat itu, Aji Muhammad Sulaiman, setelah melihat ketekunan dan ketaatan Said Abdurachman dalam menjalankan syariat Islam.

Selanjutnya pada tahun 1881 masjid mulai dibangun, meliputi luas bangunan sekitar 625 meter persegi dan lahan seluas 2.028 meter persegi. Pembangunan masjid memakan waktu sekitar 10 tahun.

Masyarakat sekitar masjid hingga kini percaya pada kisah-kisah folklor yang turun-temurun. Haji Sofyan, 50 tahun, yang kini menjadi pengelola masjid bertutur kepada Inilah.com soal kisah dibalik pendirian masjid kuno itu. Konon para pekerja kesulitan mendirikan empat tiang utama masjid. Tiang dari kayu ulin setinggi empat belas meter itu tak kunjung berdiri.

Dikisahkan Sofyan, saat itu tiba-tiba datang nenek tua yang menawarkan diri untuk menegakan empat tiang utama. Para pekerja sempat menertawakan tawaran itu. Tapi Habib Abdurachman Assegaf berprasangka baik. Dia menerima tawaran nenek misterius itu. “Tapi Nenek itu meminta satu syarat: dia bekerja setelah magrib, dan tak boleh ada yang melihatnya saat bekerja,” ujar Haji Sofyan.

Keesokan pagi masyarakat berduyun-duyun mendatangi lokasi pembangunan masjid. Empat tiang utama masjid sudah tegak berdiri, menancap di pondasi dengan kuat. Sedangkan nenek misterius itu telah pergi entah kemana.

Siapakah nenek itu? Hingga kini tak ada yang tahu. Tapi Haji Sofyan punya keyakinan sendiri. “Para tetua dan ulama khos percaya bahwa nenek itu sebenarnya penjelmaan dari Syech Abdul Qadir Jailani, seorang Wali Qutb yang sangat dihormati. Kedatangannya untuk membantu Habib Abdurachman Assegaf dalam mendirikan masjid di Kalimantan. Ini tugas suci untuk syiar Agama Islam,” ujar Haji Sofyan.

Keempat tiang soko guru tersebut merupakan sumbangan dari para tokoh adat, satu tiang dari Kapitan Jaya didatangkan dari Loa Haur, satu tiang dari Pengeran Bendahara didatangkan dari Gunung Dondang, satu tiang dari Petta Loloncang didatangkan dari Gunung Salo Tireng dan satu tiang lainnya didatangkan dari Sungai Karang. Sengaja dipilih tiang dari daerah yang jauh agar syiar tentang berdirinya masjid menyebar ke empat penjuru angin.

 

Ada kisah folklor lainnya. Suatu saat masyarakat mengeluh air Sungai Mahakam mulai terasa asin. Padahal air sungai itu menjadi andalan penduduk untuk kehidupan sehari-hari dan untuk berwudhu di masjid. Mendapat keluhan itu, Habib Abdurachman Assegaf berjalan ke pinggir sungai. Dia lantas memasukan sejumlah air ke dalam sarungnya, berdoa sejenak. Air itu lantas dikembalikan ke sungai. “Sejak itu air kembali normal. Tak asin, hingga sekarang ini,” ujar Haji Sofyan.

Bentukan Masjid Shiratal Mustaqiem dapat dilihat sebagai cerminan kearifan lokal masyarakat Samarinda dahulu. Itu mewujud dalam bentukan arsitektur yang selaras dengan lingkungan. Memang ada nuansa arsitektur Yaman yang digabung dengan China. Tetapi jika dilihat pada menara masjid masih menggunakan ukiran Kutai pada lisplang dan pagar menara. Sedangkan bentukan arsitektur masjid memiliki beberapa kemiripan dengan masjid-masjid kuno yang adadi Kalimantan seperti Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman di Pontianak serta Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin di Tenggarong.

Secara keseluruhan bangunan memiliki gaya arsitektur tropis khas Kalimantan. Hal ini dapat dilihat dari kayu yang digunakan sebagai material utama bangunan, baik pada bangunan utama maupun bangunan pendukung. Hal ini karena melimpahnya hasil hutan Kalimantan pada waktu dulu. Kayu digunakan mulai dari pondasi, dinding, kolom, balok, rangka atap, kusen, lantai serta pagar bangunan.

Menara setinggi 21 meter pun terbuat sepenuhnya dari konstruksi kayu. Kayu yang digunakan adalah kayu ulin atau dikenal juga dengan kayu besi yang merupakan bahan terbaik khas Kalimantan. Pada bagian fasad bangunan masjid menggunakan pintu kupu-kupu yang sama dengan jendela yang digunakan, sehingga sirkulasi udara secara silang dapat berjalan dengan baik yang membuat suhu dalam bangunan ini terasa sangat nyaman dan sejuk. Pencahayaan secara alami pun amat optimal sehingga sama sekali tidak memerlukan lampu di siang hari.

Ada filosofi pada tiap detil bangunan. Atap masjid dibuat empat tingkatan. Setiap tingkat melambangkan tahapan mahluk untuk mencapai derajat tertinggi saat berjumpa dengan Tuhannya: tingkat syariat, tingkat traikat, tingkat hakikat dan tingkat makrifat. Atap bertingkat-tingkat juga memberi kesan monumental serta memberikan penghawaan yang baik bagi bangunan masjid.

Warna-warna yang digunakan dalam masjid ini antara lain hijau, kuning, hitam pudar pada fasad sementara pada interior warna-warna tersebut tetap hadir dengan ditambah dominasi warna putih pada permukaan dinding. Warna kuning dianggap melambangkan kemuliaan. Warna ini juga banyak digunakan pada artefak-artefak kesultanan Kutai, Dayak serta Banjar di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.

Desain lisplang memang sederhana karena sesuai dengan ajaran di mana tidak menggunakan bentukan-bentukan yang menyerupai manusia ataupun binatang. Atap masjid ini memakai bahan sirap sementara kayu ulin digunakan pada dinding di bagian tingkat atap masjid ini. Warna khas dari atap didapat dari warna alami sirap yaitu hitam pudar. Warna hijau digunakan pada lisplang sementara pada dinding. Pada atap tingkat ketiga terdapat ukiran pada ujungnya.

Seperti masjid kuno lain di Nusantara, Masjid Shiratal Mustaqiem memiliki menara. Bangunan menara ini juga merupakan bangunan asli yang masih berdiri. Menara ini dibangun atas bantuan Henry Dasen, seorang saudagar kaya berkebangsaan Belanda pada tahun 1901. Ia memberikan sejumlah hartanya untuk pembangunan menara masjid berbentuk segi delapan yang mengecil pada bagian ujungnya, setinggi 21 meter.

Ketinggian itu melambangkan ‘Sifat Dua Puluh’ Allah, ditambah satu sifat yang tak terbatas. Belakangan Henry Dasen memeluk agama Islam, dan berganti nama menjadi Muhammad Dasen. “Tahun lalu keturunan Dasen datang ke masjid ini. Dan salat di shaf depan masjid,” ujar Haji Sofyan.

Pembangunan masjid memakan waktu cukup lama untuk menyelesaikannya sampai 10 tahun. Pada tanggal 27 Rajab 1311 Hijriyah (1891 Masehi), pembangunan masjid akhirnya rampung dan diresmikan oleh Sultan Kutai Aji Muhammad Sulaiman yang sekaligus didaulat menjadi imam salat untuk pertama kalinya yang diselenggarakan di Masjid Shiratal Mustaqiem.

Hingga kini keaslian masjid tetap terjaga. Suatu kali takmir masjid hendak menggeser posisi mimbar khatib ke shaf paling depan. Rencana itu batal setelah sang takmir bermimpi didatangi seorang nenek yang meminta tak ada penggeseran mimbar khatib.

Semua penjagaan atas keaslian masjid dan pernak-perniknya berbuah manis. Pada 2003, Masjid Shiratal Mustaqiem Samarinda ini meraih anugerah sebagai peserta terbaik kedua di Festival Masjid Masjid Bersejarah Se-Indonesia yang diselenggarakan oleh Dewan Masjid Indonesia. Pada posisi pertama yakni Masjid Agung Demak yang didirikan Wali Sembilan di Tanah Jawa.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button