Market

Ekonomi Indonesia tak Baik-baik Saja, DPR Minta Pemerintah Jujur dan Lakukan Ini


Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah menyebut pemerintah selaku pemangku kebijakan seharusnya tak perlu berbohong dengan menyebut, ekonomi Indonesia saat ini ‘sedang baik-baik saja’.

“Saya benar-benar mengharapkan pemangku kebijakan untuk tidak membuat komunikasi publik, bahwa kita sedang baik baik saja. Sampaikan keadaan seobyektif mungkin, agar rakyat sejak dini bisa bersiap menghadapi segala kemungkinan, dan bersatu padu,” ujar Said dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (18/6/2024).

Ia pun membeberkan tujuh cara yang perlu disimak para pemangku kebijakan fiskal dan moneter, guna memperkuat kebijakan struktural perekonomian nasional.

Pertama, kata dia, pemerintah harus memastikan tata kelola devisa, terutama devisa hasil ekspor sumber daya alam berjalan optimal untuk memperkuat cadangan devisa.

“Berikan kebijakan insentif dan sanksi yang sepadan untuk menopang tata kelola devisa nasional. Kedua, terus melakukan reformasi pada sektor keuangan agar lebih inklusif, dan mendorong aliran modal asing semakin tumbuh,” tuturnya.

“Sebab aliran masuk investasi portofolio kembali positif pada triwulan II 2024 secara neto tercatat sebesar 3,3 miliar dolar AS. Artinya peluang ini perlu terus dijaga oleh pemerintah dan BI,” ujar dia menambahkan.

Kemudian ketiga, pemerintah harus memperketat kebijakan impor, terutama pada sektor yang makin menggerus devisa dan memukul sektor industri, serta tenaga kerja.

“Importasi hendaknya difokuskan sebagai kebijakan jangka pendek, untuk menambal defisit pangan dan energi yang terus berlanjut,” ucapnya.

Said mengatakan, pemerintah perlu memastikan SBN sebagai instrumen yang menarik bagi investor asing, dengan yield yang moderat agar tidak menjadi beban bunga.

Ia menambahkan, pemerintah juga perlu memastikan stand by buyer untuk SBN, sebab SBN telah menjelma menjadi sumber pembiayaan penting bagi kelangsungan APBN.

Said menyebut pemerintah mesti memperluas dan makin kreatif untuk menopang kebutuhan pembiayaan, di tengah likuiditas nasional dan global yang makin ketat dan terbatas.

Caranya, tutur dia, dapat melibatkan berbagai organisasi masyarakat dan asosiasi pengusaha yang menghimpun likuiditas besar, ikut berpartisipasi dengan saling menguntungkan.

Selain itu, ia menilai Bank Indonesia (BI) juga perlu memastikan kebijakan mengurangi USD sebagai pembayaran internasional, sesegera mungkin dapat diandalkan, sehingga ketergantungan kita terhadap USD perlahan lahan bisa di kurangi.

“(Terakhir), Pemerintah dan BI perlu antisipasi kebutuhkan likuiditas valas terhadap kebutuhan pembayaran utang pemerintah, BUMN dan swasta dengan meningkatkan kebijakan hedging, agar tidak makin membebani sektor keuangan,” tutur dia.

Back to top button