Market

Ekonom Wanti-wanti Pemerintah dan BI Soal Ancaman Stagflasi AS

Ekonom mewanti-wanti pemerintah dan Bank Indonesia untuk mengantisipasi potensi terjadinya stagflasi di Amerika Serikat (AS) yang menyeret negara adidaya itu ke jurang resesi. Meskipun, ancaman tersebut untuk saat ini masih terhitung jauh.

“Untuk 2023, stagflasi tetap harus pemerintah antisipasi dari sekarang. Sebab, bagaimanapun ketidakpastian akan selalu ada. Stagflasi adalah kondisi kekhawatiran di luar. Tapi, itu bisa menular ke dalam negeri. Tetap harus ada Langkah-langka yang perlu pemerintah lakukan untuk mengantisipasi itu,” kata Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia kepada Inilah.com di Jakarta, Senin (20/6/2022).

Ia mengatakan, stagflasi memang dikhawatirkan terjadi di Amerika Serikat (AS). “Sebagian kalangan sudah memperkirakan, mungkin hal itu tidak terjadi di tahun ini. Meski bukan tahun ini, tahun depan itu merupakan ancaman yang tetap harus diantisipasi,” katanya.

Ancaman stagflasi di AS mencuat setelah Bank Sentral AS, The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya (FFR) sebesar 75 basis poin dan potensi kenaikan agresif pada pertemuan-pertemuan bank sentral berikutnya untuk memerangi inflasi.

Sejumlah Data Ekonomi AS Memburuk

Kenaikan suku bunga itu terjadi di tengah memburuknya sejumlah data dan indikator ekonomi AS.

Salah satunya adalah Housing Market yang mulai cooling down. Begitu juga dengan data Housing Starts dan Pengajuan KPR (Mortgage Application) yang menunjukkan penurunan. Pada saat yang sama, Consumer Sentiment juga sudah turun ke level terendah dan Jobless Claims mulai menunjukkan tren kenaikan.

Pada saat yang sama, harga minyak mentah belum menunjukkan tanda-tanda turun di bawah level US$100 per barelnya. “Kondisi ekonomi Amerika selangkah lagi masuk ke jurang resesi,” ungkap Kepala Riset MNC Sekuritas Edwin Sebayang.

Stagflasi adalah kondisi di mana pertumbuhan ekonomi sangat rendah bahkan terkontraksi yang terkombinasikan dengan inflasi yang tinggi. “Ini persis seperti terjadi di Indonesia saat krisis moneter 1998,” kembali Faisal menjelaskan.

Saat itu, lanjut Faisal, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di level minus 13%. Sementara inflasi, sangat tinggi hingga mencapai 78%. “Kalau kondisi sekarang, peluang untuk mencapai stagflasi masih kecil kemungkinannya di Indonesia,” ungkap dia.

Pasalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini masih positif. “Yang terakhir, ekonomi masih bertumbuh di atas 4%,” tuturnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, ekonomi Indonesia pada triwulan I 2022 ketimbang periode yang sama 2021 tumbuh sebesar 5,01% secara tahunan.

Sementara inflasi, ungkap dia, memang angkanya meningkat jauh ketimbang kondisi di masa-masa pandemi dalam dua tahun terakhir, 2020-2021. “Tapi, tingginya pun saya rasa tidak akan sampai ke level di atas 5%,” timpal Faisal.

Terkendalinya inflasi, menurut dia, lantaran subsidi yang mengena terhadap masyarakat alias menyangkut hajat hidup orang banyak masih pemerintah pertahankan. “Contohnya, subsidi tarif listrik, hanya listrik 3.500 volt-ampere (VA) ke atas yang naik,” ujarnya.

Begitu juga dengan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite yang pemerintah pertahankan di Rp7.650 per liter. Hal serupa terjadi dengan LPG 3 kilogram yang juga harganya pemerintah pertahankan. “Jadi, kalau itu konsisten pemerintah lakukan, inflasinya tidak akan lebih dari 5%,” ucapnya tandas.

Bahkan, kata dia, inflasi di atas 5% pun masih terhitung jauh dari kategori stagflasi. “Level ini bukan tidak tinggi tapi masih berada dalam rentang target pemerintah dan Bank Indonesia,” ungkap Faisal.

Perlu Kombinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter yang Serasi

Lebih jauh Faisal menekankan pentingnya kombinasi kebijakan fiskal dan moneter untuk mengantisipasi ancaman stagflasi itu. “Intinya, kebijakan moneter harus mempertimbangkan kondisi ekonomi domestik. Pada saat yang sama, kebijakan fiskal harus pro untuk meningkatkan konsumsi domestik,” ujarnya.

Sebab, proyeksi pertumbuhan ekonomi global mengalami pelambatan. Artinya, kondisi eksternal tidak terlalu kondusif sehingga ekonomi domestik harus diperkuat. “Harus ada bauran yang serasi soal fiskal dan moneter,” tuturnya.

Arah moneter global ke depan, kata Faisal, adalah mengetat sehingga kebijakan fiskal dan moneter di dalam negeri pun sudah cenderung ketat ketimbang 2020-2021. “Saat itu, pemerintah jor-joran dengan program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional). Sekarang, target defisitnya pun kembali menuju defisit fiskal 3%,” papar dia.

Kebijakan moneter BI, kata dia, juga merespons kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS The Fed. Kenaikan suku bunga The Fed biasanya diikuti dengan kenaikan suku bunga BI. “Sekarang, BI belum menaikkan suku bunga acuan, meski The Fed sudah menaikkannya,” ucapnya.

Faisal mewanti-wanti agar BI hati-hati dalam mengeluarkan kebijakan moneter yang pro-growth (propertumbuhan) di dalam negeri. “Meskipun GWM (Giro Wajib Minimum)-nya sudah naik. Artinya, BI sangat hati-hati untuk mengetatkan kebijakan moneternya,” tuturnya.

Pada saat yang sama, pemerintah mempertahankan untuk terus mengucurkan subsidi. “Barang-barang disubsidi agar harganya tetap atau tidak naik. Pemerintah menyerap itu. Artinya, secara keseluruhan ada tren pengetatan fiskal, tapi paling tidak yang sangat sensitif seperti tadi (berbagai subsidi) harus pemerintah jaga,” papar Faisal.

Ia menegaskan, bauran kebijakan fiskal dan moneter sangat dibutuhkan. Kalau tidak sinergis, BI juga akan kesulitan mengelola suku bunga acuannya.

Faisal mencontohkan, BI ingin mempertahankan suku bunga acuan dengan syarat inflasi harus terkendali. Akan tetapi, kalau inflasi tidak terkendali dan kebijakan fiskal tidak propertumbuhan, suku bunga acuan tetap akan terpaksa naik.

Kebijakan fiskal yang tidak propertumbuhan, antara lain kenaikan harga Pertalite yang pemerintah biarkan. Begitu juga dengan kenaikan harga energi secara umum.

“Jadi, fiskal tidak pro terhadap itu, ya akhirnya nanti, terpaksa BI harus menaikkan tingkat suku bunga untuk mengendalikan inflasi. Akhirnya, dua-duanya itu jadi mengikat,” imbuhnya seraya menilai, per saat ini, bauran kebijakan fiskal dan moneter masih cukup baik.

Back to top button