Kanal

Dolar Sepuluh Ribu, Tidak Ditemukan Alias “Not Found”

Disinilah politik kutak-katik keuangan pemerintah. Dalam ekonomi yang sulit, mereka tidak membuat kebijakan yang langsung memaksimalkan kesejahteraan rakyat. Siapa yang untung dari komoditi dan batu bara karena dolar menguat? Itu hanya dinikmati segelintir orang saja.

Oleh: Dr Syahganda Nainggolan (Sabang Merauke Circle)

Berbagai musyawarah rakyat (Musra) untuk mendukung perpanjangan masa jabatan Jokowi masih terus berlangsung. Belum ada lagi yang meneruskan isu rupiah meroket dan 1 dolar menjadi sepuluh ribu rupiah dari pendukung Jokowi. Musra mungkin memandang urusan dolar versus rupiah sudah masa lalu, tidak ditemukan alias not found.

Persoalan rupiah versus dolar ini dulunya menjadi andalan pendukung utama Jokowi untuk meyakinkan rakyat Indonesia dan rakyat dunia, bahwa jika Jokowi presiden maka dolar akan melemah terhadap rupiah, dari posisi saat itu (2014) yang hampir mencapai Rp. 12.000 per dolar menjadi Rp. 10.000,- Tidak tanggung-tanggung pernyataan ini dikeluarkan oleh berbagai bankir maupun ekonom dari lembaga keuangan (securities) ternama. Di mata mereka Jokowi adalah lelaki tangguh, yang bisa memulihkan ekonomi Indonesia.

Tempo dalam “Jokowi Jadi Presiden, Rupiah Bisa Tembus 10 Ribu” ( 24/2/2014), misalnya, mengemukakan argumen yang dinyatakan seorang ekonom perusahaan keuangan. Jika Jokowi presiden, maka stabilitas politik menguat, kepercayaan investor menguat, investasi akan masuk banyak, perekonomian membaik dan konsekuensinya rupiah terapresiasi terhadap dolar.

Beberapa ekonom itu, kemudian hari, memberi alibi bahwa dolar tidak menjadi Rp. 10.000, karena faktor konstanta atau variabel yang diasumsikan konstan dalam pembuatan model ternyata berubah. Ini adalah alibi yang gampang. Padahal, setelah krisis ekonomi 2008, seluruh manusia di dunia meminta para bankir dan profesional terkait institusi keuangan, untuk memperbaiki moralitas. Jangan asal ngomong alias asbun. Sebab, tahun 2008 terbukti mayoritas mereka adalah pembohongan dan merugikan nasabah, tapi senang berpesta-pesta.

Dolar versus rupiah bukanlah satu-satunya indikator untuk menilai kehebatan Jokowi. Indikator ekonomi lainnya seringkali didengungkan, seperti pertumbuhan ekonomi, produk dimestik bruto (GDP), cadangan devisa, neraca perdagangan, tax ratio, rasio utang terhadap PDB, tingkat inflasi, tingkat unemployment  dan lain-lain.  GDP per kapita merupakan indikator utama. Jika pertumbuhan ekonomi (GDP) bagus, maka dikatakan ekonomi masih baik.

Sebenarnya semua indikator ekonomi tidak dicapai Jokowi. Indikator utama, pertumbuhan ekonomi, malah jauh di bawah target Jokowi rata rata  7% selama periode pertama, yakni hanya rata rata 5,04%.

Tapi, rezim Jokowi menjelaskan hal itu terjadi karena masalah regulasi dan institusi. Bambang Bojonegoro, kepala Bappenas kala itu mengatakan, “Untuk melihat apa penyebab lambatnya pertumbuhan tersebut kami melakukan yang namanya diagnosa pertumbuhan, dan ternyata faktor pertama dalam ekonomi Indonesia yang menghambat pertumbuhan adalah masalah regulasi dan institusi,” (CNBC Indonesia, 9/7/19). Alasan lainnya adalah perlambatan ekonomi dunia, serta perang dagang Amerika-China.

Sedangkan pertumbuhan ekonomi era Jokowi jilid dua, karena pandemi, wajar dicarikan alasannya, yakni pandemi Covid itu sendiri. Namun, Jokowi tetap mengklaim keberhasilan dan keberhasilan, karena kemudian angka itu di relativisir pada negara-negara lainnya, yang pertumbuhannya buruk.

Kebanggaan Jokowi dan rezimnya saat ini adalah catatan pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5% atau 5,4% pada kuartal ke 2 tahun ini. Bahkan, sangat bangga dengan istilah Indonesia adalah “bright spot” yang disebutkan IMF, merujuk pada Indonesia yang masih bercahaya di antara badai krisis yang melanda dunia. Bahkan, selanjutnya Jokowi yakin Indonesia akan tetap tumbuh 5% atau lebih ketika badai krisis benar-benar datang tahun depan.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini, yang masih diklaim baik, sebenarnya tertolong oleh naiknya harga komoditas, khususnya batu bara dan minyak goreng. Secara volume, ekspor kita pada beberapa bulan terakhir volumenya sama, namun karena harga tinggi, keuntungan terus tinggi.

Ini yang disebut wind fall profit. Sri Mulyani meyakini bahwa tahun ini penerima negara dari wind fall komoditi ini sebesar Rp279 triliin, naik dari Rp 117 triliun tahun lalu (liputan6.com, 16/8). Uang ini menurut Sri Mulyani untuk bantalan subsidi dalam APBN kita.

Kenaikan harga yang tinggi tentunya diuntungkan oleh adanya penguatan dolar atau depresiasi pada rupiah. Dalam teori inflasi, akibat dolar versus rupiah itu, menciptakan total permintaan atas komoditi, baik ekpor maupun lokal, meningkat, sehingga menciptakan inflasi di dalam negeri, karena harga di sini juga meroket. Hal itu terjadi ketika harga minyak goreng beberapa waktu lalu tidak terkendali meroketnya. Begitu juga batubara.

Dolar yang tinggi juga mengakibatkan harga BBM dalam negeri naik. Terutama karena asumsi harga BBM dalam APBN sebelumnya jauh di bawah harga yang kini terjadi.

Lalu, apakah uang wind fall dari komoditi bersifat subtitusi terhadap kenaikan harga BBM? Faktanya harga BBM yang naik dibebankan kepada rakyat, sedangkan keuntungan dari komoditi digunakan untuk bukan hanya subsidi, tetapi juga untuk infrastruktur seperti IKN, kereta api cepat, dan lain-lain.  Sehingga, rakyat langsung menanggung beban inflasi dan kesulitan hidup, sementara pemerintahan masih aman dengan uang APBN mereka.

Disinilah politik kutak-katik keuangan pemerintah. Dalam ekonomi yang sulit, mereka tidak membuat kebijakan yang langsung memaksimalkan kesejahteraan rakyat. Siapa yang untung dari komoditi dan batu bara karena dolar menguat? Itu kita bisa ketahui hanya dinikmati segelintir orang saja. (Lihat “Indonesia commodity stocks benefit from high prices”, asiafundmanagers. com). Memang rakyat menerima subsidi, ala kadarnya. Tapi bagaimana kalau seluruh batubara dan perkebunan dimiliki negara atau rakyat sebagimana Pasal 33 UUD 45? Pasti harga BBM tetap murah dan listrik serta gas juga murah.

Di Inggris, misalnya, transparansi keuangan, baik sumber dan penggunaannya langsung harus diketahui rakyat. Liz Truss harus mundur dari Perdana Menteri Inggris beberapa hari lalu karena tidak menyebutkan darimana dia mengganti uang APBN ketika membuat kebijakan pengurangan pajak.

Liz Truss, hanya menjabat 45 hari, atau tepatnya 44 hari. Di Inggris, Truss gagal meyakinkan rakyatnya dalam mengelola ekonomi. Truss menjanjikan pemotongan pajak bagi orang-orang kaya, khususnya pengusaha yang menerima wind fall profit dari harga energi dan menjanjikan “mini budget” ketika rakyat membutuhkan subsidi karena harga-harga melambung.

Truss yakin dengan prinsip pertumbuhan yang tinggi dan pajak yang rendah. Dalam CNN Internasional, (17/10/22), Truss mengatakan “Truss said she still believed in the “high growth, low tax” formula she campaigned on to win the Conservative Party leadership in early September — but said she recognized the UK was facing “very difficult circumstances at the moment“.

Ketika rakyat sulit, pemimpin yang tidak mampu meyakinkan rakyat langsung mundur. Sebelum perdana menteri mundur, dua menterinya, termasuk menkeu, sudah mundur atau dipecat. Dalam suvei You.Gov, kesukaan publik terhadap Truss minus 70%, sebagaimana dilansir Washington Post, (20/10/22). Mereka adalah masyarakat dengan high-trust level society, jabatan bukan segalanya.

Apakah ada urusan dolar di Inggris itu? Tentunya, karena cerminan keterpurukan Inggris tergambar dari hancurnya nilai mata uang mereka, Poundsterling, terhadap dolar.

Penutup

Kita tidak akan pernah mencapai cita-cita pendukung Jokowi bahwa 1 dolar akan menjadi Rp. 10.000 jika Jokowi presiden. Sekarang dolar sudah meroket tajam dan rupiah nyungsep. Catatan terakhir hari kerja minggu lalu, satu dolar sudah mencaipai Rp. 15.600,-

Perang Rusia-Ukraina mendorong harga-harga komoditas dan energi naik tajam. Beberapa pengusaha Indonesia menjadi super kaya raya sekali. Wind fall profit. Juga karena dolar semakin kuat terhadap rupiah. Pemerintah menerima tambahan pajak, yang diasumsikan meningkat menjadi Rp279 triliun dari Rp117  triliun (2021).

Sayangnya rakyat tidak menerima keuntungan apapun dari situasi ini, kecuali subsidi yang terbatas. Sedangkan beban rakyat terjadi, dolar mengakibatkan BBM naik, mie instan naik, tahu tempe naik, spare part naik, bunga kredit naik,  yang intinya biaya hidup makin sulit. Belum lagi PHK massal terjadi karena banyaknya perusahaan gulung tikar.

Namun, pemerintah, karena masih mengklaim keberhasilan, dari aspek adanya pertumbuhan dan pernyataan IMF tetang bright spot of global economy, masih berbicara dalam bahasa yang sama. Seolah-olah tidak ada ancaman serius. Semua tentang infrastruktur, IKN, Kereta Api Cepat dan lain lain.

Padahal, dengan hancurnya nilai tukar rupiah, yang berlangsung lama, sudah memperlihatkan ketangguhan Jokowi tidak pernah terjadi.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button