Market

Dikepung Oligarki, Indonesia Pasti Bangkrut tanpa Sumbangan Daerah

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Prof Anthony Budiawan mengandaikan, jika tidak ada kontribusi dari daerah, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sudah bangkrut.

Dikutip Senin (9/5/2022), Prof Anthony mengatakan, meski daerah punya peran besar dalam menopang eksistensi Indonesia, faktanya, pemerintahan menjalankan pembangunan di daerah berbasiskan eksploitatif. Ini jelas melanggar kedaulatan daerah dan melanggar konstitusi.

Dahulu, jelas Prof Anthony, tak ada yang namanya Indonesia. Yang ada adalah Hindia Timur yang kemudian diakui sebagai Hindia Belanda. “Lalu pada 1928, para pemuda dari seluruh daerah menyatakan sumpah bersatu atas nama Indonesia. Puncaknya, pada 1945 perwakilan daerah-daerah sepakat mendirikan Indonesia. Jadi, Indonesia ini didirikan oleh kumpulan daerah,” terang Prof Anthony.

Tujuan dibentuknya Indonesia adalah untuk memajukan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dan perdamaian dunia dan keadilan sosial.

Pada awal kemerdekaan dan ekonomi sulit, daerah merupakan penyandang dana bagi pembangunan Indonesia. Selanjutnya, pada 1950-an, Anthony menyebut, ekonomi Indonesia bergantung pada sektor perkebunan, khususnya karet. Saat itu, Indonesia merupakan produsen karet terbesar di dunia.

“Dari total ekspor, ekspor karet itu mencapai 60 persen. Sisanya merupakan ekspor komoditas mineral. Dari sana kita bisa lihat bahwa daerah-lah yang sesungguhnya membiayai kemerdekaan Indonesia,” tandasnya.

Kala itu, Sumatera bagian Selatan dan Timur merupakan daerah penghasil karet terbesar di Indonesia. Namun kejayaan karet tak berlangsung lama. Pasalnya, dekade 1960-an harga karet alam anjlok dan Indonesia mengalami kebangkrutan.  “Cadangan devisa turun dari US$293,75 juta pada 1960 menjadi hanya US$2 juta pada 1967,” papar dia.

Selanjutnya, perekonomian Indonesia pulih dan kembali bangkit berkat minyak dan gas bumi (migas). Ditopang keduanya, cadangan devisa kembali naik menjadi US$1.90,5 juta pada 1974, kemudian melonjak US$5.014,2 juta pada 1981.

Sedangkan ekspor minyak bumi naik dari US$384 juta pada tahun 1969-1970 menjadi US$18.824 juta pada tahun 1981-1982 atau mencapai sekitar 82 persen dari total ekspor Indonesia.

“Penerimaan negara dan minyak bumi dan gas alam naik dari Rp65,8 miliar pada tahun 1969-1970 menjadi Rp8.627,8 miliar pada tahun 1981-1982 setara dengan 70,6 persen dari total penerimaan negara. Itu belum termasuk penerimaan negara dari mineral. Hasil komoditas, migas dan mineral digunakan untuk kesejahteraan rakyat,” jelas Prof Anthony.

Daerah penghasil migas terbesar terbentang dari Sumatera Selatan, Sumatera Timur, Sumatera Utara, Aceh, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan hingga Maluku dan Papua.

Dipaparkan Anthony, penjualan migas dan mineral dari daerah digunakan untuk pembangunan Indonesia seperti prasarana dan sarana, pembangunan sekolah, universitas, puskesmas, rumah sakit, jalan raya, bendungan, irigasi, pelabuhan dan lain sebagainya. “Daerah tampil sebagai pahlawan penyelamat keuangan negara, penyelamat Indonesia,” urainya.

Namun, tambah dia, pada era Reformasi yang terjadi justru bangkitnya oligarki dengan konsep pembangunan yang eksploitatif dan melanggar kedaulatan daerah. Saat itu, ekspor batubara melesat dari US$1,3 miliar pada tahun 1999 melesat menjadi US$25,5 miliar pada tahun 2011. Total ekspor batubara mencapai Rp245 miliar selama periode 2000-2019. Begitu juga dengan sawit yang naik dari US$1,1 miliar pada tahun 1999 menjadi US$17,3 miliar pada tahun 2011.

“Hasil kekayaan sumber daya alam (SDA) tersebut dinikmati segelintir pengusaha oligarki. Sedangkan daerah dan rakyat di daerah tidak mendapat manfaat ekonomi, malah mendapat bencana alam. Kondisi ini merupakan pengkhianatan terbesar bagi daerah dan rakyat daerah,” kata dia lagi.

Padahal, daerah telah menyerahkan kedaulatannya, menyerahkan kekayaan SDA-nya untuk membangun Indonesia. Tetapi banyak rakyat di daerah penghasil SDA masih hidup dalam kemiskinan, bahkan kemiskinan ekstrem. [ikh]

 

 

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Iwan Purwantono

Mati dengan kenangan, bukan mimpi
Back to top button