Market

Diganggu Koruptor, Jokowi Gagal Penuhi Kebutuhan Migor Rakyatnya

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan mengapresiasi Kejagung dalam membongkar mafia minyak goreng (migor). Lembaga ini berjasa besar kepada rakyat

Kata Anthony, korupsi izin ekspor CPO ini mempunyai daya rusak sangat serius bagi kehidupan rakyat Indonesia. Minyak goreng tiba-tiba menjadi langka, meneror kehidupan masyarakat hampir di seluruh Indonesia. Terjadi antrian panjang, pembelian dijatah hanya boleh 2 liter per penduduk, dan harus melampirkan KTP dan KK.

“Antrian panjang memerlukan waktu berjam-jam hanya untuk bisa membeli dua liter minyak goreng. Bahkan menurut kabar, dua orang meninggal dunia akibat antrian yang sangat melelahkan,” papar Anthony, Sabtu (23/4/2022).

Sayangnya, pemerintah malah mengambil kebijakan yang merugikan masyarakat luas. Pemerintah membatalkan DMO dan DPO, dan menetapkan harga minyak goreng kemasan mengikuti harga pasar. Alhasil, migor melonjak dari menjadi Rp24.000 hingga Rp28.000 per liter.

“Meskipun minyak goreng curah ditetapkan Rp14.000 per liter, tetapi di beberapa daerah sulit didapat dan sering kali harganya jauh melampaui Rp14.000 per liter,” tandas Anthony.

Pada saat bersamaan, kata dia, penghapusan DMO/DPO, pemerintah menaikkan pungutan ekspor dan bea keluar CPO menjadi US$300 per ton, dengan catatan harga CPO mencapai US$1.500 per ton atau lebih.

“Kedua paket kebijakan ini sangat menyakitkan dan tidak adil, sama saja negara merampas hak rakyat di tengah kesulitan keuangan akibat kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok,” tuturnya.

Dengan terbukanya dan tertangkapnya empat tersangka kasus korupsi ekspor CPO dan pelanggaran DMO/DPO yang mengakibatkan kegaduhan nasional, masyarakat Indonesia dapat melihat jelas betapa serakahnya pengusaha oligarki minyak sawit dan minyak goreng, dan sekaligus mereka tidak mempunyai empati sama sekali terhadap kesulitan masyarakat Indonesia yang sedang tercekik kenaikan harga berbagai kebutuhan bahan pokok.

Kenaikan harga CPO internasional sudah membuat keuntungan pengusaha sawit melonjak drastis, tapi sepertinya tidak pernah cukup. “Mereka tidak rela menjalankan DMO dan DPO untuk meringankan beban ekonomi masyarakat Indonesia, yang berdasarkan konstitusi adalah pemilik negeri ini: bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya wajib digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat,” ungkapnya.

Dengan kata lain, korupsi ekspor CPO ini mencerminkan bahaya pemerintahan oligarki yang bisa mengatur kebijakan pemerintah. “Mereka bisa sangat kejam terhadap rakyat jelata dengan turut menentukan kebijakan publik pemerintah untuk kepentingan kelompoknya. Melakukan ekspor dan melanggar kewajiban DMO dan DPO, yang akhirnya membuat barang di dalam negeri menjadi langka,” tandasnya.

Oleh karena itu, Front Nasional Pancasila Penyelamat Negara menuntut Kejaksaan Agung agar dapat mengusut tuntas kasus korupsi yang sangat tidak manusiawi ini, dan membongkar semua pihak yang terlibat. Kami percaya bahwa keempat tersangka tersebut bukan satu-satunya pihak yang terlibat.

“Kejaksaan Agung wajib mengusut apakah ada pejabat pemerintah dengan wewenang yang lebih tinggi dari Dirjen Daglu yang terlibat. Misalnya Menteri Perdagangan atau Menteri lain yang dekat dengan pengusaha tersebut, yang memberi katabelece dan “menekan” Dirjen Daglu?,” desak Anthony.

Iwan Purwantono

Mati dengan kenangan, bukan mimpi
Back to top button