Kanal

Diam yang Mendatangkan Dosa*

Sayidina Ali bin Abi Thalib menegaskan, kezaliman tak pernah berlangsung tanpa kerja sama antara si keji yang menzalimi dan si papa yang dizalimi. Dengan diam, orang yang tertindas mendukung pelestarian penindasan. Diamnya seluruh bangsa atas penindasan penguasa adalah tonggak utama kezaliman.

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Seringkali dalam kehidupan kita mendengar serangkai kata-kata mutiara yang memuji siap diam. “Diam adalah emas” adalah kalimat tua yang kita dengar sejak kecil. Begitu mendunianya kepercayaan akan hal itu hingga saat dewasa kita menemukannya sebagai salah satu judul cerpen sastrawan Rusia, Anton Chekov.

“Bicara itu perak, diam itu emas,” kata filsuf dan sejarahwan Inggris, Thomas Carlyle. “Diam itu sumber kekuatan yang besar,”kata filosof Cina, Lao Tze.  “Diam adalah tidur yang memelihara kebijaksanaan,”kata filsuf abad pertengahan Inggris, Sir Francis Bacon.

Imam Al-Ghazali banyak sekali menyebut keburukan berbicara dan keutamaan diam. Diam, menurut beliau, adalah salah satu tanda orang yang memperoleh hikmat.  “Jika kata tak lagi bermakna, lebih baik diam saja,”kata lirik sebuah lagu Iwan Fals.

Bahkan Nabiullah Muhammad SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, “Waman kaana yu’minu billahi wal yaomil akhir, fal-yaqul khairan au liyashmut”– Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” [HR Bukhari]

Namun, pengalaman dan common sense kita pun menyatakan tidak semua diam itu emas. Ada diam yang justru mendatangkan dosa. Diam yang merupakan sikap sampah dan menyembunyikan kebusukan.

Setidaknya ada empat diam yang justru menjadi dosa.  Pertama, Anda diam ketika kemungkaran dilakukan terang-terangan di depan Anda. Nabi SAW menyebut salah satu yang dilaknat Allah adalah suami yang diam melihat istrinya berbuat maksiat. Tentu maksud Nabi pun meliputi sebaliknya, istri yang diam melihat suaminya berbuat dosa.

Al-Quran menyebut laknat yang ditimpakan kepada Bani Israil melalui lidah Dawud AS dan Isa AS karena kaum Yahudi itu diam dalam budaya kemungkaran di antara mereka: “Mereka satu sama lain tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat.”  [QS Al Maidah: 79]. Salah satu kemungkaran yang dibiarkan Bani Israil waktu itu adalah kezaliman dan penindasan atas sesama manusia (exploitation de l’homme par l’homme).

Sayidina Ali bin Abi Thalib menegaskan, kezaliman tak pernah berlangsung tanpa kerja sama antara si keji yang menzalimi dan si papa yang dizalimi. Dengan diam, orang yang tertindas mendukung pelestarian penindasan. Diamnya seluruh bangsa atas penindasan penguasa adalah tonggak utama kezaliman.

Ali bin Hussein, cucu Ali bin Abi Thalib, berdoa, “Ya Rabbi, ampuni aku bila di sampingku ada orang yang dizalimi dan aku diam.” Diam di sini dapat berarti izin, seperti diamnya seorang perempuan ketika dipinang, atau diamnya aparat hukum ketika seorang yang berkuasa melakukan pelanggaran. Mengizinkan kezaliman sama besar dosanya dengan melakukan kezaliman itu sendiri.

Kedua, diam itu dosa jika berkenaan dengan informasi yang diperlukan masyarakat. Rasulullah SAW berkata, “Jika seorang alim (pemilik informasi, pemilik ilmu) ditanya, lalu ia (diam) menyembunyikan informasinya itu, ia akan dibelenggu dengan belenggu api neraka.” Berdosalah seorang berilmu yang diam, tidak mengajarkan ilmunya; jahatlah seorang yang tahu jalan yang tidak mau memberikan petunjuk; atau seorang yang melihat kebusukan dan tidak melaporkannya.

Ketika para ulama, cendekiawan, dan orang-orang pintar diam melihat kerusakan dalam skala Titanic melanda negeri demi kepentingan sesaat, mereka ikut bertanggung jawab jika kapal besar yang membawa 280-an juta warga ini pada akhirnya tenggelam.

Ketiga, diam yang dosa adalah tidak mau berbicara selama tidak berkaitan dengan keuntungan dirinya. “Tahukah kalian,” kata Maulana Jalaluddin Rumi kepada para pengikutnya, “mengapa Alquran menyebut: … Sesungguhnya suara yang paling buruk adalah suara keledai?” sebagaimana Quran Surat Luqman:19.

Dahulu, menurut Maulana Rumi, ketika semua makhluk diciptakan, mereka diberi kemampuan mengeluarkan suara. Ketika suara mereka keluar pertama kalinya, semua makhluk memuji dan mengagungkan Allah, kecuali keledai. Keledai hanya mau bersuara, jika lapar atau ingin memuaskan nafsunya.

Banyak orang seperti keledai. Dunia boleh bergejolak, gempa melanda, banjir menerjang, orang-orang kelaparan. Mereka diam. Masyarakat boleh resah: jutaan orang kehilangan pekerjaan karena PHK krisis ekonomi dan pandemi, jutaan bayi mati karena kurang susu. Mereka diam. Begitu dihadapkan pada persoalan gaji dan tunjangan mereka sendiri, baru orang-orang ini angkat bicara.

Ada juga orang yang bersuara keras, vokal, dan kritis. Di mana-mana ia menjadi singa mimbar. Ia dikenal tak pernah peduli disebut radikal atau radikul sekali pun. Tiba-tiba suaranya hilang. Rupanya ia kini sudah menduduki jabatan basah di tengah-tengah orang yang dahulu dikecamnya. Ternyata, suara kerasnya itu hanya suara keledai. Suara yang keluar karena lapar.

Keempat, diam itu dosa, ketika Anda tidak mengakui kesalahan yang Anda lakukan. Anda melakukan kesalahan yang amat sangat merugikan masyarakat. Orang banyak meminta pertanggungjawaban Anda. Anda diam. Anda menjadi lautan misteri yang isinya tidak terlihat. Anda menjadi patung yang kaku, tanpa ekspresi. Begitu Anda menemukan kambing hitam, Anda berteriak dengan suara yang mengalahkan halilintar.

Janganlah menjadi keledai. Jangan takut bersuara karena membela kebenaran. Ibnu Mas’ud berkata, “Al jamaatu maa wafaqol haqqo wain kuntum wahdaka. Yang disebut jama’ah adalah jika mengikuti kebenaran, walau seorang diri.” [  ]

*Bahan khutbah Jumat di Masjid Imaduddin Abdurrahim, HMI Cabang Bandung, 2 Desember 2022.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button