Kanal

Di Beranda Istana Alhambra (9 – Shalat Jum’at di KBRI)

Iqbal mengajakku untuk Shalat Jum’at di KBRI yang berada di pusat kota Madrid. Shalat Jum’at dilaksanakan di Musholla As Salam yang berada di lantai dasar dari bangunan 6 lantai yang menjadi kantor KBRI Madrid. Jama’ah yang hadir hanya sekitar 12 orang, dan sebagian besar merupakan staf KBRI.

Uniknya khotbah dan Shalat Jum’at dipancarkan secara online dan real time oleh Takmir dengan menggunakan HP biasa. Aku bertanya pada Iqbal: “Untuk apa disiarkan seperti itu ?”.

Mungkin anda suka

1639799702 Picsay - inilah.com

“Selain yang hadir, pelaksanaan Shalat Jum’at di sini, Shalat Jum’at juga diikuti oleh mereka yang karena faktor geografis maupun karena sedang bertugas, sehingga tidak memungkinkan melaksanakan kewajiban Shalat Jum’at di sebuah masjid, maka mereka dapat mengikuti dan melaksanakan Shalat Jum’at di tempat masing-masing, sebagai bagian dari jama’ah dari Musholla As Salam ini. Sejak Pandemi melanda akibat Virus Corona jama’ah online semakin banyak”, jawab Iqbal.

1639799716 Picsay - inilah.com

Hal ini tidak pernah terbayangkan saat kita melaksanakan shalat jum’at di Tanah Air.

Sesudah ibadah Shalat Jum’at selesai, Takmir mengumumkan agar jama’ah tidak meninggalkan tempat, karena Dubes baru akan menyampaikan taaruf atau perkenalan.

Pak Dubes kemudian berdiri di podium, mulai perkenalannya dengan Iftitah atau pembuka dalam bahasa Arab yang terdengar sangat fasih dilafalkannya.

Teman-teman sebelumnya bercerita bahwa Dubes baru ini seorang kader Muhammadiyah dan seorang ustad yang faham bahasa Arab.

Dalam perkenalan singkatnya yang kurang dari tiga menit, Dubes menyampaikan bahwa baginya jabatan duta besar adalah sebuah amanah, selain sebagai sarana untuk mewujudkan idealisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Beliau juga menegaskan bahwa jabatan duta besar baginya juga menjadi sarana untuk melakukan ibadah dalam bentuk kesalehan sosial, dengan kata lain pengabdiannya pada bangsa dan negara selain memiliki dimensi horisontal juga memiliki dimensi fertikal atau spiritual.

Karena itu, ia memohon agar mendapatkan dukungan para jama’ah untuk bisa menunaikan amanah yang diembannya dengan baik. Mampu memberikan pelayanan terbaik bagi WNI yang tinggal di berbagai kota di negara akreditasinya, maupun bagi mereka yang datang untuk menjalankan tugas negara, serta bagi mereka yang sedang berlibur.

Aku skeptis mendengar semua yang disampaikannya. Tanpa kusadari rupanya Iqbal memperhatikan mimik wajahku yang dingin. Saat sudah di dalam bus kota dalam perjalanan kembali pulang, ia memancing dengan melontarkan pertanyaan menyelidik :

“Bagaimana pendapatmu dengan Dubes baru kita?”

“Orang bilang dalamnya lautan dapat diukur, tetapi dalamnya hati politisi siapa yang tahu!”, komentarku dingin.

“Tapi dia kan seorang ustad, kader Muhammadiyah lagi”, dengan nada membela.

“Ustad, pengusaha, guru, dosen, kalau sudah menjadi politisi biasanya berubah, tidak peduli pada partai mana mereka berafiliasi. Mereka hanya sibuk melontarkan janji, kemudian lupa menunaikannya. Setiap bertemu masyarakat selalu menyampaikan janji baru dan begitu seterusnya. Rakyat terus-menerus dikibuli”, kataku skeptis.

“Kau tidak boleh syuudzon!”, kata Iqbal.

“Kalau dengan orang biasa kita harus khusnudzon sampai kita menemukan ada cacat atau keburukan yang pernah dilakukannya. Akan tetapi terhadap politisi kita harus memulai dengan suudzon terlebih dahulu, sampai kita membuktikan bahwa yang bersangkutan benar-benar satu kata dengan perbuatan”, komentarku bergeming.

“Ya kita ikuti dan kita catat nanti semua yang dikatakan dan yang dilakukannya”, kata Iqbal mencoba mencari titik temu.

Tanpa terasa kami sudah sampai di halte bus tempat kami berangkat, dan setelah meninggalkan bus Iqbal berkata:

“Dalam hati aku terus bertanya dan penasaran. Aku cuma dosen biasa di UMY, sementara kau lahir dari keluarga Muhammadiyah, sekolah SD di Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah yang dikelola tokoh-tokoh Muhammadiyah, SMP Muhammadiyah, kemudian menjadi kader Pemuda Muhammadiyah. Biasanya orang cenderung untuk membela kelompoknya tidak peduli benar atau salah”.

“Mungkin saja aku terlihat tidak lazim, bahkan kalau orang mau mengatakan aneh, terserah! Aku tidak peduli”, kataku dengan nada meninggi.

“Kita harus menegakkan kebenaran dan keadilan, tidak peduli apakah berimplikasi merugikan teman sendiri, terkadang juga merugikan diri sendiri. Akan tetapi yakinlah, hal itu akan membawa kebaikan bagi orang banyak. Kita seringkali tergoda untuk mengejar keuntungan pribadi sementara mengabaikan kebaikan bersama, mengejar kenikmatan jangka pendek dan mengabaikan kebahagiaan jangka panjang, cendrung memilih yang mudah atau jalan pintas dalam mengejar tujuan dan menghindari yang sulit. Di dunia ini banyak hal yang tidak terlihat di mata kita, karena itulah kalau kita melaksanakan perintah dan ajaran agama secara ikhlas, maka aku yakin akan membawa kebaikan pada diri sendiri maupun orang banyak, kebaikan jangka pendek maupun jangka panjang, kebaikan di dunia maupun di akhirat kelak”, kataku dengan Panjang-lebar.

“Maaf kok jadi ceramah dan menggurui!”, kataku saat menyadari bahwa Iqbal merupakan seorang dosen senior teladan yang terkenal sangat idealis di kampus.

Iqbal hanya tersenyum mendengarnya, ia kemudian mengangkat tangan kanannya untuk diletakkan di bahu ku, aku tidak tahu apa yang berputar di kepalanya.

Tiga hari kemudian tepatnya pada Senin sore, Iqbal menerima undangan yang dikirim dari KBRI untuk menghadiri diner di Wisma, bersama perwakilan sejumlah komunitas Indonesia yang berada di Madrid. Topik yang tercantum dalam undangan yang dikirim via pesan WA tersebut, untuk sosialisasi dan mendiskusikan program Dubes. Walaupun di berbagai kesempatan telah disampaikan bahwa ukuran kinerja semua dubes diukur dari capaian ekonomi, sementara masalah politik, sosial, dan budaya sebagai penopang dan tidak akan diabaikan. Kehadiran perwakilan masyarakat pada diner kali ini diharapkan untuk memberikan masukan.

“Mau ikut ?, tanya Iqbal yang kurasa hanya sekedar berbasa-basi.

“Untuk apa?”, tanya ku dengan skeptis.

“Untuk silahturahim!, bukankah silahturahim itu menambah rizki dan memperpanjang usia kata Nabi?”, katanya membuat aku tidak berkutik dengan jawabannya kali ini. Tampaknya ia memilih kalimat yang sangat akurat untuk membungkam ku.

Menjelang jam 12 malam, Iqbal kembali ke rumah dengan wajah tidak gembira.

“Benar kan kataku ?”, komentarku dengan nada ngeledek.

“Tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah”, jawabnya bersayap.

“Apa yang kau maksud?”, tanyaku mengejar.

“Penjelasannya normatif dan klise, akan tetapi yang menarik beliau membuka ruang yang sangat lebar terhadap berbagai masukkan dari masyarakat. Kami semua diberi nomor telepon pribadinya, sehingga kita bisa mengaksesnya secara langsung setiap saat. Pada bagian ini aku percaya dengan ketulusan dan kesungguhannya”, kata Iqbal dengan mimik respek.

“Aku melihat semua ini sebagai pintu masuk untuk mu”, katanya melanjutkan.

“Apa maksudmu, aku tak faham?”, tanyaku mengejar.

“Bukankah kau punya gagasan besar? Aku berpikir, bukan mustahil Pak Dubes dengan kekuasaan yang dimilikinya dan fasilitas yang ada di KBRI dapat membantu merealisasikannya”, jawab Iqbal.

Aku terdiam dan menunggu penjelasannya lebih lanjut, akan tetapi Iqbal juga terdiam menunggu responku.

“Sudah malam, yuk kita tidur!”, kataku untuk mengakhiri dialog yang buntu.

Pagi-pagi saat sarapan kami melanjutkan diskusi semalam.

“Aku mulai tertarik dengan idemu semalam”, kataku memulai.

“Persoalannya, bagaimana mengkomunikasikan gagasanku ke beliau ?”, kataku melanjutkan.

“Gampang, susun proposal. Menurut informasi pak Dubes jika tidak ada acara di luar kota selalu Shalat Jum’at di KBRI. Saat itu waktu yang baik untuk kau serahkan”, kata Iqbal memberikan jalan.

“Ah paling basa-basi politik lagi. Saya akan baca, setelah itu tidak ada tindak lanjutnya. Jangan-jangan dibawa atau diserahkan ke ajudan, lalu disuruh buang ke tempat sampah.”

“Kalau kita tidak coba, bagaimana kita tahu kalau beliau akan mendukung atau tidak”, kata Iqbal dengan nada tetap optimis.

“Oh aku punya gagasan, aku akan masukkan kau sebagai khatib Jum’at. Karena aku menjadi salah satu anggota Takmir yang ditugasi mengelola aktivitas Mushala As Salam. Setelah Shalat usai, kau serahkan langsung proposal itu. Dengan cara seperti ini, tentu akan mendapatkan perhatian lebih”, usulnya.

“OK, aku setuju”, jawabku sambil tersenyum.

Iqbal kemudian menjabat erat tangan ku dan menggoyangkannya berkali-kali.

(Bersambung)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Dr. Muhammad Najib

Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO. Penulis Buku "Mengapa Umat Islam Tertinggal?" info pemesanan buku
Back to top button