Market

Di Balik Meroketnya Harga Batu Bara Dunia, Hati-hati PLN Krisis

Di tengah meroketnya harga batu bara akibat perang Rusia-Ukraina, potensi krisis batu bara di PT PLN (Persero) membesar. Aturan DMO perlu ditegakkan.

Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menerangkan, perang Rusia-Ukrania tidak hanya memantik lonjakan harga minyak dan gas (migas), namun juga batu bara. “Pasalnya, Rusia termasuk negara pengekspor batu bara terbesar ke negara-negara Eropa. Kenaikan harga migas mendorong negara-negara Eropa kembali menggunakan batu bara untuk pembangkit listrik, sehingga menaikkan permintaan, yang menyulut kenaikan harga batu bara,” terang Fahmy kepada Inilah.com, Jakarta, Minggu (6/3/2022).

Pada Februari 2022, kata dia, harga batu bara naik hingga 38,22% secara month over month. Sedangkan awal Maret 2022, harga si emas hitam ini, meroket hingga US$446 per metrik ton.

Berbeda dengan kenaikkan migas, kata Fahmy, meroketnya harga batu bara sangat menguntungkan Indonesia. Karena, perolehan devisa naik. Di sisi lain, pengusaha batu bara nasional meraup cuan yang signifikan. “Dengan harga pokok produksi antara US$30-40 per metrik ton, keuntungan besar sudah di tangan pengusaha,” paparnya.

Tak berhenti di situ, kata Fahmy, kenaikan laba yang besar pasti mendorong kenaikan harga saham bagi perusahaan batu bara yang sudah lsiting di bursa. “Dengan kondisi Rusia sedang berperang, ekspor batu bara Indonesia ke pasar Eropa semakin terbuka,” tuturnya.

Hanya saja, kata Fahmy, ekspor batu bara Indonesia tetap harus dikontrol. Kalau tidak, PLN bakal krisis batu bara yang berdampak kepada layanan. Bakal terjadi pemadaman bergilir yang merugikan rakyat. Bisa jadi, roda perekonomian ikut tersendat. “Pengusaha batu bara jangan rakus dalam meraup keuntungan dengan mengekspor seluruh produksinya. Tanpa memasok batu bara ke PLN yang menyebabkan krisis batu bara di PLN, seperti terjadi sebelumnya,” ungkap Fahmy.

Untuk itu, lanjut Fahmy, pemerintah perlu menegakkan aturan Domestic Market Obligation (DMO). Di mana, pengusaha wajib menjual batu bara ke PLN sebesar 25% dari total produksi, dengan banderol harga US$70 per metrik ton. “Kalau pengusaha serakah lalu mengabaikan DMO, maka jadilan PLN krisis batu bara,” ujar Fahmy.

Untuk mencegah pengabaian DMO, lanjutnya, PLN sudah mengembangkan monitoring system yang terintegrasi dengan Kemeterian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Hasil monitoring itu menjadi dasar bagi Kementerian ESDM untuk menetapkan sanksi berupa larangan ekspor, larangan produksi, dan pencabutan izin usaha bagi pengusaha batubara yang tidak memenuhi DMO.

Saat ini bolanya di Kementerian ESDM. Harus berani menerapkan sanksi tegas bagi pengusaha yang abai terhadap ketentuan DMO, tanpa memperdulikan siapa pun pemilik perusahaan batubara tersebut,” tandasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Iwan Purwantono

Mati dengan kenangan, bukan mimpi
Back to top button