Thursday, 04 July 2024

Daya Beli Masyarakat Merosot, Saatnya Suku Bunga BI Turun?

Daya Beli Masyarakat Merosot, Saatnya Suku Bunga BI Turun?


Masyarakat Indonesia semakin kesulitan belanja, akibat merosotnya daya beli. Deflasi pada akhirnya pun terjadi dua bulan terakhir secara beruntun, dari Mei 2024 yang sebesar 0,03 persen secara bulanan atau month to month (mtm) menjadi 0,08 persen pada Juni 2024.

“Jadi deflasi itu indikasi dari daya beli masyarakat menurun,” ucap Ekonom dari Universitas Indonesia, Ninasapti Triaswati, dalam Program Profit CNBC Indonesia, dikutip Selasa (2/7/2024).

Menurut Ninasapti, merosotnya daya beli masyarakat hingga menyebabkan deflasi pun juga turut dikontribusikan oleh kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI Rate yang terus ditahan di level tinggi beberapa bulan terakhir. BI Rate hingga Juni 2024 masih ada di level 6,25 persen dari Maret 2024 sebesar 6 persen.

Dia menjelaskan implikasi dari tren suku bunga kebijakan moneter yang tinggi memang memengaruhi tertahannya laju investasi di sektor riil, hingga akhirnya meredam penciptaan lapangan kerja. Bahkan, juga bisa menyebabkan biaya dana di sektor bisnis semakin tinggi, sehingga mengharuskan efisiensi seperti pemutusan hubungan kerja.

Mengutip Satu Data Kementerian Ketenagakerjaan, pada periode Januari-Mei 2024, memang terdapat 27.222 orang tenaga kerja di Indonesia yang telah terdampak PHK. Dibanding periode yang sama tahun lalu, jumlah korban PHK meningkat 48,48 persen. Sebab, pada catatan Januari-Mei 2023 jumlah tenaga kerja yang terkena PHK 18.333 orang.

“Artinya investasi terhambat jadi tekanan terjadi ke pengusaha dan terlihat dari beberapa kebijakan yang juga tidak terlalu baik untuk pengusaha sudah terjadi PHK, khususnya sektor-sektor padat karya, tekstil, di samping ada juga yang digital,” ucap Ninasapti.

Ia pun menekankan, dengan adanya indikasi-indikasi yang berpotensi memperlambat laju pertumbuhan ekonomi ke depan, biasanya otoritas moneter suatu negara akan mulai menurunkan suku bunga acuannya kembali. Meski kurs rupiah tertekan saat ini, ia mengatakan, BI sudah sepantasnya menurunkan suku bunga acuannya dengan melihat rendahnya tekanan inflasi di dalam negeri.

“Yang jadi catatan buat Indonesia inflasinya sudah sangat rendah dibanding kebijakan suku bunga tinggi,” tegasnya.

“Jadi yang harus dilakukan tentu oleh pemerintah dua hal, menurunkan bertahap suku bunga untuk kebijakan makro, kebijakan mikronya bantu sektor riil dalam arti longgarkan kebijakan-kebijakan penciptaan lapangan kerja sehingga daya beli masyarakat tidak tertekan,” ungkap Ninasapti.

Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Danang Girindrawardana menambahkan, tren kebijakan suku bunga acuan BI yang tinggi selama ini memang telah menekan iklim usaha di dalam negeri. Sebab, biaya pinjaman menjadi sangat tinggi, sehingga pelaku usaha cenderung menahan gelontoran investasinya untuk ekspansi usaha.

“Kan tertinggi ini sepanjang sejarah kita di 6,25 persen dan masih dipertahankan. Artinya kemudian ini juga akan membuat kesulitan bagi korporasi-korporasi dalam rangka investasi, untuk mengkonsumsi bunga kredit yang landing page nya di atas 7 persen sudah,” ujar Danang.

Tekanan suku bunga ini ditambah dengan terus melemahnya nilai tukar rupiah beberapa hari terakhir dalam jangka waktu yang lama, bahkan sempat menyentuh level Rp16.400 per dolar AS. Akibatnya, biaya produksi pun menjadi tinggi beberapa bulan lalu, membuat saat ini hal itu tak lagi mampu diserap masyarakat hingga akhirnya terjadi deflasi sejak Mei.

“Karena komponen-komponen bahan baku dan komponen logistik untuk ekspor juga kebanyakan menggunakan dolar AS. Nah deflasi yang terjadi saat ini terjadi begitu cepat masalahnya. Ini problem yang lain,” ungkap Danang.

Meski demikian, ia mengakui penurunan kebijakan suku bunga acuan tidak akan serta merta memperbaiki iklim industri dan memulihkan daya beli masyarakat. Sebab, masalah yang tengah dihadapi Indonesia menurutnya sangat struktural, yakni semakin tidak berdaya saingnya industri manufaktur RI sampai-sampai kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) kian merosot.

Maka, perbaikannya tak lain adalah dengan fokus melaksanakan pengembangan industri manufaktur, dengan cara memperbaiki regulasi yang mendukung iklim usaha industri manufaktur, khususnya padat karya seperti memperketat masuknya barang impor konsumsi yang sebetulnya bisa diproduksi di dalam negeri.

“Para ekonom sudah sering mengeluhkan hal itu mengingatkan pemerintah, 15 tahun yang lalu pertumbuhan kontribusi manufaktur pada PDB itu di 29 persen, saat ini tinggal 12-16 persen, artinya terjadi proses yang disebut dengan deindustrialisasi itu,” ucap Danang.