News

Data Warga Miskin Tak Valid, Bivitri: Saya Bilang Pemerintah Belum Siap

Belum validnya data jumlah masyarakat miskin yang akan menerima bantuan menjadi sorotan. Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti meminta pemerintah agar membuat data valid terkait jumlah masyarakat miskin yang akan menerima bantuan guna mencegah praktik korupsi penyaluran bantuan sosial (Bansos).

“Saya bilang pemerintah belum siap. Hal itu dapat dilihat dari segi data dan metode dalam memberikan bantuan sosial,” kata Bivitri pada webinar bertajuk “Polemik Pengelolaan Dana Filantropi” di Jakarta, Sabtu (9/7/2022).

Menurut Bivitri, ketidaksiapan tersebut dapat dilihat dari kasus korupsi yang terjadi di Kementerian Sosial dengan pelaku Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Belakangan, kata dia, cukup banyak kritik terkait data yang kurang valid mengenai jumlah masyarakat miskin yang wajib dibantu.

“Sarden tidak layak konsumsi yang merupakan bantuan sosial COVID-19 dan disalurkan Kementerian Sosial adalah contoh dari ketidaksiapan tersebut,” ungkap salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu.

Bivitri meneruskan, pada akhirnya uang negara yang digelontorkan dalam jumlah besar sia-sia. Bahkan, dikorupsi beberapa orang termasuk Menteri Sosial pada saat itu.

Selain menyoroti data yang kurang valid serta metode yang masih dinilai kurang tepat, Bivitri menilai birokrasi di Tanah Air kurang cepat menanggapi masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, bencana alam, dan lain sebagainya.

Bahkan, lanjut dia, berbagai lembaga kemanusiaan atau filantropi lebih sigap menanggapi masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat.

“Sebelum peristiwa ACT meledak, kita melihat kecepatan dari filantropi ini termasuk Dompet Dhuafa, Palang Merah Indonesia (PMI) dan lainnya lebih cepat beraksi membantu masyarakat,” terang dia.

Menurutnya, kecepatan dari lembaga-lembaga kemanusiaan tersebut  karena tidak adanya birokrasi yang panjang sebagaimana di instansi pemerintah.

Lebih jauh Bivitri menyebut panjangnya birokrasi di pemerintah tidak lepas dari keharusan karena adanya kekhawatiran temuan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jika tidak hati-hati.

“Itu benar. Tapi kan birokrasi fleksibel untuk menghadapi persoalan-persoalan yang sifatnya darurat,” tutur Bivitri.

Back to top button