Dahulu, Nusantara, yang dikenal sebagai Indonesia, mengalami pahitnya penjajahan.
Bukan hanya berupa kekerasan fisik, tetapi juga penjajahan ekonomi dan budaya oleh perusahaan dagang bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Mereka datang dengan dalih perdagangan, namun secara sistematis menancapkan kuku kekuasaan lewat dominasi ekonomi, eksploitasi sumber daya, hingga memperbudak pribumi di tanah kelahirannya sendiri.
Kini, lebih dari tujuh dekade setelah kita merdeka, muncul bentuk penjajahan baru yang tak kalah mengerikan. Ia tak berbaju kolonial, tak menenteng senapan, tetapi hadir dalam bentuk aplikasi dan layar ponsel, judi online, yang dikembangkan dari negara luar.
Sejak tahun 2020, usai pandemi COVID-19, judi online menjelma jadi candu baru bagi generasi muda. Mereka bertaruh bukan hanya uang, tapi juga waktu, energi, bahkan masa depan.
Permainan mencocokkan simbol yang terlihat ‘kekanak-kanakan’, nyatanya mampu memorak-porandakan stabilitas ekonomi keluarga.
Judi digital ini menyusup halus lewat algoritma, diselimuti iming-iming kemenangan instan, padahal sistemnya telah dikunci untuk selalu berpihak kepada bandar.
Kita menyaksikan anak-anak muda menjual barang, mencuri, bahkan nekat mengakhiri hidup karena terlilit kekalahan dalam permainan yang sejak awal sudah dimanipulasi.
Ironisnya, negara yang dulu berjuang mati-matian mengusir penjajah kini justru gagap, lamban, bahkan terkesan permisif terhadap penjajahan digital ini.
Penindakan hanya menyentuh kulitnya, memblokir situs, menangkap pelaku kecil, tanpa membongkar sistem besar dan alur uang di belakangnya.
Siapa pemilik bandar? Siapa yang mendapatkan komisi dari putaran kapital ini? Mengapa server tetap hidup, dan akun tetap bisa bertransaksi? Pertanyaan-pertanyaan ini terlalu jarang terdengar dari corong resmi.
Di tengah situasi ini, suara anak muda harus hadir bukan sebagai pengamat pasif, tapi sebagai agen perubahan. Kami percaya, kolaborasi lintas sektor menjadi kunci penting.
Pemerintah, komunitas, akademisi, hingga regulator digital seperti Komdigi harus bersatu untuk melakukan langkah preventif yang nyata dan berkelanjutan.
Tidak cukup hanya dengan kampanye simbolik, tetapi dengan strategi berbasis data, edukasi massif, literasi digital, dan proteksi sistemik terhadap generasi yang rentan.
Komdigi, sebagai entitas yang memiliki otoritas digital, tidak bisa hanya jadi penonton. Ia harus menjadi tulang punggung perlawanan digital terhadap penjajahan digital.
Edukasi publik, regulasi yang progresif, hingga transparansi dalam penindakan perlu dikawal dengan sungguh-sungguh.
Karena hari ini, penjajahan tidak datang dengan bendera asing, ia menyamar lewat ikon buah ceri, angka tujuh, dan tombol “spin”.