Kanal

Akar Rumput Terbelah, PPP Kian Meranggas


Terhempasnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk pertama kalinya dari parlemen sesuai hasil Pemilu 2024 mengagetkan publik. Padahal partai berlambang ka’bah ini pernah mengalami kejayaan pada era awal reformasi. Kini partai ini meranggas gara-gara akar rumput yang terbelah.

Publik politik mungkin masih ingat pada 1997 silam ketika partai ini banyak mendulang suara, salah satu yang fenomenal terjadi di Surakarta. Perolehan suara PPP pada pemilu 1997 di Surakarta sangat spektakuler dengan peningkatan 162,55% dibandingkan pemilu 1992.

Kepemimpinan Mudrick SM. Sangidu menjadi salah satu faktor pendorong. Faktor lainnya, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) saat itu terpecah dua antara kubu Megawati Soekarnoputri dan Suryadi. Kubu Megawati kemudian mengalihkan dukungan kepada PPP yang kemudian dikenal dengan koalisi Mega-Bintang.

Setelah pemilu 1997 itu, PPP sulit mencapai kembali kejayaannya kembali meskipun banyak tokohnya masih mendapat suara untuk mengisi kursi di parlemen. Sampai kemudian berakhir tragis di pemilu tahun ini, PPP tak lolos ambang batas parlemen 4%.

Apa yang Menyebabkan PPP Kehilangan Pemilih?

Perolehan suara partai politik dipengaruhi sikap dan perilaku pemilih. Ada beberapa teori pendekatan yang mendasari sikap pemilih. Misalnya pendekatan sosiologis yang dikenal dengan mazhab Colombia yakni preferensi seseorang terhadap partai politik dipengaruhi status sosial ekonomi, agama, umur, ras, jenis kelamin, dan sebagainya. 

post-cover
Dokumentasi Kampanye PPP (Foto: Antara/Adeng Bustomi).

Ada lagi pendekatan psikologis, dikenal sebagai mazhab Michigan. Misalnya sikap terhadap kandidat atau isu-isu yang berkembang sebelum pelaksanaan pemilu. Pendekatan berikutnya adalah rational choice. Pendekatan ini menurut Muhammad Asfar dalam bukunya ‘Beberapa Pendekatan dalam Memahami Perilaku Pemilih’, Jurnal Ilmu Politik, Gramedia, 1996, bahwa seseorang memilih partai politik berdasarkan perhitungan untung rugi. 

Beberapa pendekatan politik ini, berkontribusi terhadap perubahan suara PPP pada pemilu tahun ini. Ada yang menarik dari penelitian perilaku pemilih oleh J. Kristiadi dalam disertasinya di Universitas Gadjah Mada (UGM) tentang pendekatan socio-cultural. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa perilaku pemilih dipengaruhi pola panutan. Salah satu yang hilang dari PPP adalah ketiadaan sosok panutan. Ini penting apalagi budaya Jawa sangat kental dengan peranan opinion leader alias ketokohan di masyarakat.

Partai ini bahkan sempat terpecah di 2014 menjadi dua kubu yakni kubu Djan Faridz dan Romahurmuziy alias Romy. Parahnya lagi, pada 15 Maret 2019, Romy ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi dalam seleksi jabatan di Kementerian Agama.

Perpecahan juga terjadi pada September 2022. Ketika itu, Muhammad Mardiono ditunjuk sebagai Plt Ketua Umum PPP menggantikan Suharso Monoarfa. Pergantian ini buntut dari kontroversi Suharso soal amplop kiai yang memicu masalah internal. Konflik-konflik di tingkat elite yang sering terjadi di partai ini membuat pandangan publik negatif. Konsolidasi ke daerah-daerah juga terganggu.

Akar Rumput yang Terbelah

Tidak adanya sosok panutan dengan basis massa kuat di level nasional ditambah makin terkikisnya kepercayaan pemilihnya membuat PPP makin ditinggalkan akar rumput. Kebijakan elit menambah blunder bagi partai gara-gara tidak peka dengan kehendak di level bawah. Elit sering memaksakan kebijakan kepada para pendukungnya.

post-cover
Baliho besar PPP bergambar Anies Baswedan terpajang di Jalan Wates, Kecamatan Gamping, Sleman, Yogyakarta. (Foto: Media Sosial X)

Puncaknya terjadi pada pemilu 2024 ini. “Secara elektoral, PPP meniadakan aspirasi grass root yang lebih menghendaki mendukung Anies atau Prabowo,” kata Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro, pekan lalu.

Sudah sejak dua tahun lalu, PPP mengalami gejolak internal setelah munculnya kelompok akar rumput yang ingin mendukung Anies Baswedan menjadi calon presiden. Bahkan ketika itu beberapa simpatisan menginginkan PPP keluar dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN). KIB kemudian bubar usai Golkar dan PAN mendeklarasikan Prabowo Subianto sebagai capres 2024.

PPP kemudian merapat ke PDI Perjuangan di Pilpres 2024 yang mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Harapannya bisa mengulang romantika politik pada Pemilu 1997 di era Mega-Bintang. Pada saat itu faksi pendukung Megawati di PDI mengalihkan dukungan politik dan suara ke PPP akibat tekanan politik pemerintahan Orde Baru. Keputusan ini sepertinya tidak sesuai keingingan kader grassroot yang sejak awal banyak berharap partainya mendukung Anies Baswedan. 

Menjelang kampanye, terlihat beberapa spanduk di daerah menyuarakan dukungan PPP kepada Anies-Muhaimin. Kader dan organisasi sayap PPP dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten sempat menggelar silaturahmi di Purworejo, Jawa Tengah yang secara terang-terangan menyatakan dukungan terhadap Anies Baswedan.

Kepala Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PPP, Sandiaga Uno mengakui adanya perbedaan arah dukungan dari akar rumput partai dalam Pilpres 2024 yang ingin mendukung pasangan Anies-Muhaimin.

post-cover
Momen keakraban PDIP dan PPP saat membahas cawapres pendamping Ganjar Pranowo pada Mei 2023 lalu. (Foto: Antara).

Hanya saja, pihak DPP PPP tidak responsif terhadap riak-riak yang muncul dari kader di bawah. “Mereka hanyalah segelintir pemain lama yang ingin cari panggung saja, orang yang cari perhatian publik saja,” jelas M. Thobahul Aftoni Aftoni, Ketua DPP PPP, mengomentari keinginan akar rumput ini. 

Mereka yang tidak sejalan dengan elit partainya disebut hanyalah orang-orang yang mengaku-ngaku kader menggunakan atribut partai dan bukan pengurus. Bahkan DPP PPP mengancam bakal memecat kader yang tak satu suara mendukung pasangan nomor urut 03.

Akibatnya, dengan mengusung Ganjar-Mahfud serta berkoalisi dengan PDIP sebagai partai nasionalis, PPP kehilangan konstituennya. Padahal, sebenarnya PPP merupakan partai dengan basis massa Islam tradisional yang sudah mengakar kuat.

Hasilnya? Keputusan elit PPP itu menggerus suara pada pemilihan legislatif. Tidak terlihat efek ekor jas kepada partai. Dalam penghitungan akhir Komisi Pemilihan Umum (KPU) Rabu (20/3/2024), PPP memperoleh 5.878.777 suara atau 3,8% suara sah nasional. Dengan hasil itu, untuk pertama kalinya PPP terlempar dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Apa yang terjadi di PPP ini menjadi pelajaran sangat berarti terutama bagi partai-partai Islam yang seringkali mengabaikan suara para kadernya. Kalangan elit merasa paling tahu arah jalan partainya meskipun seringkali sebenarnya hanyalah mengedepankan kepentingan pribadinya masing-masing. Yang lebih parah, elit partai Islam yang malah mengingkari ideologi partainya sendiri. 

Seringkali suara akar rumput lebih jujur dan idealis. Karenanya, aspirasi dari akar rumput bukan hanya harus disiram dan diberi pupuk agar tetap kuat dan berkembang tetapi juga harus diperhatikan dan didengar. Agar akarnya tidak terbelah dan tidak mengakibatkan daunnya meranggas sehingga terhindar dari kematian perlahan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button