Market

Bukti Tak Langsung Dinilai Kurang untuk Jerat Kartel Minyak Goreng

Bukti tidak langsung alias indirect evidence tanpa didukung dengan bukti langsung (direct evidence) dinilai tidak dapat digunakan dalam pembuktian Pasal 5 Undang-Undang (UU) Antimonopoli.

“Apabila tidak ditemukan adanya direct evidence, maka penggunaan indirect evidence harus sangat hati-hati dan didukung oleh analisis plus factor,” kata Ahli hukum persaingan usaha Ningrum Natasya Sirait dalam sidang perkara dugaan kartel minyak goreng yang diselenggarakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) secara daring, Kamis (2/3/2023).

Mungkin anda suka

Ia menjelaskan, penentuan pasar bersangkutan yang tepat merupakan hal yang sangat krusial dalam menangani dugaan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli).

Menurutnya, apabila pasar bersangkutan ditentukan dengan metode yang tidak tepat, maka pasar bersangkutan tersebut bisa menyesatkan dan keliru.

“Bila suatu perkara persaingan usaha tidak didasarkan pada analisis pasar bersangkutan yang tepat dan benar, maka perkara tersebut harus dihentikan dengan alasan mistrial karena ketiadaan unsur terpenting suatu perkara,” ujarnya.

Hal tersebut, sambung dia, untuk membedakan apakah itu hanya merupakan perilaku atau strategi interdependen yang paralel atau merupakan kesepakatan penetapan harga. Apabila analisis plus factor ini tidak dilakukan, maka indirect evidence tidak dapat digunakan sebagai bukti dalam perkara penetapan harga.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara itu menambahkan, indirect evidence hanya merupakan alat bukti petunjuk dalam Pasal 42 UU Antimonopoli, sehingga tidak bisa berdiri sendiri sebagai alat bukti.

Berdasarkan Peraturan KPPU Nomor 1/2019, indirect evidence adalah bukti petunjuk berupa bukti komunikasi dan bukti ekonomi.

“Bukti ekonomi misalnya berupa kenaikan harga bersama, dengan melihat apakah itu disebabkan oleh faktor eksternal atau karena kesepakatan,” jelas Ningrum.

Menurutnya, apabila para pelaku usaha ternyata menggunakan bahan baku yang sama, kemudian ada kenaikan harga bahan baku, otomatis mereka juga akan menaikkan harga. Hal itu bukan karena kesepakatan.

“OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) dalam pedomannya juga sudah memberikan warning agar price parallelism perlu dilengkapi analisa plus factor sehingga tidak keliru,” timpal dia.

Ningrum melanjutkan, indirect evidence berupa bukti komunikasi harus memperhatikan kualitas buktinya. “Selain itu, yang terpenting adalah membuktikan adanya pelaksanaan dari komunikasi tersebut,” tuturnya.

Ia menegaskan, petunjuk yang hanya satu alat bukti dalam perkara kartel tidak dapat berdiri sendiri. Karena itu, harus dilengkapi dengan bukti lain.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU Nomor 5/1999, terdapat lima alat bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian kartel, yaitu  keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/atau dokumen, petunjuk, dan keterangan pelaku usaha.

“Jadi, circumstantial atau indirect evidence itu tidak cukup membuktikan kartel, harus ditambah dengan bukti lain dalam Pasal 42,” ucap Ningrum tandas.

Dalam perkara kartel minyak goreng, KPPU menduga sebanyak 27 perusahaan minyak goreng kemasan (Terlapor) melakukan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c UU Nonmor 5/1999.

Para Terlapor diduga membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan pada periode Oktober-Desember 2021 dan periode Maret-Mei 2022, serta membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari-Mei 2022.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button