Hangout

Bolehkah Nge-prank Anak-anak?

Nge-prank anak-anak jika dilakukan dengan tepat, bisa menjadi interaksi sosial yang baik. Meski demikian, nge-prank terhadap anak-anak harus dilakukan hati-hati agar tidak melukai hatinya dan mengganggu kesejahteraan mentalnya.

Beberapa video di media sosial memperlihatkan trik atau aksi nge-prank terhadap anak-anak. Misalnya nge-prank dengan hantu-hatuan atau menyimpan plastik berisi air di atas kursi. Tentu akan membuat penontonnya tertawa karena kelucuan dan ‘ketertipuan’ si anak oleh orang tuanya. Kebohongan orang tua kepada anaknya bahkan menjadi hiburan dan banyak digemari oleh orang lain.

Orang tua, sadar atau tidak, sebenarnya sering berbohong kepada anak-anak. Misalnya saja memberi tahu mereka bahwa hasil gambar atau apa yang mereka kerjakan luar biasa. Atau mengolesi obat sambil mengatakan ‘tidak akan sakit kok’. Ini tentu dilakukan untuk kebaikan anak secara fisik dan mentalnya. Bagaimana dengan nge-prank?

Bermain trik pada anak-anak memang akan sangat menyenangkan bagi mereka dan juga orang tua. Tetapi ada beberapa aturan untuk memastikan semua orang menikmati lelucon itu tapi juga baik bagi kesehatan mental anak.

Pantaskah anak mendapatkan prank?

Rachael Sharman, Dosen Psikologi Senior di University of the Sunshine Coast dalam tulisannya di The Conversation, mengungkapkan, bermain trik seperti nge-prank pada anak-anak bisa menyenangkan bagi mereka dan juga kita. “Tetapi ada beberapa aturan untuk memastikan semua orang menikmati lelucon itu,” katanya.

Ia menambahkan, dari sudut pandang kognitif, sebuah lelucon pertama-tama melibatkan upaya untuk menanamkan kepercayaan yang salah ke dalam pikiran anak-anak. Misalnya, saya akan duduk dengan aman di kursi padahal ternyata bohong dan nge-prank. Kemudian muncul hal yang mengejutkan dari keyakinan itu dengan scenario yang berbeda dan biasanya konyol, yakni tempat duduk itu ternyata ada tipuannya berupa balon atau plastik berisi air.

Menanamkan keyakinan salah, atau berbohong, membutuhkan ‘teori pikiran’ yang berkembang dengan baik. Teori pikiran adalah kemampuan untuk memahami orang lain memiliki kondisi mental dan perspektif yang berbeda dengan Anda.

Kita ketahui bahwa otak anak-anak sedang mengalami metamorfosis yang luar biasa saat mereka tumbuh. Sebagian besar anak mengembangkan teori pikiran yang dapat dikenali sekitar usia tiga hingga empat tahun.

Di usia sekitar empat hingga lima tahun, anak-anak mungkin mulai berbohong sendiri dan bereksperimen dengan trik atau lelucon mereka sendiri saat mencoba teori pikiran yang baru terbentuk. Jadi, anak-anak di atas usia empat atau lima tahun harus bisa memahami sebuah lelucon, jika Anda telah menyaksikan perubahan dalam kapasitas teori pikiran mereka.

Sebelum sekitar usia 12 tahun ketika lobus frontal mereka mulai bekerja, anak-anak tidak memiliki kemampuan untuk berpikir kritis. Mereka belum dapat menganalisis banyak pilihan, menilai kredibilitas atau keandalan, dan membuat keputusan yang masuk akal.

Hal ini membuat mereka mudah tertipu, mengandalkan hampir sepenuhnya pada apa yang dikatakan orang tua yang tepercaya bagi mereka. Jadi antara usia 4 hingga 12 tahun, anak-anak sudah siap untuk dijahili dan bahkan mungkin menarik bagi mereka sendiri.

Nge-prank merusak kepercayaan?

Orang tua harus tahu persis apa yang diperlukan untuk memastikan si anak akan tertipu dan bagaimana menutupi niat yang sebenarnya. Anda juga harus yakin mereka akan meresponsnya secara positif.

Dalam konteks ini, prank yang dilakukan dengan baik bisa menjadi interaksi sosial yang canggih dan Anda berdua bisa tertawa terbahak-bahak karenanya. Ini dapat membantu pengembangan teori pikiran dan humor bahkan meningkatkan ikatan antara orang tua dan anak.

Pada saat anak-anak berusia sekitar 12 tahun, usia nalar akan menimpa mereka dan perlahan akan kehilangan minat pada cerita supernatural dan permainan pura-pura, karena pemahaman mereka tentang realitas meningkat. Teori pikiran mereka yang matang membuatnya lebih mudah untuk menyadari bahwa orang tua mereka berusaha membuat hidup mereka sedikit lebih menyenangkan dan ajaib sebagai seorang anak.

Jadi jika lelucon dilakukan dengan mempertimbangkan humor, sebagian besar anak akan dapat melihat niat ini dan tidak akan memiliki perasaan tidak percaya terhadap orang tua mereka. Dengan kata lain, mereka mungkin tidak akan berpikir mereka telah dibohongi.

Hal-hal yang perlu diperhatikan

Anda harus yakin mereka akan menganggap leluconnya lucu, dan memahami tahap perkembangan dan minat terkait mereka. Hati-hati jika Anda melakukan lelucon pada anak yang mengalami autis. Autisme biasanya melibatkan gangguan atau teori pikiran atipikal, yang berarti anak dengan autisme mungkin perlu berpikir lebih keras untuk memahami sebuah humor. Alih-alih menganggapnya lucu, mereka mungkin merasa sakit hati dan bingung karena telah dibohongi

Perhatikan ketidakseimbangan jiwanya, hindari memainkan lelucon yang membuat anak yang dijahili terlihat bodoh atau membuat mereka malu. Meskipin kemudian hal itu mungkin terlihat tidak menyenangkan bagi penonton. Pilih lelucon yang Anda tahu Anda berdua akan menganggapnya lucu.

Nge-prank bisa menjadi bumerang yang spektakuler, terutama jika tujuannya adalah untuk mempermalukan orang yang di-prank. Banyak trik jahat yang tidak memiliki tujuan lain yang dibalut dengan lelucon. Jika ini terjadi, ajukan pertanyaan sederhana kepada orang iseng: “Apanya yang lucu? Jelaskan padaku.”

Jika Anda secara tidak sengaja menyebabkan seseorang atau anak-anak terluka oleh lelucon yang tidak tepat sasaran, sebaiknya asah keterampilan sosial lainnya yakni memohon permintaan maaf yang tulus.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button