Kanal

Bisakah Kita Tidak Lagi Jadi Negeri Para Maling?

Sabtu, 10 Sep 2022 – 09:22 WIB

Negara dan aparatnya, benarkah sudah sedemikian mengerikan? Ilustrasi

Negara dan aparatnya, benarkah sudah sedemikian mengerikan? (Ilustrasi)

Tidakkah kita melihat betapa takut kini semakin menjadi gejala yang akut di masyarakat? Seolah, nun di puncak bukit sana, ada seseorang yang laiknya diktator Romawi, Caligula, berkata angkuh dan serak,”Oderint dum metuant. Tak pedulilah benci, selama mereka takut.”

Sebuah berita yang saya baca Kamis (8/9) pagi lalu, dengan segera membunuh hari itu. Mendung langsung menggayut di benak, meski matahari sangat pemurah memberikan sinarnya. “AKBP Dalizon: Tiap Bulan Saya Setor 300 Sampai 500 Juta ke Atasan, Bila Telat Ditagih via WA,”begitu bunyi judul berita.

Segera saja cerebellum alias otak kecil saya bergerak membukai memori lama. Yang datang kemudian serangkai kenangan, buku-buku bernuansa suram, peristiwa dan berita yang bersegera mengeroyok batin, memojokkan optimisme saya bahwa pada saatnya negeri ini akan gilang gemilang. Mereka yang datang itu adalah “El Filibusterismo [Merajalelanya Keserakahan]” karya sastrawan dan pahlawan nasional Filipina, Jose Rial Mercado; lalu “Leviathan” yang ditulis Thomas Hobbes; datang pula “Asian Drama”-nya Gunnar Myrdal yang bicara tentang negara-negara lembek yang membiarkan korupsi jadi budaya. Setelah itu berkunjung memaksa sekian banyak berita bahwa para penggangsir BLBI justru kian kaya ditolong negara yang di sisi lain nyaris cuci tangan dalam mengurus kaum fakir, miskin dan anak-anak terlantar.

“Pemerintah yang tak bermoral ditandingi oleh rakyat yang rusak moralnya,” tulis Jose Rizal.  Sebab, “Hamba sahaya itu mencerminkan tuannya. Warga negara itu bayangan dari pemerintahnya.”

Lebaykah saya bila berpikir negara ini tengah bergerak menjadi monster Leviathan? Bila melihat betapa ramahnya pengelola negara bergaul, bercengkerama dengan dan kepada para oligarki, rasanya tidak.

Paling tidak, bukankah sejak penerapan UU Omnibus Law kemarin dulu kita semua kian paham merasa betapa hukum pun  sejatinya produk penguasa, yang kian bisa dimanipulasi sesuai kepentingan mereka? Tidakkah kemudian makin terasa bahwa manakala harapan akan munculnya negara hukum (rechtsstaat); yang jebul justru negara kekuasaan (machtsstaat)?

Tidakkah kita melihat betapa takut kini semakin menjadi gejala yang akut di masyarakat? Seolah, nun di puncak bukit sana, ada seseorang yang laiknya diktator Romawi, Caligula, berkata angkuh dan serak,”Oderint dum metuant. Tak pedulilah benci, selama mereka takut.”

Negeri kleptokrasi?

Mungkin sudah terlambat buat kita untuk merenungkan pernyataan Bung Hatta, sekian puluh tahun lalu. Saat itu Bung Hatta menyatakan bahwa korupsi telah menjadi budaya bangsa kita.

Dengan kata lain, melihat telah lamanya pernyataan itu keluar, sementara budaya busuk itu pun belum lagi tercerabut dari kebiasaan, sukar untuk menolak bahwa Indonesia telah lama menjelma kleptokrasi. Berbeda dengan pengucapannya yang elegan, arti kata itu tak kurang busuk sebagai ‘pemerintahan para maling’. Kita bisa tak setuju dengan labelisasi yang buruk itu, tetapi harus diakui betapa sulitnya mencari kosa kata lain yang memadai untuk menggambarkan akutnya penyakit maling (korupsi) ini di negeri ini. Saking akutnya, bukankah kita pun tak melihat ada rasa malu di antara para maling yang dipajang untuk difoto dan disebar luas melalui media massa itu?

Optimisme kita untuk memberantas korupsi itu seringkali dijatuhkan oleh fakta bahwa betapa di tengah telah terbangunnya lembaga anti-rasuah KPK pun, perilaku koruptif tidak terlihat berkurang. Kadang bahkan lembaga KPK itu sendiri sering bikin frustrasi!  Tak perlu meminta contoh untuk hal ini.

Belum lagi sekian literatur klasik pun membikin kita patah hati, akankah kita bisa bebas dari korupsi? Misalnya, John Macrae dalam “Underdevelopment and the economics of corruption: A game theory approach” menyatakan bahwa korupsi di negara berkembang tidak menunjukkan gejala menurun dan rumus pemecahan yang memuaskan pun belum lagi ditemukan. Secara empiric dia bahkan bisa membuktikan bahwa di semua negara yang sedang membangun terdapat kasus korupsi. Bukti empirik itu bahkan sempat melahirkan aksioma politik baru bahwa “all development must corrupt”, yang sempat jadi pembelaan perilaku koruptif pada 1980-1990-an lalu.

Untuk kasus Indonesia sendiri, Karl D. Jackson punya pendapat kuat bahwa negara ini telah menjelma menjadi apa yang disebut sebagai “bureaucratic polity” (masyarakat politik yang birokratik). Ciri pokok dari masyarakat birokratik ini, selain dominasi aparat birokrasi dalam politik, juga ditandai dengan lemahnya lembaga politik lainnya seperti, parlemen, partai politik dan interest group [LSM dan sebagainya]. Mereka tak sanggup melakukan pengimbangan serta kontrol kepada birokrasi. Alhasil, semua membuat patah hati dan putus asa seolah jadi sikap yang wajar.

Sayang sekali, dari syair lagu masa silam kita tahu putus asa adalah dosa. Belum lagi Alquran pun mengancam orang yang putus asa, menyamakannya dengan golongan kafir. “…janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir,” firman Allah dalam Surat Yusuf ayat 87.

Terus memupuk harapan dan berupaya secara konsisten, adalah jalan keluar. Harapan ini, menurut penulis terkemuka Cina, Lu Xun, laiknya jalan di daerah pedalaman. Pada awalnya tak ada jalan setapak semacam itu, namun sesudah banyak orang berjalan di atasnya, terciptalah jalan kecil. Setelah itu, kita bisa berharap kepada Bapak Jokowi untuk mengumpulkan dana infrastruktur, dan barangkali saja jalan kecil itu pun jadi jalan tol. [inu]

Darmawan Sepriyossa

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button