News

Biden Longgarkan Ganja, Langkah Mundur Dunia Melawan Narkoba


Amerika Serikat secara resmi telah mengambil tindakan untuk melonggarkan pembatasan terhadap ganja, dengan rencana untuk mengklasifikasikan kembali sebagai obat yang tidak terlalu berbahaya. Keputusan ini menjadi langkah mundur dalam perjuangan global melawan narkoba.

Berdasarkan langkah tersebut, ganja – yang sejak tahun 1970 telah diklasifikasikan sebagai obat Golongan I bersama dengan heroin, LSD dan ekstasi – akan diturunkan ke obat Golongan III. Ini berarti menempatkannya dalam kategori yang sama dengan obat-obatan seperti testosteron atau obat penghilang rasa sakit yang mengandung kodein. Obat Golongan III dianggap memiliki potensi ketergantungan sedang hingga rendah.

“Tidak seorang pun boleh dipenjara hanya karena menggunakan atau memiliki ganja,” kata Presiden AS Joe Biden dalam sebuah video pada 17 Mei. “Terlalu banyak nyawa yang melayang karena pendekatan yang gagal terhadap ganja dan saya berkomitmen untuk memperbaiki kesalahan tersebut.”

Awal pekan ini, Maryland mengampuni lebih dari 175.000 orang yang dihukum karena ganja. Maryland menjadi negara bagian terbaru yang memberikan pengampunan massal serupa setelah sebelumnya terjadi di Massachusetts dan Oregon.

Tan Chong Huat dan Narayanan Ganapathy dari Dewan Nasional Anti Penyalahgunaan Narkoba Singapura menilai apa yang dilakukan Joe Biden bisa bermotif politik, atau bahkan empati. “Terlepas dari itu, ini merupakan langkah regresif dalam perjuangan global melawan narkoba, dan melemahkan kemajuan upaya pengendalian narkoba selama beberapa dekade serta bertentangan dengan bukti ilmiah yang luas mengenai dampak buruk ganja,” ungkap keduanya, mengutip Channel News Asia (CNA).

Penelitian yang dilaporkan dalam The American Journal of Drug and Alcohol Abuse menyoroti bahwa penyalahgunaan ganja dalam jangka panjang dapat mengganggu fungsi otak, terutama selama tahap perkembangan kritis. Demikian pula dengan Singapore Medical Journal menampilkan penelitian lokal membuktikan temuan ini, yang menunjukkan bahwa penggunaan ganja sejak dini menyebabkan dampak negatif jangka panjang lebih besar.

Reklasifikasi ganja di tingkat federal dapat melegitimasi industri ganja dan mempercepat normalisasi penggunaan ganja rekreasional di tingkat negara bagian, meskipun ada kekhawatiran mengenai risikonya.

Dampak Mengkhawatirkan Terhadap Remaja

Di Singapura, data terbaru menyoroti meningkatnya kekhawatiran mengenai penggunaan narkoba di kalangan generasi muda. Survei Kesehatan dan Gaya Hidup tahun 2022 yang dilakukan oleh Institute of Mental Health (IMH) mengungkapkan bahwa rata-rata usia mulai menggunakan narkoba di Singapura adalah 15,9 tahun.

Penangkapan terkait narkoba juga meningkat sebesar 10 persen menjadi 3.122 kasus pada tahun lalu. Khususnya, terdapat peningkatan sebesar 17 persen dalam jumlah pengguna ganja yang ditangkap. Di antara pengguna ganja baru yang ditangkap, hampir dua dari tiga orang berusia di bawah 30 tahun.

Statistik ini mencerminkan tren meresahkan yang menggarisbawahi perlunya tindakan pencegahan narkoba lebih kuat dan terpadu. Meskipun Singapura telah melakukan upaya komprehensif untuk mengurangi permintaan dan pasokan, didukung oleh opini publik yang kuat, kesalahpahaman tentang ganja masih banyak terjadi di kalangan generasi muda.

Dalam Survei Persepsi Narkoba Nasional tahun 2023 yang dilakukan oleh Dewan Nasional Melawan Penyalahgunaan Narkoba (NCADA), 90,4 persen generasi muda setuju bahwa “penggunaan narkoba harus tetap ilegal di Singapura”, namun hanya 79,3 persen yang mendukung berlanjutnya kriminalisasi ganja.

Wawancara kualitatif mengungkapkan bahwa beberapa remaja percaya bahwa penggunaan ganja dapat diatur secara pribadi, sementara remaja berusia awal 30-an sering memandang ganja sebagai obat “lunak” yang cocok untuk penggunaan rekreasional tanpa risiko kecanduan.

Namun penelitian mematahkan persepsi bahwa ganja kurang berbahaya dibandingkan obat lain. Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan di Singapore Medical Journal tahun lalu, para peneliti menemukan bahwa hampir setengah dari 450 peserta survei mulai menggunakan obat-obatan terlarang lainnya setelah mencoba ganja, dan 42 persen di antaranya beralih ke heroin.

Sayangnya, pengetahuan yang terdistorsi di kalangan anak muda diperburuk oleh media sosial dan budaya pop. Tugas memerangi misinformasi tentang narkoba menjadi lebih sulit dengan luasnya lanskap digital, di mana generasi muda mendapatkan beragam informasi, yang beberapa di antaranya berpotensi memicu perilaku penyalahgunaan narkoba.

Dampak terhadap Intergenerasi

Dampak dari penyalahgunaan narkoba tidak hanya dirasakan oleh pengguna secara individu, namun juga sangat berdampak pada keluarga dan masyarakat. Sebuah studi pada tahun 2020 oleh Kementerian Sosial dan Pembangunan Keluarga Singapura menyatakan bahwa anak-anak dari orang tua yang melakukan pelanggaran narkoba memiliki kemungkinan 5,18 kali lebih besar untuk berhubungan dengan sistem peradilan pidana di masa depan dibandingkan anak-anak lain.

Selain itu, remaja pelaku kejahatan yang berasal dari rumah tangga dengan riwayat penyalahgunaan narkoba memiliki kemungkinan 2,2 kali lebih besar untuk bergabung dengan geng. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dari orang tua yang menyalahgunakan narkoba mengalami serangkaian defisit sosial-psikologis termasuk melemahnya ikatan sosial dengan institusi konvensional dan panutan.

Dipuji oleh para Pengacara

Keputusan pemerintahan Biden melonggarkan sikapnya terhadap ganja telah dipuji para advokat karena mengatasi apa yang mereka katakan sebagai kebijakan penegakan narkoba tidak merata, telah memicu penahanan massal dan berdampak secara tidak proporsional pada komunitas tertentu. Namun, pujian ini nampaknya kontradiktif, karena tidak menyadari potensi dampak buruk dari tindakan tersebut terhadap masyarakat terpinggirkan secara sosio-ekonomi dan kurang beruntung yang sudah terkena dampak buruk narkoba.

Bukti empiris dari negara-negara yang telah mengadopsi pendekatan pengurangan dampak buruk, seperti Portugal, Belanda, Swiss, Kanada, dan Australia, menunjukkan hasil yang beragam.

Misalnya, Belanda, yang terkenal dengan regulasi penjualan ganja melalui apa yang disebut “kedai kopi”, terus menghadapi permasalahan pariwisata narkoba dan penyakit sosial terkait di mana anak-anak berusia 14 tahun direkrut sebagai “pengumpul kokain”. Pada bulan Januari 2024, Walikota Amsterdam memperingatkan dalam sebuah opini yang diterbitkan di Guardian bahwa Belanda berisiko menjadi “negara narkotika”.

Di Swedia, jumlah penembakan fatal meningkat lebih dari dua kali lipat sejak tahun 2013, mencapai 391 pada tahun 2022, terutama disebabkan oleh konflik narkoba dan senjata yang terkait dengan geng. Seorang pengacara yang mewakili remaja korban penembakan mengatakan kepada BBC pada bulan Desember bahwa “anak-anak menggunakan tas mereka sendiri bukan untuk membawa buku, tetapi untuk memikul pasar narkoba Swedia.

Demikian pula dengan Kanada dan Australia, meskipun memiliki strategi pengurangan dampak buruk yang komprehensif, mereka masih menghadapi masalah kejahatan dan kesehatan terkait narkoba. Pada tahun 2023, British Columbia (BC) mendekriminalisasi obat-obatan untuk mengurangi tingkat overdosis, namun hanya mengalami lonjakan sebesar 5 persen, menurut laporan BBC. Pihak berwenang BC kini mempertimbangkan untuk mengkriminalisasi ulang penggunaan obat-obatan keras di tempat umum.

Di wilayah terdekat, Thailand berencana untuk memasukkan kembali ganja ke dalam daftar narkotika, hanya dua tahun setelah negara tersebut menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mendekriminalisasi penggunaan ganja untuk rekreasi. Kasus-kasus ini menggambarkan kompleksitas dan potensi konsekuensi negatif dari pelonggaran kebijakan narkotika, khususnya bagi kelompok rentan.

Back to top button