Kanal

Beras Oplosan Jadi Fenomena Lumrah Sejak Lama

Kasus beras oplosan yang dijual di pasaran kembali menyeruak. Satgas Pangan akan menyelidiki siapa yang bermain-main dengan beras oplosan untuk mendapat keuntungan lebih tinggi. Fenomena mengoplos beras ini sebenarnya sudah lumrah terjadi.

Direktur Utama Bulog Budi Waseso menemukan dugaan praktik curang yang dilakukan para pedagang dengan cara mengoplos beras. Temuan ini terungkap saat melakukan inspeksi mendadak bersama Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi ke Gudang Beras milik PT Food Station Pasar Induk Cipinang Jakarta.

Buwas, sapaan akrab Budi Waseso, mengungkapkan oknum pedagang melakukan kecurangan dengan cara mengoplos beras dan mengemas ulang cadangan beras pemerintah (CBP). Hal ini mengakibatkan harga beras di pasaran akan tetap mahal.

Dari dua gudang di tempat itu, ditemukan beras oplosan yang dikemas ulang dengan berbagai ukuran 50 kg dan 5 kg. “Padahal ini beras dari Bulog, tapi dikemas ulang dengan label premium,” ucapnya. Para pedagang menjual beras oplosan itu Rp12.000 per kg dengan label premium.

Akibat adanya praktik curang ini, Buwas meyakini harga beras akan sulit mengalami penurunan. Beras yang berasal dari Bulog itu sebenarnya beras yang didapatkan dari para petani dan beras impor.

Kepala Bulog menambahkan, aksi mencampur beras Bulog dengan merek lainnya merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang perlindungan konsumen. Tak hanya itu, tindakan tersebut bisa digolongkan sebagai tindak korupsi dan tindak pidana lainnya.

“Pedagang tidak dilarang mengambil keuntungan. Margin pasti lah saya juga paham, tapi jangan mengakali seperti ini,” ucap Buwas.

Beras oplosan merupakan beras hasil mencampur jenis satu dengan yang lainnya. Fenomena mengoplos beras ini sudah terjadi sejak lama dan dapat ditemui di banyak tempat. Sejak lama aktivitas ini diiringi dengan pro dan kontra.

Para praktiknya, mengoplos beras tak melulu dimaknai secara negatif. Ada sisi positifnya dan memang diperlukan karena kebutuhan terutama terkait dengan permintaan konsumen. Misalnya saja beras dicampur biar tidak terlalu wangi atau terlalu pulen. Ada pula yang tidak suka beras terlalu pera atau terlalu pulen.

Konsumen banyak yang menyukai beras oplosan ini apalagi jika campuran yang dihasilkan menjadikan nasi lebih enak dan pas dengan selera. Ketika menjual beras oplosan ini, pedagang biasanya menyampaikan informasi tentang beras yang mereka campur tersebut kepada konsumen.

Ada pula yang beras teroplos bukan karena faktor bisnis. Misalnya petani yang sudah menanam IR64, juga menanam jenis mekongga atau inpari. Begitu panen kemudian langsung digiling bersama dan tidak dipisahkan secara khusus.

Praktik ilegal

Yang sering terjadi adalah mencampur beras dengan motif untuk menghasilkan keuntungan lebih besar bagi para pedagang. Praktik seperti ini biasanya dilakukan dengan mencampur beras dari Bulog dengan beras lainnya yang nonsubsidi. Oknum pedagang melakukan oplos beras dengan mencampur beras kualitas medium dan premium namun dijual dengan harga premium.

Ada pula pedagang yang mengemas ulang beras dari Bulog lalu dijual sebagai beras premium. Ini bisa terjadi mengingat kualitas beras Bulog yang relatif baik. Beberapa pedagang bahkan mengoplos beras Bulog dengan beras yang mutunya jelek, sehingga merugikan konsumen. Artinya ada pihak-pihak tertentu yang mengambil hak masyarakat yang seharusnya mendapatkan beras subsidi demi keuntungan pribadi.

Pada 2016 silam, mengutip laman resmi Kementerian Pertanian RI, Bareskrim Polri pernah menangkap lima pelaku pengoplosan beras di Jakarta Timur. Salah satu dari lima tersangka kala itu melibatkan Kepala Bulog Divisi Regional DKI Jakarta-Banten, Agus Dwi Irianto.
Aksi para pedagang beras seperti ini terus terjadi bahkan seperti sudah bukan rahasia lagi. Apalagi pengawasan beras hasil produksi lokal ke hilir cenderung longgar.

Praktik mengoplos beras ini juga merupakan buah dari pemberlakuan standar beras yang kurang ketat. Saat ini terdapat tiga aturan berbeda yang mengatur kualitas beras yakni dalam SNI 6128:2015, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 31/2017 tentang Kelas Mutu Beras, dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57/2017 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Beras (HET).

Dalam SNI, derajat sosoh beras premium di SNI dipatok di angka 100 persen, kadar air maksimal 14, beras kepala 95 persen, dan butir patah 5 persen. Sementara dalam Permentan, derajat sosoh diturunkan menjadi 95 persen, maksimal kadar air 14 persen, beras kepala 85 persen, dan butir patah 15 persen. Sedangkan pada Permendag soal HET (Harga Eceran Tertinggi) beras hanya menggunakan tiga poin acuan yang sama seperti diatur dalam Permentan untuk beras premium.

Derajat sosoh merupakan tingkat terlepasnya aleuron (kulit ari) yang melapisi biji beras. Dengan premis demikian, jenis beras IR64 yang biasa menjadi beras medium bisa saja diolah menjadi beras premium menggunakan teknik tertentu. Tinggal menambah supaya derajat sosoh menjadi mendekati 100 dan menyisihkan broken-nya (beras patah).

Dalam undang-undang yang mengatur tentang standardisasi menyebutkan pula bahwa kebijakan standardisasi dan penilaian kesesuaian ditentukan oleh kementerian yang mengoordinasikan. Dalam hal ini, Permentan Nomor 31/2017 punya posisi sebagai aturan teknis yang mengatur standar beras.

Hanya saja, Permentan ini tidak mengatur standar metode penilaian kesesuaian mutu dan siapa yang mengeksekusinya. Karena itu, aturan ini bisa menjadi celah munculnya kejahatan pangan yang merugikan konsumen.

Yang juga mesti diingat, penentu kualitas beras bukan hanya sekadar varietas tetapi juga kondisi beras seperti derajat sosoh dan kandungan airnya. Seringkali kriteria yang digunakan pedagang, termasuk konsumen adalah berdasarkan parameter fisik, bukan jenis atau varietas. Karena itu, pemahaman tentang kualitas beras perlu ditingkatkan di level konsumen agar tidak tertipu ketika membeli bahan pokok yang satu ini.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Lihat Juga
Close
Back to top button