Kanal

Benarkah Wali Sufi Mansyur Al-Hallaj Menuhankan Dirinya?

“Jika engkau memanggil-Nya ‘Hu’ (Dia), huruf ‘ha’ dan ‘waw’ hanyalah makhluk-Nya. Jika engkau bertanya kapan, Dia ada sebelum kapan. Jika engkau bertanya di mana, Dia tak dibatasi ruang.”

Al-Hallaj adalah sosok sufi kontroversial, yang di dunia Islam dikenal memiliki pandangan “hulul” atau “menyatu dengan Tuhan”. Namun jika kita telisik lebih dalam, terlihat bahwa lebih banyak kesalahpahaman yang melingkupi kisah atau legenda tentang sosok beliau, dibandingkan apa yang sesungguhnya terjadi.

Mungkin anda suka

Mansur Al-Hallaj (858 — 922 M) adalah sufi Persia yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan setempat di masa dinasti Abbasiyah. Louis Massignon, salah seorang penulis biografinya, mengungkapkan bahwa ada latar belakang politik dalam penghukuman itu. Kala itu, Al-Hallaj dituduh menuhankan dirinya lantaran ucapan “ana Al-Haqq” atau “akulah Kebenaran”.

Tidak sedikit yang mengutuk beliau, namun banyak pula ulama besar yang paham maksud sebenarnya Al-Hallaj, menganggap beliau justru adalah sebagai seorang auliya’. Ulama-ulama yang berpandangan positif tersebut adalah seperti al-Qusyairi, Ibnu Khafif (yang pernah menjenguknya langsung di penjara), begitu juga Abu al-Qasim al-Nasir Abadi, Ibnu ‘Athaillah (penulis Al-Hikam), Ibn al-Hajj, Ibnu ‘Aqil (yang menulis “Juz fi Nasr Karamat al-Hallaj”), Ibnu Qudama, al-Tufi, Ibnu al-Mulaqqin, al-Munawi, al-Sya’rani, dan banyak lagi lainnya.

Al-Hallaj sebenarnya adalah sufi yang sangat ketat dengan kaidah-kaidah tauhid (aqidah).

“Mengenal-Nya adalah menegakkan tauhid-Nya, dan tauhid-Nya adalah membedakan secara tegas Dia dengan makhluk-Nya. Apa pun yang engkau bayangkan tentang-Nya, bukanlah Dia.” — Al-Hallaj.

Dalam “Risalah ilal Sufiyyah” karya al-Qusyairi, misalnya, disebutkan bagaimana Al-Hallaj mengungkapkan tentang doktrin tauhidnya: “Mengenal-Nya adalah menegakkan tauhid-Nya, dan tauhid-Nya adalah membedakan secara tegas Dia dengan makhluk-Nya. Apapun yang engkau bayangkan tentang-Nya, bukanlah Dia. Jika engkau memanggil-Nya ‘Hu’ (Dia), huruf ‘ha’ dan ‘waw’ hanyalah makhluk-Nya. Jika engkau bertanya kapan, Dia ada sebelum kapan. Jika engkau bertanya di mana, Dia tak dibatasi ruang.”

لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” – (Q.S. Asy-Syuura [42]: 11)

Namun tak jarang Al-Hallaj mengekspresikan ketauhidannya dengan cara paradoksal —yang sebenarnya dimaksudkan untuk mengungkap hikmah-hikmah tertentu. Misalnya ketika ditanya bagaimana jalan menuju Allah itu, beliau menjawab, “Jalan adalah sesuatu yang menghubungkan antara dua titik. Namun, tidak ada jarak atau ruang di sisi-Nya (karena Dia tak dibatasi semua itu).” Bagaimana mungkin berjalan menuju-Nya?”

Ketika ditanya lagi apa maksudnya, beliau pun menjawab, “Di antara aku dan Engkau, ada ‘aku’. Hilangkan ‘aku’, sehingga hanya ada Engkau.”

Para ulama mafhum, bahwa ‘aku’ di sini merujuk pada ego keakuan (hawa nafsu). Maka, jalan menuju Allah, sebagaimana dimaksudkan Al-Hallaj, bukanlah berjalan dari satu tempat ke tempat lain, melainkan bertempur melawan hawa nafsu yang menjadi penghalang taubat (kembalinya) seorang hamba menuju Tuhannya.

أَفَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَـهَهُ

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?” — (Q.S. Al-Jaatsiyah [45]: 23)

فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَـلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan apapun dalam beribadah kepada Tuhannya.” — (Q.S. Al-Kahfi [18]: 110)

Demikianlah cara-cara beliau dalam mengekspresikan ketauhidannya.

Ungkapan “aku Al-Haqq” Al-Hallaj tersebut, yang memang rentan menimbulkan kesalahpahaman, tidaklah sama dengan mengatakan “akulah Allah” atau “akulah Tuhan” seperti yang diucapkan Firaun (Q.S. An-Naazi’aat [79]: 24). Tidak hanya lantaran Al-Haqq sendiri hanyalah salah satu dari sifat-sifat-Nya (Asmaul Husna), bukan Dia yang utuh atau dzat-Nya — melainkan juga bahwa tidaklah seperti itu yang dimaksudkan Al-Hallaj.

Para sufi adalah pencari kedalaman makna di balik kata, sehingga kalimat-kalimat yang dipakai memang seringkali tidak ditujukan untuk diartikan secara harfiah. Perhatikan kalimat Al-Hallaj “Hilangkan ‘aku’, sehingga hanya ada Engkau” di atas dengan ayat berikut:

وَقُلْ جَآءَ ٱلْحَقُّ وَزَهَقَ ٱلْبَـطِلُ ۚ إِنَّ ٱلْبَـطِلَ كَانَ زَهُوقًا

Dan katakanlah: “Al-Haqq telah datang dan yang batil telah lenyap“. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” – (Q.S. Al-Israa’ [17]: 81)

Ketika ego keakuan lenyap, maka yang ada hanya Al-Haqq — dan dalam nuansa inilah ungkapan-ungkapan sufistik Al-Hallaj mestinya dipahami.

Tentu tidak pada tempatnya menghakimi beliau di sini, dan tidak dibenarkan pula menghakimi suatu ucapan sebelum dipahami betul maksud dari sang pengucap. Sepanjang pengetahuan kami mengenai sosok Al-Hallaj, beliau adalah seorang hamba Allah yang sangat bertauhid dan menjaga aqidah-nya — kesalahpahamanlah yang membuat beliau terfitnah. Maka cukuplah kita perhatikan sebuah ayat tentang Al-Haqq di dalam Al-Qur’an:

سَنُرِيهِمْ ءَايَـتِنَا فِى ٱلْءَافَاقِ وَفِىٓ أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ

Akan Kami perlihatkan ayat-ayat kami hingga seluruh ufuk dan dalam jiwa-jiwa mereka sendiri, hingga menjadi jelas bagi mereka bahwa itu adalah Al-Haqq.” – (Q.S. Fushshilat [41]: 53)

Kita semua, demikian pula segala apa yang di langit dan bumi, adalah ayat-ayat-Nya — itulah al-Haqq. [Watung Arif]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button