Market

Bank Sentral di Posisi Sulit, Jinakkan Inflasi Tanpa Memicu Resesi

Bank sentral di beberapa negara dengan ekonomi terbesar dunia menghadapi tugas rumit tahun ini untuk menjinakkan inflasi melalui suku bunga yang lebih tinggi tanpa memicu resesi. Sebuah tugas yang tentu sangat tidak mudah.

The Federal Reserve atau The Fed, Bank of England, dan bank-bank sentral lainnya sekarang mau tidak mau ikut ke pusaran debat politik yang dapat mengancam independensi serta kemampuan mereka untuk bertindak tegas mengekang kenaikan inflasi.

Inflasi telah meningkat pesat dan sekarang berada pada atau mendekati tingkat tertinggi dalam beberapa dekade di sebagian besar ekonomi maju seperti AS dan di Eropa. Ini menyebabkan standar hidup mandek atau menurun di banyak negara.

Tentu saja kondisi ini merugikan masyarakat termiskin, yang menderita akibat tingkat inflasi yang lebih tinggi, daripada populasi umum karena mereka membelanjakan lebih banyak pendapatan untuk makanan dan energi.

Honorary Research Fellow di City Political Economy Research Centre University of London, Steve Schifferes mengungkapkan, kenaikan tajam inflasi mengejutkan bank sentral setelah dua dekade inflasi yang rendah dan stabil. Mereka bereaksi dengan menaikkan suku bunga secara agresif pada paruh kedua tahun 2022, dengan The Fed memimpin. Bank sentral AS ini telah menaikkan suku bunga 4,25 poin selama periode enam bulan, dan Bank of England, Bank Sentral Eropa dan lainnya juga mengikuti jejaknya.

“Strategi mereka tampaknya berhasil. Inflasi di AS telah melambat. Sementara di Inggris dan zona euro, data terbaru menunjukkan bahwa inflasi mungkin telah mencapai puncaknya – meskipun masih sangat tinggi, sekitar 10 persen dan mulai cenderung turun,” kata Schifferes, mengutip The Conversation.

Tetapi kenaikan suku bunga –yang diperkirakan akan berlanjut pada tahun 2023, meskipun dengan kecepatan yang lebih lambat– dapat semakin mengaburkan prospek pertumbuhan ekonomi, yang sudah terlihat suram bagi negara-negara maju.

Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan memperkirakan bahwa pada 2023 baik AS maupun zona euro hanya akan tumbuh sebesar 0,5 persen, jauh di bawah rata-rata historisnya, sementara ekonomi terbesar Eropa, Jerman, sebenarnya akan menyusut sebesar 0,3 persen. Di Inggris, Bank of England memproyeksikan ekonomi akan terus menyusut hingga pertengahan 2024.

Puncak inflasi mulai terlewati

Eropa tampaknya berhasil melewati puncak inflasi. Namun masih terlalu dini untuk mengambil kesimpulan bahwa bank sentral akan mengubah kebijakan mereka. Dilansir Bloomberg, Rabu (4/1/2022), laporan menunjukkan inflasi di sejumlah negara Eropa, dari Jerman hingga Spanyol, melandai lebih dari yang diperkirakan para ekonom pada bulan Desember, setelah biaya gas alam menurun dan pemerintah kembali menggelontorkan subsidi.

Namun, penurunan tersebut menutupi tekanan inflasi inti, yang mengecualikan kenaikan harga energi dan makanan. Justru inflasi inti ini lah yang menjadi acuan bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) untuk menentukan berapa banyak kenaikan suku bunga acuan.

Seperti di AS, The Fed tetap bersikap hawkish meskipun inflasi melambat selama lima bulan berturut-turut. Hal ini membuat kemungkinan pergeseran dalam rencana kebijakan bank sentral Eropa (ECB) sulit terjadi.

Presiden ECB Christine Lagarde berencana menaikkan suku bunga acuan masing-masing sebesar 50 basis poin pada pertemuan bulan depan dan bulan berikutnya. Proyeksi ECB terbaru menunjukkan inflasi tidak akan mencapai target 2 persen hingga akhir tahun 2025.

“Puncak inflasi mungkin memang telah dilewati, tetapi masalahnya adalah inflasi bertahan tetap tinggi. Oleh karena itu, keputusan (suku bunga) Februari sudah ditetapkan,” kata Kepala Strategi Danske Bank A/S Piet Christiansen.

Bank sentral dan politik

Schifferes kembali mengungkapkan, persoalan inflasi tinggi di banyak negara maju ini mau tidak mau menyeret bank sentral ke ranah politik yang bisa mengganggu rencana kebijakannya. Hal ini terkait kebijakan pengeluaran anggaran dari pemerintah.

Menurutnya, politik dimainkan dengan cara yang berbeda di masing-masing negara. Di AS, pengeluaran anggaran pemerintah telah meningkat secara substansial, terutama dengan RUU infrastruktur senilai US$1,2 triliun yang ditandatangani menjadi undang-undang pada akhir 2021 dan RUU anggaran senilai US$1,7 triliun disahkan pada Desember 2022.

Kebijakan fiskal ekspansif semacam ini, yang mungkin berlaku selama bertahun-tahun, kata dia, dapat merusak upaya bank sentral seperti The Fed untuk melawan inflasi. Karena bank sentral berusaha mengurangi inflasi dengan membatasi permintaan, sementara peningkatan pengeluaran pemerintah memiliki efek sebaliknya.

“Hal ini dapat memaksa The Fed dan bank lain untuk menaikkan suku bunga lebih tinggi dari yang seharusnya,” tambahnya.

Di Eropa dan Inggris, pemerintah terpaksa membelanjakan miliaran dolar untuk mensubsidi tagihan energi konsumen dan bisnis, sementara perlambatan ekonomi telah mengurangi pendapatan pajak mereka, yang menyebabkan melonjaknya defisit pemerintah.

Selama 20 tahun terakhir, bank sentral sangat independen dan lepas dari campur tangan pemerintah. Penetapan target inflasi publik sekitar 2 persen telah membantu mendapatkan kredibilitas dalam memerangi inflasi. Sekarang, kredibilitas maupun independensi mereka mungkin terancam.

Para bankir bank sentral, terutama di Eropa, sangat menyadari kekhawatiran publik tentang bagaimana suku bunga yang lebih tinggi dapat menghambat pertumbuhan, sebagian karena ekonomi mereka terkena dampak yang lebih parah daripada AS oleh perang Ukraina. Sementara itu, konsumen terpukul oleh pembayaran hipotek yang lebih tinggi, yang mungkin menggerogoti pasar perumahan.

BI dan Inflasi

Bagaimana di Indonesia? Bank Indonesia (BI) juga agresif menaikkan suku bunga. Hingga akhir Desember BI sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 200 bps hanya dalam waktu lima bulan, masing-masing sebesar 25 bps pada Agustus, 50 bps pada September, 50 bps pada Oktober, dan 50 bps pada November dan 25 bps pada Desember.

Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, keputusan suku bunga tersebut sudah dilakukan secara terukur, sebagai langkah lanjutan untuk secara front loaded, preemptive, dan forward looking memastikan terus berlanjutnya penurunan ekspektasi inflasi. “Sehingga inflasi inti tetap terjaga dalam kisaran 3 persen plus minus 1 persen,” jelas Perry.

Kebijakan suku bunga bank sentral diharapkan tidak cepat-cepat ditransmisikan oleh perbankan. Karena untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, di tengah meningkatnya daya beli masyarakat. Selain itu, Perry juga menyebut bahwa dengan kenaikan suku bunga kebijakan hingga 5,5 persen diharapkan dapat mendorong investasi asing untuk masuk.

Sementara sepanjang 2022, BI mengatakan inflasi sebesar 5,51 persen (year-on-year/yoy) cukup terkendali. BI menilai kenaikan inflasi 2022 terjadi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Inflasi pada Desember 2022 tercatat menjadi 0,66 persen (month-to-month/mtm) sehingga inflasi 2022 menjadi 5,51 persen (yoy). Realisasi tersebut meningkat dibandingkan inflasi 2021 sebesar 1,87 persen (yoy).

“Inflasi 2022 lebih tinggi dari sasaran 3,0+1 persen, terutama dipengaruhi oleh dampak kenaikan BBM bersubsidi pada September 2022,” ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono, Selasa (3/1/2023).

Dia mengatakan berbagai perkembangan bulanan menunjukkan inflasi pascakenaikan harga BBM kembali terkendali tercermin pada ekspektasi inflasi dan tekanan inflasi yang terus menurun dan lebih rendah dari prakiraan awal. Menurutnya, perkembangan inflasi yang terkendali tidak terlepas dari pengaruh positif dari sinergi kebijakan yang makin erat antara Pemerintah Pusat dan Daerah, BI, serta berbagai mitra strategis dalam menurunkan laju inflasi, termasuk mengendalikan dampak lanjutan penyesuaian harga BBM.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button