Kanal

Awas ‘Prank’ Tapera, Program Tipu-tipu Perumahan Rakyat


Tak ada yang percaya program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), solusi pekerja bergaji rendahan memiliki rumah. Ini cara penguasa mengumpulkan duit rakyat untuk membiayai ambisinya.

Mungkin anda suka

Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio menyebut, PP 21/2024 tentang Perubahan PP 25/2020 tentang Tapera, ditekan Presiden Jokowi pada 20 Mei 2024, tak lebih dari ‘tipu-tipu’. Atau bahasa anak milenial saat ini, awas kena ‘prank’.

“Ini sih ‘prank’ presiden, PP itu belum bisa dilaksanakan. Apalagi, menteri PUPR dan menteri keuangan sudah mau kalau ditunda, jadi mau apalagi,” kata Agus saat dihubungi Inilah.com, Jumat (7/6/2024).

Agus benar. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono belakangan menyatakan menyesal karena banyaknya pihak yang marah dengan PP Tapera yang dikeluarkan Jokowi menjelang pensiun.  

Dalam beleid itu, pekerja dan perusahaan atau pemberi kerja menanggung renteng iuran Tapera yang besarnya 3 persen dari pendapatan pekerja (Upah Minimum Regional/UMR).

Di mana, pekerja menanggung 2,5 persen, sisanya yang 0,5 persen dibayar pengusaha atau pemberi kerja. Sedangkan pekerja mandiri atau freelancer, harus menanggung 3 persen, bulat-bulat.

Sedangkan, mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Andrinof Chaniago mengingatkan, tidak ada sejarahnya, penggunaan instrument keuangan efektif menyelesaikan masalah perumahan di Indonesia.

“Karena, masalah tama adalah kenaikan harga rumah lebih tinggi ketimbang kenaikan upah atau penghasilan pekerja menengah ke Bawah,” kata Adrinof.

Dengan kata lain, kalau terkumpul Tapera selama puluhan tahun, tetap saja tak cukup untuk bayar uang muka, atau beli cash (rumah).

Cepatnya pertumbuhan harga rumah, menurut Adrinof, dipicu lahan. Di setiap kota di Indonesia, pertumbuhan harga rumah, tentu saja berbeda-beda. Ada yang cepat, atau lambat. Biasanya, kalua Harga tanahnya sudah super mahal maka pertumbuhannya lambat. Demikian pula sebaliknya.

Atau dari posisinya yang strategis serta kemudahan akses, ikut menentukan pertumbuhan harga tanah, atau rumah.

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) pernah melakukan survei pertumbuhan harga rumah di sejumlah kota.

Hasilnya, tingkat kenaikan harga rumah di sejumlah kota besar di Indonesia yang berbeda-beda. Harga rumah termahal terdapat di Medan, Sumatra Utara. Di mana, rata-rata harga rumah di sana, setara 23,5 kali rata-rata pendapatan tahunan.

Di susul harga rumah di Surabaya sebesar 21,33 kali, Batam 20,94 kali, Makassar 19,78 kali, Jakarta 19,76 kali, Denpasar 16,9 kali, Tangerang 15,77 kali, dan Bogor 15,56 kali rata-rata pendapatan tahunan. Terendah adalah Malang 11,91 kali.

Keraguan kedua tokoh itu, rasa-rasanya sudah mewakili akal sehat kita. Bahwa pekerja jangan terlalu berharap bisa memiliki rumah layak dengan menjadi peserta Tapera.

Agar lebih yakin, mari coba membuat perhitungan dana Tapera yang sederhana. Anggap saja, jumlah pekerja di Indonesia saat ini, sebanyak 150 juta orang.

Dengan UMR terendah Rp2.038.005 dan tertinggi Rp5.257.835, nilai rata-ratanya ketemu Rp3.647.920.

Jika dipotong 3 persen untuk Tapera, nilainya Rp109.437 dari setiap pekerja/bulan.

Anggaplah Harga rumah Rp300 juta, maka perlu 2.741 bulan. Atau setara 228,5 tahun. Dua abad lebih. Sama sekali tak masuk akal.

Sedangkan perolehan dana Tapera dai 150 juta pekerja mencapai Rp16,5 triliun/bulan. Atau Rp197 triliun/tahun. Lumayanlah untuk menutup utang jatuh tempo pada 2027 senilai Rp695,5 triliun. Intinya, duit Tapera benar-benar gurih.

Biayai IKN dan Defisit Anggaran

Menurut perhitungan ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didin S Damanhuri, jika iuraN Tapera dijalankan hari ini, maka akan terkumpul Rp70 triliun dari sekitar 38 juta pekerja.

Dana sebesar itu, kata ia, bisa saja digunakan untuk membiayai pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur (Kaltim).

“Pemerintah ini bukan tidak mengerti, tetapi ada tujuan di balik Tapera. Ini nanti diinvestasikan saya kira untuk IKN (Ibu Kota Nusantara) ya, tujuannya dalam rangka IKN,” ujarnya.

Menurut Didin, program tersebut mestinya dievaluasi oleh pemerintah. Pasalnya, ada banyak masyarakat menengah yang akan terbebani dengan iuran Tapera.

“Saya kira perusahaan maupun serikat pekerja menolak karena BPJS sudah ada skema untuk perumahan, kalau ada Tapera juga jadinya beban ganda, kasihan buruh. Sudah begitu 50 persen penduduk paling bawah termasuk buruh daya belinya merosot terus, harga kebutuhan pokok melambung tak terkendali, itu saya menganalisis dari BPS,” jelasnya.

Dugaan itu, mirip-mirip yang disampaikan Presiden Asosiasi Pekerja Indonesia (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat. Bahwa iuran Tapera digunakan bukan untuk kepentingan peserta, namun negara. Tepatnya untuk mengamankan defisit anggaran.

“Kan negara sedang defisit (APBN), Jadi, bisa saja dana Tapera digunakan untuk menambalnya,” kata Mirah di Jakarta, Kamis (6/6/2024).

Indikasi ini, kata Mirah, menguat ketika Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dipasang sebagai anggota Komite Badan Penglola (BP) Tapera. “Gampang nebaknya karena di pejabat (BP) Tapera ada menkeu,” ungkap Mirah.

Jangan-jangan dugaan Mirah benar. Sri Mulyani masuk anggota Komite BP Tapera. Bersama Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (ketua), Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah (anggota), Dewan Komisioner OJK Friderica Widyasari Dewi (anggota) dan satu lagi ekonom yang masih kosong sebagai anggota.

Kelima anggota komite BP Tapera ini, memiliki sejumlah tugas. Yakni, merumuskan dan menetapkan kebijakan umum dan strategis dalam pengelolaan Tapera, melakukan evaluasi atas pengelolaan Tapera, termasuk melakukan pengawasan dan pelaksanaan tugas BP Tapera, serta melaporkan hasil evaluasi pengelolaan Tapera ke presiden.

Hasil kajian Center of Economic and Law Studies (Celios), penempatan dana Tapera selama ini, dominan ke surat utang korporasi. Porsinya mencapai 47 persen. Disusul Surat Berharga Negara (SBN), sebesar 45 persen. Sisanya yang 8 persen ‘diparkir’ di deposito dan giro.

“Dengan proporsi tersebut, maka pemerintah selaku pengelola APBN mempunyai kepentingan dalam pengelolaan dana Tapera. Yakni untuk pembelian SBN. Di mana, proporsinya 45 persen,” kata Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira.

Saat ini, kata Bhima, pemerintah gencar mendorong pembelian SBN, melalui tangan kanan pemerintahan di pasar keuangan. Berbagai lembaga pengelolaan investasi pelat merah, diminta memborong SBN, termasuk BP Tapera.

Apalagi, dana Tapera yang berasal dari keringat pegawai, jumlahnya mencapai Rp135 triliun. Jika 45 persen atau Rp60,75 triliun dibelanjakan untuk SBN, lumayanlah. Angka Rp60,75 triliun itu setara 38 persen dari target penerbitan SBN pada 2024 yang dipatok Rp160 triliun.

“Penggunaannya pun tidak akan terbatas pada perumahan, melainkan dapat digunakan untuk program pemerintah mulai dari pembangunan IKN hingga makan siang gratis ke depan,” jelas Bhima.(Diana Rizki, ipe)

 

Back to top button