Hangout

Artis Korea Kembali Bunuh Diri, Cerminan Krisis Mental Anak Muda

Kembali artis muda Korea Selatan meninggal dunia karena bunuh diri. Fenomena bunuh diri anak-anak muda tidak hanya terjadi di Korsel tapi juga di banyak negara. Mengapa kelompok usia muda lebih memilih mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu?

Artis Yoo Joo-Eun mengejutkan publik setelah dikonfirmasi meninggal dunia karena bunuh diri pada Senin (29/8/2022). Sebelum kepergiannya, Joo-Eun yang berusia 27 tahun, sempat menuliskan sebuah surat. Dalam surat tersebut dituliskan kesulitannya dalam meniti karir yang diimpikannya hingga membuatnya depresi.

Diduga, Joo-Eun depresi dengan karirnya di dunia hiburan Korea Selatan. Bahkan, ia sempat menuliskan bahwa mimpi besarnya untuk memiliki karir yang gemilang justru menjelma menjadi sebuah kutukan yang menyisakan depresi dalam hidupnya.

Kematian Joo-Eun bukanlah yang pertama. Sebelumnya sederet aktris di negara itu telah memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Seperti mantan anggota girl band K-pop f(x) dan aktris Choi Sulli, juga Jeon Mi Seon yang memenangkan banyak penghargaan di industri hiburan Korea.

Juga Kim Jonghyun yang memulai debutnya sebagai penyanyi utama boyband Korea SHINee ketika dia baru berusia 19 tahun. Ada juga nama Jang Ja Yeon adalah aktris Korea Selatan yang paling terkenal karena perannya dalam drama KBS Boys Over Flowers. Masih ada beberapa artis Korsel lain yang memilih bunuh diri.

Artis Bunuh Diri
Artis Korea Yoo Joo-Eun mengakhiri hidupnya di usia 27 tahun (foto: spamchronicles.com)

Sungguh tragis, bintang idola yang dipuja-puja penggemarnya ternyata mengalami depresi dan memilih bunuh diri. Jika dilihat dari catatan sejarahnya, rata-rata aktris korea yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya berada di usia yang cenderung muda dan produktif. Beberapa di antaranya tengah berada di puncak popularitasnya.

Pada tahun 2009, sebuah makalah tesis yang diajukan oleh aktris Korea Park Jin Hee menunjukkan bahwa sekitar 40 persen aktor Korea berpikir untuk mati karena hidup terlalu melelahkan. Sementara 30 persen lainnya mengatakan bahwa mereka secara serius mempertimbangkan untuk bunuh diri sebelumnya.

Tak hanya di Korsel, bunuh diri merupakan fenomena global, yang sudah menjadi perhatian World Health Organization (WHO). WHO sendiri mendorong negara anggota untuk berjuang menurunkan angka bunuh diri. Pandemi yang berimbas pada banyak sektor kehidupan terutama ekonomi menjadi pukulan berat bagi banyak orang di banyak negara termasuk di Indonesia.

Di Jepang, pemerintahnya tengah berjuang mengatasi krisis kesehatan mental. Bayangkan saja, ketika virus corona merajalela, lebih banyak orang meninggal dalam satu bulan karena bunuh diri ketimbang COVID-19 sepanjang tahun. Badan Kepolisian Nasional Jepang mengatakan angka bunuh diri melonjak menjadi 2.153 pada Oktober 2021 saja, dengan lebih dari 17.000 orang bunuh diri sepanjang tahun ini.

Krisis Kesehatan Mental Remaja

Jumlah anak muda depresi bahkan hingga bunuh diri terus meningkat. Meskipun tidak ada yang dapat menjelaskan alasannya dengan tepat, banyak ahli mengatakan kondisi ini menjadi cerminan bahwa remaja saat ini menghadapi lebih banyak tekanan.

Tekanan itu bisa berasal dari rumah atau sekolah, khawatir tentang masalah keuangan keluarga, dan menggunakan lebih banyak alkohol serta obat-obatan.

“Ini adalah waktu yang sangat berbahaya bagi kaum muda kita,” kata Kathy Harms, staf psikolog di Pusat Anak Crittenton Kansas City, mengutip Portland Press Herald. “Kami melihat lebih banyak kecemasan dan depresi pada anak-anak dari segala usia.”

Menurut Suicide.org, kasus bunuh diri pada remaja terus meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir. Menurut catatan situs tersebut, bunuh diri adalah penyebab kematian ketiga terbesar bagi kaum muda berusia 15 hingga 24 tahun. Setiap 100 menit seorang remaja bunuh diri.

Selain itu beberapa remaja lebih berisiko mengalami depresi dan bunuh diri dibandingkan yang lain. Sekitar 20 persen dari remaja mengalami depresi sebelum mereka mencapai usia dewasa. Hanya 30 persen remaja yang depresi yang dirawat karenanya.

Sementara remaja wanita mengalami depresi dua kali lebih sering daripada pria. Demikian pula remaja yang dilecehkan dan diabaikan termasuk kelompok yang sangat berisiko. Remaja dengan riwayat keluarga depresi atau penyakit mental juga mesti mendapat perhatian. Hal ini mengingat antara 20 hingga 50 persen remaja yang menderita depresi memiliki anggota keluarga yang mengalami depresi atau gangguan mental lainnya. Faktor lainnya adalah trauma atau gangguan di rumah, termasuk perceraian dan kematian orang tua.

Tony Jurich, seorang profesor studi keluarga dan layanan kemanusiaan di Kansas State University, mengutip Portland Press Herald mengungkapkan, remaja mengira mereka tak terkalahkan. “Jadi ketika merasakan sakit psikologis, mereka lebih cenderung merasa kewalahan oleh keputusasaan dan keyakinan bahwa mereka tidak memiliki kendali atas hidupnya,” katanya. Jurich menyebut perasaan putus asa dan tidak berdaya ini sebagai ‘bom Molotov yang memicu bunuh diri remaja’.

Sebuah studi baru yang dipimpin oleh Jean Twenge, seorang profesor psikologi Universitas Negeri San Diego, menemukan bahwa lima kali lebih banyak siswa sekolah menengah dan perguruan tinggi yang menghadapi kecemasan dan masalah kesehatan mental lainnya dibandingkan dengan remaja pada usia yang sama yang disurvei selama era tersebut.

Perlunya Pencegahan

Fenomena bunuh diri pada remaja ini tentu harus mendapat perhatian dunia. Memang tidak ada cara pasti untuk mencegah depresi namun ada beberapa strategi yang mungkin bisa membantu. Seperti mengambil langkah-langkah lebih dini untuk mengendalikan stres dan depresi.

Mungkin sulit untuk mengetahui dengan tepat bagaimana membantu teman atau anak remaja yang mengalami depresi atau kecemasan. Termasuk apa yang harus dikatakan kepada seseorang yang mengalami masa sulit. Ingatlah bahwa setiap orang berbeda, penting untuk berbicara tentang apa yang mereka butuhkan.

Cobalah untuk mencari tahu lebih banyak tentang depresi, kecemasan, atau hal lain yang dialami sang remaja. Ini akan membantu Anda lebih memahami apa yang terjadi dan bagaimana perasaannya. Memang sulit untuk mengetahui perbedaan antara suka dan duka dalam hidup, dan masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan. Seseorang yang mengalami masalah kesehatan mental mungkin merasa malu, dan khawatir tentang bagaimana reaksi teman mereka jika membicarakannya.

Beberapa psikolog memberikan beberapa petunjuk untuk mendeteksi apakah seseorang mengalami depresi. Misalnya sering kali tampak sedih atau menangis, atau lebih sering marah. Juga melewatkan kegiatan sekolah, pekerjaan atau kegiatan rutin mereka atau melewatkan hangout atau sering membatalkannya di saat-saat terakhir.

Cek juga apakah ia minum alkohol atau menggunakan obat-obatan lebih dari biasanya. Atau sering berbicara tentang perasaan kosong, lelah, atau tidak berharga. Kadang kala mereka yang depresi lebih pesimis dan putus asa. Biasanya pula diikuti dengan sulit tidur, badan terlihat loyo, tatapan mata sering tidak fokus dan kondisi kesehatan lainnya.

Jika seseorang hidup dengan masalah kesehatan mental, tidak mungkin bagi mereka dengan mudah menyingkirkan beban yang dialaminya. Jangan menganggap enteng perasaan mereka dan menganggapnya aneh atau tidak berdasar.

Jika Anda tidak yakin bagaimana membantu seseorang yang mengalami depresi atau kecemasan, tanyakan kepada mereka. Anda juga dapat menawarkan mereka beberapa opsi dan membiarkan mereka memilih yang paling cocok untuk mereka. Termasuk menawarkan opsi untuk mendapatkan bantuan dari para profesional kesehatan jiwa.

Back to top button