Thursday, 04 July 2024

Argentina Terkena Krisis, Ekonom Paramadina Ingatkan Pemerintahan Baru Jangan Terjebak GDP Oriented

Argentina Terkena Krisis, Ekonom Paramadina Ingatkan Pemerintahan Baru Jangan Terjebak GDP Oriented


Guru Besar Ekonomi Politik Universitas Paramadina, Prof Didin S Damanhuri mengingatkan pemerintahan Prabowo-Gibran untuk tidak terjebak dalam GDP (Gross Domestic Bruto) oriented.

Jika menjalankannya, kata Prof Didin, sektor tradable yang berisi industri yang outputnya diperdagangkan secara internasional serta melibatkan proses produksi yang konvensional, menjadi terabaikan.

“Sejumlah negara berkembang sudah menjadi korban dari GDP oriented. Di mana, negara itu selalu menghitung perekonomian dan menjadikan GDP oriented sebagai tujuan,” kata Prof Didin dalam peluncuran dan diskusi buku karyanya bertajuk “Ekonomi Politik Indonesia dan Antar Bangsa” di Jakarta, Senin (1/7/2024).

Menurut Prof Didin, Soeharto merupakan salah satu pemimpin negara yang menjalankan GDP oriented. Ketika era Reformasi, Sri Mulyani yang menjabat menteri keuangan selama 4 periode lebih condong neoliberalisme. Dengan sebuah keyakinan, “tidak mungkin sebuah negara bisa maju dengan pertanian dan koperasi.”

“GDP oriented mengeksploitasi pedesaan dan tidak kembali lagi ke desa. Dengan ini, akan terjadi middle income trap dan tidak akan terwujud Indonesia emas 2045 yang telah dicanangkan,” papar ekonom senior itu.

Prof Didin benar. Selama ini, sektor yang diharapkan pemerintah bisa berkontribusi besar kepada pertumbuhan ekonomi, yakni finansial dan konsumsi. Padahal, sektor tersebut tidak menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Akibatnya, tak tercipta lapangan kerja formal yang cukup. Masyarakat banyak yang menggantungkan nasibnya kepada sektor informal. Menjadi tukang ojek online (ojol) atau tukang parkir. Salah satu negara pemuja GDP oriented adalah Argentina yang saat ini didera krisis ekonomi.

Ekonom Paramadina, Wijayanto Samirin yang hadir sebagai salah satu pembahas, mengatakan, GDP oriented sering digunakan karena lebih konkret dan mudah dijalankan. Dan mudah pula diukur atau dimanipulasi.

“Contohnya pulau di Maluku, di mana GDP-nya sangat tinggi. Karena investasi masuk, banyak kapal yang parkir dan lain sebagainya. Tetapi, GDP per kapitanya misleading. Tingkat kemakmuran masyarakat di pulau itu, tidak membaik, meski GDP-nya naik,” kata Wijayanto.

Jika sebuah negara hanya berfokus pada GDP, lanjut Wijayanto, maka tidak akan bisa fokus kepada sumber pendapatan. Sehingga sektor yang disuntik uang menjadi naik GDP-nya.

“Rupiah melemah dibanding mata uang negara lain, karena terlalu fokus pada GDP. Apa solusinya? Harus ada sense of crisis. Kalau IMF dan World Bank terlalu diplomatis tetapi memaksa dan menekan habis-habisan. Jadi, ideologinya harus jelas,” kata dia.

Cendekiawan Muslim, Fachry Ali yang bertindak sebagai editor buku itu, mengaku kaget dengan konsep ‘degrowth’ yang merupakan kritik atas GDP oriented. Dia bilang, konsep yang dicetuskan prof Didin itu, bukanlah sebuah teori, melainkan gerakan sosial yang dimulai di Eropa, bukan negara berkembang. 

“Ekonomi itu kian lama mengklaim dirinya sebagai sains. Kemudian, Prof Didin tidak bangga mengeklaim ekonomi is a queen of sciences. Dalam konteks inilah asumsi-asumsi dasar diterapkan di berbagai tempat. Tentu bisa di berbagai negara termasuk negara baru berkembang dan baru merdeka,” kata Fachry.

Dalam perspektifnya sebagai ekonom, kata Fachry, Prof Didin menyampaikan saran terkait pertanian, UMKM, masyarakat dan lembaga masyarakat.

“Kalau kemudian pandangan negara dipusatkan kepada pembangunan ekonomi pedesaan, maka implikasinya akan banyak yang dapat berpartisipasi di dalamnya. Akan akan terjadi well of income distribute yang lebih adil. Kemudian jika ekonomi dikembangkan dalam sektor keuangan, maka akan banyak yang tertinggal di belakang,” kata Fachry.