Kanal

Andai Soekarno Tanpa Pemuda…

“Revolusi bukanlah sebuah pesta makan,” kata pemimpin dan kemudian diktator Cina, Mao Zedong, dalam essai yang ditulisnya pada 1927,”Laporan Tentang Sebuah Penyelidikan Gerakan Petani di Hunan”. Tapi memang yang bisa diperbuat para pemuda pun tidak hanya buku, pesta—dengan banyak makanan di dalamnya, serta cinta. Mereka bisa berjuang. Lebih tegas lagi, dalam sejarah Indomesia, dulu hingga saat ini, citra pemuda Indonesia adalah imaji tentang perjuangan. Kata ‘Pemuda’’, karena itu, selalu menyiratkan kesan heroik. Alhasil, tidak semua orang muda, untuk kasus Indonesia, layak disebut pemuda.

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Mungkin anda suka

Paras Soekarno merah padam mendengar perkataan orang muda di hadapannya itu. Orang muda dan seorang temannya yang pada petang 15 Agustus 1945 itu ia persilakan masuk ke rumahnya di Pegangsaan Timur no 56, Jakarta, yang kala itu tengah menemui pemuda lain bernama Sayuti Melik yang datang sebelumnya. Tiga anak muda yang meski jelas-jelas mengganggu kebiasaan hariannya di Rabu malam itu, ia beri waktu bicara.

Lalu, setelah berjam-jam mereka mendesak, tiba-tiba anak muda bernama Wikana itu berkata seolah merendahkan keberaniannya. “Bung harus segera bersikap!  Kami tidak sedia diserahkan sebagai inventaris oleh Jepang pada penjajah Belanda melalui sekutu. Tidak, kami akan berontak!” Kalimat Wikana itu ditingkahi teriakan pemuda Darwis, yang tak begitu ia perhatikan.

Benar, dua orang anak muda yang menurut mereka mewakili sekian banyak teman-temannya itu mendesak dirinya untuk memproklamasikan kemerdekaan. Mereka pun di awal sudah bicara bahwa seperti dirinya, Mohammad Hatta pun bersilang pendapat dengan mereka soal tuntutan. Silang pendapat yang diakhiri lontaran kalimat para pemuda itu kepada Hatta, sama seperti kepada dirinya. “Di saat revolusi, kami rupanya tidak dapat membawa Bung serta. Bung tidak revolusioner!”

Ya, Soekarno kenal Hatta, satu sama lain. Sebagaimana Hatta yang menghormati Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ia pun demikian. Ia tidak mau, tidak akan pernah mau ditodong seperti itu.

“Ini kudukku, boleh potong, hayo! Boleh penggal kepalaku. Engkau bisa membunuhku, tapi jangan kira aku bisa dipaksa untuk mengadakan pertumpahan darah yang sia-sia, hanya karena hendak menjalankan sesuatu menurut kemauanmu!”kata Soekarno, tegas.

Setelah itu, dari sejarah kita tahu Bung karno dan Hata kemudian mereka ‘culik’. Dua hari kemudian, pada 17 Agustus 1945, atas nama bangsa Indonesia, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan. Rupanya, para pemuda yang belakangan dari catatan sejarah kita ketahui dipimpin Chaerul Saleh itu antara lain Adam Malik, Darwis, Kusnandar, Subianto, Margono, Aidit, Djohar Nur, Pardjono, Abubakar, Sudewo, Subadio, Suroto Kunto, BM Diah, Soekarni, Wikana dan Armansjah, itu berhasil meyakinkan Soekarno dan Hatta.

Sukar untuk menafikan peran besar para pemuda dalam roda sejarah Indonesia. Pada Oktober 1928, para pemuda pula—generasi sebelum mereka—yang meletakkan dasar-dasar berbangsa dengan menggelar momen heroik Sumpah Pemuda. Wajar bila seorang Indonesianis terkenal, Bennedict Anderson, menyebut revolusi kemerdekaan 1945 adalah Revolusi Pemuda, sebagaimana judul bukunya yang terkenal.

Hal tersebut juga diakui sejarahwan nasional dari Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso. Menurut Bondan, para pemuda memang memiliki andil sangat besar dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia pada 1945 lalu. Kembali ia menyebut nama-nama, antara lain, Sayuti Melik, Khairul Saleh hingga Adam Malik. “Motor penggerak kita adalah pemuda, itu yang istimewa dan tidak ada di bangsa-bangsa lain di dunia,”ujar Bondan.

Mereka, kata Bondan, mengambil peran yang sangat strategis di dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ia bahkan menunjuk betapa sebelum Proklamasi Kemerdekaan pun peran pemuda tak bisa dinafikan dalam sejarah kebangkitan Indonesia. Bondan menyatakan, gerakan-gerakan revolusi yang diinisiasi para pemuda telah muncul sejak Budi Oetomo tahun 1908, Sumpah Pemuda tahun 1928, hingga peran penting para pemuda dalam mewujudkan kemerdekaan setelah Jepang menyerah pada sekutu tahun 1945.

“Bahkan, usai kemerdekaan pun, pada 1966, perubahan kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto juga tak terlepas dari peran pemuda di dalamnya,”kata dia. Yang masih tampak jelas, kata Bondan,  adalah masa-masa reformasi 1998, yang—kembali—menunjukkan besarnya peran pemuda di balik revolusi perubahan Indonesia, yang untuk momen itu dikenal sebagai Reformasi.

Dan jangan salah, ‘Pemuda’ tidaklah merujuk secara khusus kepada salah satu gender. Dalam perjuangan saat itu, tercatat banyak nama-nama kaum perempuan yang terlibat. Setidaknya, enam perempuan diakui banyak terlibat dalam proses perjuangan kala itu. Mereka adalah SK Trimurti, perempuan yang ditugaskan mengerek bendera Merah Putih pada saat Proklamasi Kemerdekaan, meski ia menolaknya karena merasa tak pantas hanya mengenakann kebaya dan kain jarik.

Ada Fatmawati yang kita tahu menjadi penjahit pertama bendera Merah Putih untuk dikibarkan saat proklamasi kemerdekaan. Ada Etty Abdurrachman, yang sejak lama tergabung dalam pergerakan pemuda. Ada Gonowati Djaka Sutadiwiria, mahasiswa sekolah tinggi kedokteran Ika Daigaku, yang pada hari itu menyiapkan pos pertolongan pertama. Ada Yuliari Markoem, rekan Gonowati di Ika Daigaku, yang tak hanya hadir saat Proklamasi, melainkan kemudian berperan dalam operasi-operasi medis selama revolusi. Ada pula Oetari Soetarti yang memiliki peran sama seperti Yuliari Markoem.

“Revolusi bukanlah sebuah pesta makan,” kata pemimpin dan kemudian diktator Cina, Mao Zedong. Dia menuliskan kalimat tersebut dalam essai yang ditulisnya pada 1927,”Laporan Tentang Sebuah Penyelidikan Gerakan Petani di Hunan”.

Tapi memang yang bisa diperbuat para pemuda pun tidak hanya buku, pesta—dengan banyak makanan di dalamnya, serta cinta. Mereka bisa berjuang. Lebih tegas lagi, dalam sejarah Indomesia, dulu hingga saat ini, citra pemuda Indonesia adalah imaji tentang perjuangan. Kata ‘Pemuda’’, karena itu, selalu menyiratkan kesan heroik. Alhasil, tidak semua orang muda, untuk kasus Indonesia, layak disebut pemuda. Bila mereka loyo, “mager” dan memilih berleha-leha semata, kata pemuda sangat tak layak untuknya karena hanya akan menodai arti kata yang sudah memiliki kesan suci itu. [dsy]

Back to top button